Muslimedianews.com ~ Ustadz Firanda Andirja (Salafi-Wahabi), menulis artikel di webnya berjudul “Haramnya Ngalap Barokah Yang Tidak Syar’i”. Seperti kebiasaannya, Firanda selalu menisbatkan amaliah umat Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah, yang berbeda dengan Wahabi, kepada ajaran Syiah Rofidhoh ala Khumaini. Padahal dalam masalah tersebut, kesesatan dan kesalahan terletak pada ajaran Wahabi sendiri, bukan pada aliran Syiah yang dihujatnya. Meskipun menurut kami, Syiah Rofidhoh lebih buruk dan lebih sesat dari pada Wahabi. Oleh karena itu, tulisan tersebut perlu diluruskan, agar tidak menyesatkan banyak orang. Berikut dialognya!
حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية والأندلس والمغرب، 1/330).
“Hukum membawa tanah makam untuk tabaruk.
Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).
1) Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” HR Bukhari dan Muslim.
Dalam mengoemntari hadits tersebut, Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata:
وَمَعْنَى الْحَدِيثِ: أَنَّهُ يَأْخُذُ مِنْ رِيقِ نَفْسِهِ عَلَى أُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ، ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى التُّرَابِ فَيَعْلَقُ بِهَا مِنْهُ شَيْءٌ، فَيَمْسَحُ بِهِ عَلَى الْجُرْحِ، وَيَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ لِمَا فِيهِ مِنْ بَرَكَةِ ذِكْرِ اسْمِ اللهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ، … وَهَلِ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: ” تُرْبَةُ أَرْضِنَا ” جَمِيعُ الْأَرْضِ أَوْ أَرْضُ الْمَدِينَةِ خَاصَّةً؟ فِيهِ قَوْلَانِ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ مِنَ التُّرْبَةِ مَا تَكُونُ فِيهِ خَاصِّيَّةٌ يَنْفَعُ بِخَاصِّيَّتِهِ مِنْ أَدْوَاءٍ كَثِيرَةٍ، … وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي هَذِهِ التُّرْبَاتِ، فَمَا الظَّنُّ بِأَطْيَبِ تُرْبَةٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَأَبْرَكِهَا، وَقَدْ خَالَطَتْ رِيقَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَارَنَتْ رُقْيَتَهُ بِاسْمِ رَبِّهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، (ابن قيم الجوزية، زاد المعاد، 4/187).
“Makna hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil ludah beliau pada jari telunjuknya, lalu meletakkannya ke tanah, sehingga ada tanah yang menempel, lalu beliau usapkan pada luka dan mengucapkan kalimat tadi, karena isinya terdapat berkah Nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya… Apakah yang dimaksud dengan tanah bumi kam, berlaku bagi semua bumi atau khusus tanah Madinah? Dalam hal ini ada dua pendapat. Tidak diragukan lagi, bahwa sebagian tanah memiliki khasiat yang bermanfaat bagi banyak penyakit… apabila hal ini berlaku dalam semua tanah ini, lalu bagaimana dengan tanah yang paling suci di muka bumi dan tanah yang paling berkah, dan telah bercampur dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ruqyah beliau bersama Nama Tuhannya dan menyerahkan urusan kepada-Nya?” (Ibnu Qayyimil Jauziyah, Zadul Ma’ad, juz 4 hal. 187).
Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa tanah itu ada barokahnya. Kalau memang ada barokahnya, berarti bertabaruk hukumnya tidak ada-apa dan syar’i. Bukankah begitu wahai kawan??
2) Hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu
عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيْ صَالِحٍ قَالَ: أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلاً وَاضِعًا وَجْهَهُ عَلىَ الْقَبْرِ فَقَالَ أَتَدْرِيْ مَا تَصْنَعُ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِذًا هُوَ أَبُوْ أَيُّوْبَ فَقَالَ نَعَمْ جِئْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ آَتِ الْحَجَرَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ لاَ تَبْكُوْا عَلىَ الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ وَلَكِنْ اِبْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ. (َروَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ أَبِيْ خَيْثَمَةَ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَالذَّهَبِيُّ والسُّيُوْطِيُّ).
“Dawud bin Abi Shalih berkata: “Pada suatu hari Marwan datang, lalu menemukan seorang laki-laki menaruh wajahnya di atas makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Marwan berkata: “Tahukan kamu, apa yang kamu perbuat?” Lalu laki-laki tersebut menghadapnya, ternyata ia sahabat Abu Ayyub. Lalu ia menjawab: “Ya, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan mendatangi batu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan tangisi agama apabila diurus oleh ahlinya. Akan tetapi tangisilah agama apabila diurus oleh bukan ahlinya.”
Dalam hadits di atas, sahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bertabaruk dengan mencium makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3) Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap datang dari perjalanan.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يَأْتِي النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ يَدَهُ الْيَمِينَ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَسْتَدْبِرُ الْقِبْلَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. (رَوَاهُ الْقَاضِيْ فِيْ فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ).
“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat dua raka’at di Masjid, lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma”. (Al-Qadhi Ismail al-Baghdadi, Fadhl al-Shalat ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 84.)
4) Muhammad bin al-Munkadir, ulama terkemuka generasi tabi’in meletakkan pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tidak bisa berkata-kata. Al-Hafizh Ibnu Asakir dan al-Dzahabi meriwayatkan:
عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ يَعْقُوْبَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ بْنِ الْمُنْكَدِرِ يَجْلِسُ مَعَ أَصْحَابِهِ قَالَ فَكاَنَ يُصِيْبُهُ صُمَاتٌ فَكَان يَقُوْمُ كَمَا هُوَ حَتَّى يَضَعَ خَدَّهُ عَلىَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يَرْجِعُ فَعُوْتِبَ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّهُ يُصِيْبُنِيْ خَطْرَةٌ فَإِذَا وَجَدْتُ ذَلِكَ اِسْتَغَثْتُ بِقَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِيْ مَوْضِعًا مِنَ الْمَسْجِدِ فِي السَّحَرِ يَتَمَرَّغُ فِيْهِ وَيَضْطَجِعُ فَقِيْلَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ هَذَا الْمَوْضِعِ أُرَاهُ قَالَ فِي النَّوْمِ.
“Ismail bin Ya’qub al-Taimi berkata: “Muhammad bin al-Munkadir duduk bersama murid-muridnya. Lalu ia tidak bisa berbicara. Lalu ia berdiri, sehingga menaruh pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia kembali. Lalu ia ditegur karena perbuatannya itu. Ia berkata: “Aku terkena penyakit yang berbahaya. Apabila aku rasakan hal itu, aku beristighatsah dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Ia sering mendatangi suatu tempat di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu sahur, berguling-guling dan tidur miring di situ. Lalu ditanya tentang hal tersebut. Ia menjawab: “Aku pernah melihat Rasulullah di tempat ini.” Aku mengira, ia melihatnya dalam mimpi”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq (56/50-51) dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ (5/358-359).
5) Al-Husain bin Abdullah bin Abdullah bin al-Husain, tokoh ahlul-bait dari generasi Salaf. Al-Hafizh al-Sakhawi al-Syafi’i meriwayatkan:
قَالَ يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ جَعْفَرٍ فِيْ كِتَابِهِ أَخْبَارِ الْمَدِيْنَةِ وَلَمْ أَرَ فِيْنَا رَجُلاً أَفْضَلَ مِنْهُ، كَانَ إِذَا اشْتَكَى شَيْئاً مِنْ جَسَدِهِ: كَشَفَ الْحَصَى عَنِ الْحَجَرِ الَّذِيْ كَانَ بِبَيْتِ فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءِ يُلاَصِقُ جِدَارَ الْقَبْرِ الشَّرِيْفِ، فَيَمْسَحُ بِهِ.
“Yahya bin al-Hasan bin Ja’far berkata dalam kitabnya Akhbar al-Madinah: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih utama dari al-Husain bin Abdullah di antara kami ahlul-bait. Kebiasaannya, apabila ia merasakan sakit pada sebagian tubuhnya, ia membuka kerikil dari batu yang di rumah Fathimah al-Zahra yang menempel ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Lalu ia mengusapkannya.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Tuhfah al-Lathifah fi Tarikh al-Madinah al-Syarifah (1/292).
6) Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali yang diakui oleh Salafi-Wahabi sebagai madzhab mereka dan madzhab Ibnu Taimiyah, telah berfatwa bolehnya bertabaruk dengan cara menyentuh dan mencium mimbar atau makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan taqarub kepada Allah. Abdullah, putra al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan:
سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ
“Aku bertanya kepada ayahku tentang laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bertabaruk dengan menyentuhnya dan menciumnya, dan ia melakukan hal yang sama ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang sesamanya, ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan hal tersebut. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa”. (Abdullah bin al-Imam Ahmad, al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (2/492).
7) Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, bertabaruk dengan menyentuh makam al-Imam Ahmad bin Hanbal, ketika tangannya terkena penyakit bisul yang lama tidak dapat sembuh.
Setelah keterangan di atas, Firanda Andirja mengutip pernyataan para ulama Syafi’iyah seperti al-Imam al-Baihaqi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibdu Daqiqil-‘Id dan al-Hafizh Ibnu Hajar, seakan-akan mereka anti tabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para auliya’. Firanda sepertinya hanya copas dari kitab Wahabi yang ditunjukkannya di atas. Ia sepertinya tidak pernah membaca sampai tamat kitab-kitab Syafi’iyah yang dijadikannya rujukan dalam tulisan artikelnya. Seandainya Firanda membaca kitab-kitab Syafi’iyah yang ditunjukkannya sampai tamat, ia akan tahu, bahwa para ulama Syafi’iyah tersebut justru menganjurkan tabaruk dengan peninggalan orang shaleh dalam banyak tempat dalam kitab tersebut. Misalnya al-Imam al-Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim berkata:
فيه التبرك بآثار الصالحين واستعمال فضل طهورهم وطعامهم وشرابهم ولباسهم
“Hadits tersebut mengandung anjuran bertabaruk dengan peningggalan orang shaleh, memakai sisa air suci mereka, makanan, minuman dan pakaian mereka.” (Al-Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 4 hal. 219).
Pernyataan seperti di atas tidak pernah terbaca oleh Ustadz Firanda. Padahal al-Imam al-Nawawi menganjurkan tabaruk, dalam kitab tersebut dalam 15 tempat lebih, berdasarkan hadits-hadits shahih. Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bariy banyak menganjurkan tabaruk dengan atsar orang shaleh, tetapi Firanda tidak pernah membacanya. Wallahul-musta’an.
Kemudian Ustadz Firanda Andirja menulis judul “Pengingkaran para ulama Syafi’iyah atas orang-orang yang mengusap Maqom Ibrahim karena ngalap berkah” dan mengutip pernyataan banyak ulama Syafi’iyah yang melarang mengusap maqom Ibrahim. Semuanya tidak berkaitan dengan hukum tabaruk dengan tanah makam para wali yang diinginkan Firanda. Dan cukup bagi kami, bahwa banya para ulama Hanabilah sendiri, (madzhab Hanbali, adalah madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam banyak fatwanya), membolehkan bertabaruk dengan menyentuh dan mencium makam orang shaleh, seperti ditegaskan oleh al-Imam Ibrahim al-Harbi (murid Imam Ahmad bin Hanbal), Syaikh Mar’iy bin Yusuf al-Karomi dalam Ghayatul Muntaha, al-Mirdawi dalam al-Inshaf, dan lain-lain. Sebelumnya telah kami kutip, Imam Ahmad membolehkan bertabaruk dengan mencium makam dan mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah begitu wahai kawan??? Wallahu a’lam.
Wassalam
Artikel Dusta Firanda Al Wahabi
WAHABI: “Fenomena yang sangat menyedihkan adanya sebagian orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyyah berbondong-bondong untuk mengambili pasir yang ada di kuburan seseorang yang mereka anggap wali !!, bahkan sampai-sampai kuburan tersebut dikhawatirkan ‘ambles’ karena kehabisan pasir !!”SUNNI: “Mengapa Anda bersedih dengan hal itu? Apakah ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa bertabaruk dengan tanah makam wali hukumnya haram dan syirik? Dan apakah umat Islam Syafi’iyah tidak boleh mengikuti madzhab lain sesama Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Pertanyaan ini seharusnya Anda jawab dan Anda kemukakan dalam permulaan dan prolog artikel Anda, baru kemudian Anda sampaikan kesedihan dan keprihatinan Anda. Jangan-jangan kesedihan Anda, hanya karena Anda wahabi, laisa illa, dan Anda juga tidak tahu hukum tabaruk menurut umat Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.”
WAHABI: “fenomena ngalap barokah dengan mengambili pasir dari kuburan atau mengusap-nugsap benda-benda tertentu ternyata merupakan pola beragama kaum syi’ah rofidhoh, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Al-Khumaini.”SUNNI: “Pernyataan Anda berangkat dari ketidaktahuan Anda saja. Anda selalu menisbatkan amaliah umat Islam yang berlawanan dengan Wahabi, kepada ajaran Syiah Rofidhoh ala Khumaini. Pernyataan Anda pasti menyenangkan orang Syiah, karena Syiah akan merasa banyak umatnya. Umat Islam nahdhiyyin bukan murid Khumaini wahai Wahabi. Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali, dibolehkan dalam madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun 914 H) berkata:
حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية والأندلس والمغرب، 1/330).
“Hukum membawa tanah makam untuk tabaruk.
Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).
WAHABI: “tidak ada seorangpun yang meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!. Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi’in…?, mana perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??”SUNNI: “Pertanyaan Anda sungguh keliru. Anda harusnya menyampaikan dalil al-Qur’an, hadits, atsar dan pernyataan para ulama yang melarang tabaruk dengan tanah kuburan wali. Ternyata Anda tidak melakukannya. Anda justru bertanya kepada lawan bicara Anda. Justru kalau kami bertanya balik, bisakah Anda menjawab wahai Wahabi? Mana dalil al-Qur’an, hadits, atsar shahabat dan salaf yang mengharamkan dan mensyirikkan tabaruk dengan tanam makam wali???? Jelas tidak ada. Anda pasti tidak bisa menjawab, kecuali dengan atsar dari Syaikh Ibnu Taimiyah al-Harrani, kalau ada. Adapun kami, pasti bisa menjawab pertanyaan Anda. Berikut dasar-dasar umat Islam bertabaruk dengan tanah kuburan para auliya dan orang shaleh:
1) Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.
“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” HR Bukhari dan Muslim.
Dalam mengoemntari hadits tersebut, Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata:
وَمَعْنَى الْحَدِيثِ: أَنَّهُ يَأْخُذُ مِنْ رِيقِ نَفْسِهِ عَلَى أُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ، ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى التُّرَابِ فَيَعْلَقُ بِهَا مِنْهُ شَيْءٌ، فَيَمْسَحُ بِهِ عَلَى الْجُرْحِ، وَيَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ لِمَا فِيهِ مِنْ بَرَكَةِ ذِكْرِ اسْمِ اللهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ، … وَهَلِ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: ” تُرْبَةُ أَرْضِنَا ” جَمِيعُ الْأَرْضِ أَوْ أَرْضُ الْمَدِينَةِ خَاصَّةً؟ فِيهِ قَوْلَانِ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ مِنَ التُّرْبَةِ مَا تَكُونُ فِيهِ خَاصِّيَّةٌ يَنْفَعُ بِخَاصِّيَّتِهِ مِنْ أَدْوَاءٍ كَثِيرَةٍ، … وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي هَذِهِ التُّرْبَاتِ، فَمَا الظَّنُّ بِأَطْيَبِ تُرْبَةٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَأَبْرَكِهَا، وَقَدْ خَالَطَتْ رِيقَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَارَنَتْ رُقْيَتَهُ بِاسْمِ رَبِّهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، (ابن قيم الجوزية، زاد المعاد، 4/187).
“Makna hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil ludah beliau pada jari telunjuknya, lalu meletakkannya ke tanah, sehingga ada tanah yang menempel, lalu beliau usapkan pada luka dan mengucapkan kalimat tadi, karena isinya terdapat berkah Nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya… Apakah yang dimaksud dengan tanah bumi kam, berlaku bagi semua bumi atau khusus tanah Madinah? Dalam hal ini ada dua pendapat. Tidak diragukan lagi, bahwa sebagian tanah memiliki khasiat yang bermanfaat bagi banyak penyakit… apabila hal ini berlaku dalam semua tanah ini, lalu bagaimana dengan tanah yang paling suci di muka bumi dan tanah yang paling berkah, dan telah bercampur dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ruqyah beliau bersama Nama Tuhannya dan menyerahkan urusan kepada-Nya?” (Ibnu Qayyimil Jauziyah, Zadul Ma’ad, juz 4 hal. 187).
Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa tanah itu ada barokahnya. Kalau memang ada barokahnya, berarti bertabaruk hukumnya tidak ada-apa dan syar’i. Bukankah begitu wahai kawan??
2) Hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu
عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِيْ صَالِحٍ قَالَ: أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلاً وَاضِعًا وَجْهَهُ عَلىَ الْقَبْرِ فَقَالَ أَتَدْرِيْ مَا تَصْنَعُ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِذًا هُوَ أَبُوْ أَيُّوْبَ فَقَالَ نَعَمْ جِئْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ آَتِ الْحَجَرَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ لاَ تَبْكُوْا عَلىَ الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ وَلَكِنْ اِبْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ. (َروَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ وَابْنُ أَبِيْ خَيْثَمَةَ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَالذَّهَبِيُّ والسُّيُوْطِيُّ).
“Dawud bin Abi Shalih berkata: “Pada suatu hari Marwan datang, lalu menemukan seorang laki-laki menaruh wajahnya di atas makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Marwan berkata: “Tahukan kamu, apa yang kamu perbuat?” Lalu laki-laki tersebut menghadapnya, ternyata ia sahabat Abu Ayyub. Lalu ia menjawab: “Ya, aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan mendatangi batu. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jangan tangisi agama apabila diurus oleh ahlinya. Akan tetapi tangisilah agama apabila diurus oleh bukan ahlinya.”
Dalam hadits di atas, sahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bertabaruk dengan mencium makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
3) Sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap datang dari perjalanan.
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ ، كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ صَلَّى سَجْدَتَيْنِ فِي الْمَسْجِدِ، ثُمَّ يَأْتِي النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَيَضَعُ يَدَهُ الْيَمِينَ عَلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَيَسْتَدْبِرُ الْقِبْلَةَ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ. (رَوَاهُ الْقَاضِيْ فِيْ فَضْلِ الصَّلاَةِ عَلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ).
“Dari Nafi’, bahwa apabila Ibnu Umar datang dari suatu perjalanan, ia menunaikan shalat dua raka’at di Masjid, lalu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu meletakkan tangan kanannya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membelakangi kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kepada Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma”. (Al-Qadhi Ismail al-Baghdadi, Fadhl al-Shalat ‘ala al-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal. 84.)
4) Muhammad bin al-Munkadir, ulama terkemuka generasi tabi’in meletakkan pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tidak bisa berkata-kata. Al-Hafizh Ibnu Asakir dan al-Dzahabi meriwayatkan:
عَنْ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ يَعْقُوْبَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ مُحَمَّدُ بْنِ الْمُنْكَدِرِ يَجْلِسُ مَعَ أَصْحَابِهِ قَالَ فَكاَنَ يُصِيْبُهُ صُمَاتٌ فَكَان يَقُوْمُ كَمَا هُوَ حَتَّى يَضَعَ خَدَّهُ عَلىَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ يَرْجِعُ فَعُوْتِبَ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّهُ يُصِيْبُنِيْ خَطْرَةٌ فَإِذَا وَجَدْتُ ذَلِكَ اِسْتَغَثْتُ بِقَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِيْ مَوْضِعًا مِنَ الْمَسْجِدِ فِي السَّحَرِ يَتَمَرَّغُ فِيْهِ وَيَضْطَجِعُ فَقِيْلَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ فَقَالَ إِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ هَذَا الْمَوْضِعِ أُرَاهُ قَالَ فِي النَّوْمِ.
“Ismail bin Ya’qub al-Taimi berkata: “Muhammad bin al-Munkadir duduk bersama murid-muridnya. Lalu ia tidak bisa berbicara. Lalu ia berdiri, sehingga menaruh pipinya ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia kembali. Lalu ia ditegur karena perbuatannya itu. Ia berkata: “Aku terkena penyakit yang berbahaya. Apabila aku rasakan hal itu, aku beristighatsah dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”. Ia sering mendatangi suatu tempat di Masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu sahur, berguling-guling dan tidur miring di situ. Lalu ditanya tentang hal tersebut. Ia menjawab: “Aku pernah melihat Rasulullah di tempat ini.” Aku mengira, ia melihatnya dalam mimpi”. (Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq (56/50-51) dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ (5/358-359).
5) Al-Husain bin Abdullah bin Abdullah bin al-Husain, tokoh ahlul-bait dari generasi Salaf. Al-Hafizh al-Sakhawi al-Syafi’i meriwayatkan:
قَالَ يَحْيَى بْنُ الْحَسَنِ بْنِ جَعْفَرٍ فِيْ كِتَابِهِ أَخْبَارِ الْمَدِيْنَةِ وَلَمْ أَرَ فِيْنَا رَجُلاً أَفْضَلَ مِنْهُ، كَانَ إِذَا اشْتَكَى شَيْئاً مِنْ جَسَدِهِ: كَشَفَ الْحَصَى عَنِ الْحَجَرِ الَّذِيْ كَانَ بِبَيْتِ فَاطِمَةَ الزَّهْرَاءِ يُلاَصِقُ جِدَارَ الْقَبْرِ الشَّرِيْفِ، فَيَمْسَحُ بِهِ.
“Yahya bin al-Hasan bin Ja’far berkata dalam kitabnya Akhbar al-Madinah: “Aku belum pernah melihat orang yang lebih utama dari al-Husain bin Abdullah di antara kami ahlul-bait. Kebiasaannya, apabila ia merasakan sakit pada sebagian tubuhnya, ia membuka kerikil dari batu yang di rumah Fathimah al-Zahra yang menempel ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Lalu ia mengusapkannya.” (Al-Hafizh al-Sakhawi, al-Tuhfah al-Lathifah fi Tarikh al-Madinah al-Syarifah (1/292).
6) Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali yang diakui oleh Salafi-Wahabi sebagai madzhab mereka dan madzhab Ibnu Taimiyah, telah berfatwa bolehnya bertabaruk dengan cara menyentuh dan mencium mimbar atau makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan taqarub kepada Allah. Abdullah, putra al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan:
سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيُقَبِّلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوَ هَذَا يُرِيْدُ بِذَلِكَ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ
“Aku bertanya kepada ayahku tentang laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia bertabaruk dengan menyentuhnya dan menciumnya, dan ia melakukan hal yang sama ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang sesamanya, ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan hal tersebut. Beliau menjawab: “Tidak apa-apa”. (Abdullah bin al-Imam Ahmad, al-‘Ilal wa Ma’rifah al-Rijal (2/492).
7) Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, bertabaruk dengan menyentuh makam al-Imam Ahmad bin Hanbal, ketika tangannya terkena penyakit bisul yang lama tidak dapat sembuh.
WAHABI: “Fenomena ngalap berkah dengan cara yang salah dan tidak disyari’atkan telah diperingatkan oleh para ulama madzhab syafi’iyah sejak zaman dahulu. (Silahkan tela’ah kitab جُهُوْدُ الشَّافِعِيَّةِ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الْعِبَادَةِ karya DR Abdullah bin Abdil ‘Aziz Al-’Anqori, hal 581-595)”SUNNI: “Sayang sekali, Anda wahai Wahabi tidak menyuruh pembaca merujuk kepada kitab-kitab Syafi’iyah. Tetapi Anda justru menyuruh kami merujuk kepada kitab Wahabi yang Anda sampaikan di atas. Kami tidak perlu merujuk kitab Wahabi tersebut. Cukuplah kitab-kitab ahli hadits dan ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah seperti di atas yang menjadi rujukan kami.”
Setelah keterangan di atas, Firanda Andirja mengutip pernyataan para ulama Syafi’iyah seperti al-Imam al-Baihaqi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibdu Daqiqil-‘Id dan al-Hafizh Ibnu Hajar, seakan-akan mereka anti tabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para auliya’. Firanda sepertinya hanya copas dari kitab Wahabi yang ditunjukkannya di atas. Ia sepertinya tidak pernah membaca sampai tamat kitab-kitab Syafi’iyah yang dijadikannya rujukan dalam tulisan artikelnya. Seandainya Firanda membaca kitab-kitab Syafi’iyah yang ditunjukkannya sampai tamat, ia akan tahu, bahwa para ulama Syafi’iyah tersebut justru menganjurkan tabaruk dengan peninggalan orang shaleh dalam banyak tempat dalam kitab tersebut. Misalnya al-Imam al-Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim berkata:
فيه التبرك بآثار الصالحين واستعمال فضل طهورهم وطعامهم وشرابهم ولباسهم
“Hadits tersebut mengandung anjuran bertabaruk dengan peningggalan orang shaleh, memakai sisa air suci mereka, makanan, minuman dan pakaian mereka.” (Al-Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz 4 hal. 219).
Pernyataan seperti di atas tidak pernah terbaca oleh Ustadz Firanda. Padahal al-Imam al-Nawawi menganjurkan tabaruk, dalam kitab tersebut dalam 15 tempat lebih, berdasarkan hadits-hadits shahih. Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bariy banyak menganjurkan tabaruk dengan atsar orang shaleh, tetapi Firanda tidak pernah membacanya. Wallahul-musta’an.
WAHABI: “Pengingkaran Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap orang-orang yang bertabarruk dengan songkok Al-Imam Malik. … Akhirnya Imam al-Syafi’i menulis bantahan terhadap Imam Malik, gurunya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqi Manaaqib Asy-Syaafi’i 1/508-509)”.SUNNI: “Menurut hemat kami, riwayat di atas tidak bisa dijadikan dasar bahwa al-Imam al-Syafi’i melarang bertabaruk dengan atsar orang shaleh seperti al-Imam Malik. Kalau Firanda mau jujur, al-Imam al-Syafi’i menulis bantahan terhadap Imam Malik, gurunya, karena dua hal. 1) penduduk Andalusia terlalu fanatik kepada Imam Malik sampai-sampai menjadikan songkok beliau sebagai sarana tabaruk. 2) karena fanatiknya mereka selalu menolak hadits-hadits shahih ketika berbeda dengan pendapat Imam Malik. Perlu dicamkan, sikap Imam al-Syafi’i tersebut karena dua hal, bukan murni karena tabaruk dengan songkok. Mengapa demikian? Riwayat yang Anda kutip jelas sekali. Disamping itu Imam al-Syafi’i sendiri ternyata bertabaruk dengan air rendaman baju muridnya, al-Imam Ahmad bin Hanbal. Al-Imam al-Syafi’i meminta muridnya, al-Rabi’ agar merendam baju tersebut, lalu airnya beliau usapkan ke wajahnya dengan tujuan tabaruk. Padahal sudah dimaklumi, al-Qur’an dan Hadits tidak pernah menegaskan keberkahan baju al-Imam Ahmad bin Hanbal. (Riwayat al-Hafizh Ibnu Asakir [Tarikh Madinah Dimasyq, V/311], al-Hafizh Ibnu al-Jauzi [Manaqib al-Imam Ahmad bin Hanbal, 610], al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Mihnah al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Tajuddin al-Subki, [Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, II/35]).
Kemudian Ustadz Firanda Andirja menulis judul “Pengingkaran para ulama Syafi’iyah atas orang-orang yang mengusap Maqom Ibrahim karena ngalap berkah” dan mengutip pernyataan banyak ulama Syafi’iyah yang melarang mengusap maqom Ibrahim. Semuanya tidak berkaitan dengan hukum tabaruk dengan tanah makam para wali yang diinginkan Firanda. Dan cukup bagi kami, bahwa banya para ulama Hanabilah sendiri, (madzhab Hanbali, adalah madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam banyak fatwanya), membolehkan bertabaruk dengan menyentuh dan mencium makam orang shaleh, seperti ditegaskan oleh al-Imam Ibrahim al-Harbi (murid Imam Ahmad bin Hanbal), Syaikh Mar’iy bin Yusuf al-Karomi dalam Ghayatul Muntaha, al-Mirdawi dalam al-Inshaf, dan lain-lain. Sebelumnya telah kami kutip, Imam Ahmad membolehkan bertabaruk dengan mencium makam dan mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukankah begitu wahai kawan??? Wallahu a’lam.
Wassalam
Ustadz Muhammad Idrus Ramli
Pakar Aswaja Internasional /Ketua LTN NU dan Sektretari LBM NU Kencong
Artikel Dusta Firanda Al Wahabi
Fiqh - AJARAN-AJARAN MADZHAB SYAFI'I YANG DILANGGAR OLEH SEBAGIAN PENGIKUTNYA 9 - HARAMNYA NAGALAP BAROKAH YANG TIDAK SYAR'I
Fenomena yang sangat menyedihkan adanya sebagian orang yang mengaku bermadzhab Syafi'iyyah berbondong-bondong untuk mengambili pasir yang ada di kuburan seseorang yang mereka anggap wali !!, bahkan sampai-sampai kuburan tersebut dikhawatirkan 'ambles' karena kehabisan pasir !!
((TEMPO Interaktif, Jombang - Ada-ada saja ulah peziarah. Seusai membaca Yasin dan tahlil di makam mendiang mantan Presiden RI ke empat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, beberapa peziarah menyempatkan diri menjumput tanah dan bunga di atas gundukan makam. Mereka percaya, bunga dan tanah itu mengandung berkah dan tuah.
Seperti dikatakan salah satu peziarah, Fatimah, warga Seblak, Diwek, Jombang, Jawa Timur. Dia mengambil bunga dan tanah untuk dibawa pulang. Dia percaya, tanah dan bunga dari makam Gus Dur memiliki barokah. "Ini akan saya gunakan untuk mengobati sakit linu," kata dia, Jumat (1/1).
Hal sama dilakukan Muhlison. Dia mengambil tanah makam untuk pengobatan anaknya yang sampai berusia beberapa tahun ini belum bisa berjalan alias lumpuh. Dia mengambil sedikit tanah, dikantongi, lalu dibawa pulang.Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 04-11-1434 H / 10 September 2013 M
Melihat ulah peziarah itu, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Kiai Haji Shalahudin Wahid langsung bersikap. Dia meminta peziarah agar bersikap wajar dan meninggalkan hal-hal yang tak rasional. "Itu tidak rasional, jadi tidak usah dilakukan," tegas dia.
Beberapa jam setelah pemakaman Gus Dur selesai, gundukan tanah makam sempat cekung. Tanah banyak dijumput warga, lalu dibawa pulang. Bahkan, taburan bunga di atasnya pun sirna. "Saya tidak heran kenapa terjadi begitu," kata Yeni Wahid, putri Gus Dur.
Dia mengaku paham dengan kondisi itu. Dia menilai, budaya pengkultusan seperti itu memang bagian kecil dari budaya warga Nahdliyin. Beberapa orang masih percaya, jika makam tokoh besar seperti Gus Dur mengandung barokah dan memiliki tuah.
Perbuatan itu tidak bisa dilarang, karena sudah membudaya. Namun demikian, dia tetap melarang upaya pengambilan tanah makam seperti yang dilakukan beberapa peziarah. Peziarah cukup mendoakan saja. "Jangan macam-macam, dan aneh-aneh seperti itu," terang dia.
MUHAMMAD TAUFIK, lihat http://www.tempo.co/read/news/2010/01/01/058216788))
Fenomena ngalap barokah dengan mengambili pasir dari kuburan atau mengusap-nugsap benda-benda tertentu ternyata merupakan pola beragama kaum syi'ah rofidhoh, sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Al-Khumaini bahwa meminta kesembuhan dari tanah bukanlah kesyirikan. :
Al-Khumaini berkata :
"Diantara pertanyaan mereka adalah, apakah meminta kesembuhan dari tanah merupakan keysirikan atau tidak?
Jawabannya telah jelas setelah memperhatikan makna syirik. Kesyirikan –sebagaimana yang kalian ketahui- adalah keyakinan bahwasanya seseorang adalah Rob (Tuhan/Pencipta) atau ia diibadahi atas dasar ia adalah Rob, atau meminta dipenuhinya hajat kepada seseorang atas dasar keyakinan bahwa ia independent dalam memberikan pengaruh…
Jika seseorang meminta kesembuhan dari tanah atau dari apapun dengan dasar ia adalah Rob atau Syarikat Allah atau Rob lain yang berlawanan dengan Allah yang independent dalam memberi pengaruh atau atas dasar keyakinan bahwasanya penghuni kuburan adalah Rob maka ini merupakan kesyirikan, bahkan kegilaan. Adapun jika karena ia meyakini bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan kesembuhan pada semangkuk pasir untuk memuliakan orang yang mati syahid yang telah mengorbankan kehidupannya untuk di jalan Allah, maka hal ini sama sekali tidak melazimkan adanya kesyirikan dan kekufuran" (Kasyful Asroor hal 65)
Karenanya kita tidak heran jika melihat kaum syi'ah yang berebutan mengambil pasir yang ada di kuburan ahlul bait di Baqii' di kota Madinah.
Khumaini berdalil sesukanya…, tidak ada seorangpun yang meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!. Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi'in…?, mana perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??
Fenomena ngalap berkah dengan cara yang salah dan tidak disyari'atkan telah diperingatkan oleh para ulama madzhab syafi'iyah sejak zaman dahulu. (Silahkan tela'ah kitab جُهُوْدُ الشَّافِعِيَّةِ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الْعِبَادَةِ karya DR Abdullah bin Abdil 'Aziz Al-'Anqori, hal 581-595)
Umar bin Al-Khotthob radhiallahu 'anhu tatkala mencium hajar aswad beliau berkata :
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
"Demi Allah, aku sungguh-sungguh mengetahui bahwasanya engkau hanyalah sekedar batu, engkau tidak bisa memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan. Dan kalau bukan karena aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu maka aku tidak akan menciummu" (HR Al-Bukhari no 1597 dan Muslim no 1270)
Perkataan yang agung dari Umar bin Al-Khotthob ini ternyata mendapat perhatian besar dari para ulama madzhab Syafi'iyyah, mereka menjelaskan sebab kenapa Umar melontarkan perkataannya tersebut.
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
فأمير المؤمنين عمر رضي الله عنه كان قد عبد الحجر فحين أهوى إلى الركن كأنه هاب ما كان عليه في الجاهلية فتبرأ من كل شيء سوى الله و أخبره بأنه حجر لا يضر و لا ينفع يريد ما كان على هيئته حجرا وإنه يقبله متابعة للسنة
"Amirul Mukminin Umar –semoga Allah meridhoinya- dahulunya menyembah batu. Maka tatkala beliau tunduk ke hajar aswad (untuk menciumnya) maka seakan-akan beliau khawatir tentang kondisinya dahulu tatkala di masa jahiliyah. Maka beliaupun berlepas diri dari segala sesuatu selain Allah dan iapun mengabarkan kepada hajar aswad bahwasanya ia hanyalah sekedar batu yang tidak bisa memberi kemudhorotan dan tidak juga kemanfaatan -maksud beliau status hajar aswad sebagai batu-. Dan Umar hanyalah mencium hajar aswad karena mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa " (Syu'abul Iman 3/451)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
"Umar hanyalah berkata, "Sesungguhnya engkau (yaitu hajar aswad) tidak bias memberi kemudhorotan dan tidak juga kemanfaatan", agar orang-orang yang baru masuk Islam tidak terpedaya, karena mereka dahulunya telah terbiasa menyembah batu-batu dengan mengagungkan batu-batu tersebut dengan harapan mendapatkan manfaat dari batu-batu tersebut, serta dahulu mereka khawatir mendapatkan kemudorotan dari batu-batu sembahan mereka jika mereka kurang besar dalam mengagungkannya. Dan hal ini baru saja berlalu, maka Umarpun khawatir jika ada sebagian mereka melihat Umar mencium dan memberi perhatian kepada hajar aswad maka akan salah sangka dengan perbuatan Umar. Maka Umarpun menjelaskan bahwa hajar aswad tidaklah memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan, dan bahwasanya ia hanyalah batu yang diciptakan sebagaimana makhluk-makhluk yang lainnya yang tidak memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan. Umar menyebarkan pernyataannya ini di musim haji agar tersebar di negeri-negeri dan agar dihafalkan pernyataannya ini oleh para jama'ah yang berasal dari negeri-negeri yang bermacam-macam. Wallahu A'lam" (Al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim 9/17-18, lihat peryataan An-Nawawi yang serupa di Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzzab 8/31)
Ibnu Daqiiq Al-'Ied berkata
وقول عمر هذا الكلام في ابتداء تقبيله: ليبين أنه فعل ذلك اتباعا وليزيل بذلك الوهم الذي كان ترتب في أذهان الناس في أيام الجاهلة ويحقق عدم الانتفاع بالأحجار من حيث هي هي كما كانت الجاهلية تعتقد في الأصنام
"Pernyataan Umar di awal mencium hajar aswad, tujuannya untuk menjelaskan bahwasanya beliau melakukannya karena mengikuti sunnah Nabi, dan agar hilang persangkaan yang terpatri di benak orang-orang di masa jahiliyah, dan juga untuk menekankan bahwa batu tidak bisa memberi kemanfaatan dari sisi statusnya sebagai batu, sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah bahwa patung-patung memberi manfaat" (Ihkaam Al-Ahkaam syarh Umdatil Ahkaam hal 315)
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-'Asqolani berkata :
قال شيخنا في شرح الترمذي فيه كراهة تقبيل ما لم يرد الشرع بتقبيله
"Berkata guru kami (yaitu Al-'Irooqi) dalam kitab Syarh Sunan At-Thirmidzi : Pada perkataan Umar ini terdapat dalil akan dibencinya mencium perkara yang tidak ada syari'at/dalil untuk menciumnya" (Fathul Baari 3/463)
Kesimpulan : Tidak ada suatu bendapun di atas muka bumi ini yang disunnahkan untuk dicium melainkan hajar aswad. Keberkahan hajar aswad hanyalah diperoleh jika ditinjau dari pahala di akhirat, karena orang yang menciumnya telah mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa salam. Meskipun demikian ternyata hajar aswad pun tidak bisa memberi mudhorot dan juga tidak bisa memberi kemanfaatan di dunia berupa kesehatan tubuh atau sembuhnya penyakit.
Jika hajar aswad saja perkaranya demikian maka apalagi hanya sekedar nisan di kuburan, atau pasir di kuburan orang yang dianggap sebagai wali ??!!
Pengingkaran Al-Imam Asy-Syafi'i terhadap orang-orang yang bertabarruk dengan songkok Al-Imam Malik
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah adalah murid dari Al-Imam Malik rahimahullah. Dan seringkali tatkala Al-Imam Asy-Syafi'i ditanya tentang suatu permasalahan agama maka beliau menjawab dengan fatwanya Imam Malik. Beliau berkata, قَالَ الأُسْتَاذُ "Telah berkata ustadzku…"
Hingga akhirnya beliau menulis bantahan terhadap gurunya Imam Malik dikarenakan sikap sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam mengkultuskan Imam Malik, bahkan sampai-sampai menjadikan songkok Imam Malik sumber keberkahan untuk meminta hujan.
Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
"Aku telah membaca kitab Abu Yahya Zakariya bin Yahya As-Saaji tentang apa yang diceritakan oleh orang-orang Mesir. Bahwasanya Asy-Syafi'i hanyalah menulis kitab untuk membantah Malik dikarenakan telah sampai kepada beliau bahwasanya di Andalus songkoknya Malik dijadikan sebab untuk meminta hujan.
Dan telah dikatakan kepada mereka "Rasulullah bersabda…", maka mereka berkata, "Imam Malik berkata…". Maka Asy-Syafi'i berkata, "Sesungguhnya Malik seorang manusia terkadang salah dan keliru". Inilah yang memotivasi Al-Imam Asy-Syafi'i untuk menulis kitab bantahan tersebut. Asy-Syafi'i berkata, "Aku benci untuk menulis buku tersebut akan tetapi aku telah sholat istikhoroh pada tahun itu" (Manaaqib Asy-Syaafi'i li Al-Baihaqi 1/508-509)
Tentunya jika mencari berkah dari songkoknya Imam Malik adalah perkara yang dibolehkan dan disyari'atkan serta disukai maka Al-Imam Asy-Syafi'i tidak akan mengingkarinya dan tidak akan termotivasi untuk menulis bantahan terhadap Imam Malik gurunya. Tidaklah beliau menulis bantahan tersebut melainkan agar orang-orang tidak berlebihan dalam mengkultuskan Imam Malik, apalagi sampai mencari keberkahan dari songkoknya.
Pengingkaran para ulama Syafi'iyah atas orang-orang yang mengusap Maqom Ibrahim karena ngalap berkah
Sebagaimana para ulama madzhab Syafi'iyah memberi perhatian terhadap pernyataan Umar bin Al-Khotthob, mereka juga memberi perhatian dalam membawakan pernyataan-pernyataan sebagian salaf yang mengingkari orang-orang yang mengusap maqom Ibrahim karena mencari keberkahan.
(1) Al-Haliimi rahimahullah (wafat 403 H) berkata :
"Barang siapa yang melihat maqom Ibrahim 'alaihis salaam maka hendaknya ia sholat di situ, dan maqom tidak disentuh dan tidak pula dicium. Ibnu Az-Zubair melihat suatu kaum yang mengusap maqom Ibrahim maka beliau berkata : "Kalian tidaklah diperintahkan untuk melakukan ini, kalian hanyalah diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim". Mujahid berkata, "Maqom Ibrahim tidak dicium dan tidak disentuh" (Al-Minhaaj fi Syu'abil Iman 2/453)
(2) Al-Baghowi rahimahullah (wafat 516 H) berkata tatkala menafsirkan firman Allah
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
Jadikanlah sebahagian maqom Ibrahim tempat shalat (QS Al-Baqoroh : 125)
"Berkata Qotaadah, Muqootil, dan As-Suddiy : "Mereka diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim dan mereka tidak diperintahkan untuk mengusap dan menciumnya" (Ma'aalim At-Tanziil/Tafsiir Al-Baghowi 1/147)
(3) Al-Hafiz Ibnu Katsir, dalam tafsirnya juga telah menyebutkan riwayat dari Qotadah tentang pengingkaran beliau terhadap orang-orang yang mengusap maqom Ibrahim. Beliau berkata :
"Qotadah berkata : "Mereka hanyalah diperintahkan untuk sholat di sisi maqom Ibrahim dan tidak diperintahkan untuk mengusapnya. Sungguh umat ini telah berlebih-lebihan dengan sesuatu yang para umat-umat terdahulu telah berlebih-lebihan. Sungguh telah menceritakan kepada kami orang yang telah melihat bekas tumit Ibrahim dan bekas jari-jarinya di maqom Ibrahim, akan tetapi umat ini terus mengusap-ngusapnya hingga menjadi pudar" (Tafsiir Al-Qura'an al-'Adzhiim 2/64)
Atsar Qotadah rahimahullah ini juga disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 8/169
Pengingkaran para ulama Syafi'iyah terhadap orang-orang yang mencium, mengusap, dan menempelkan perut mereka ke kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena mencari berkah
(1) Al-Halimi rahimahullah berkata :
Telah melarang sebagian ahlul ilmi dari menempelkan perut dan juga pundak ke dinding kuburan Nabi dengan tangan. Hal ini termasuk perbuatan bid'ah. (Al-Minhaaj fi Syu'abil Iman 2/458)
(2) Al-Ghozali rahimahullah berkata
وَلَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَمَسَّ الْجِدَارَ وَلاَ أَنْ يُقَبِّلَهُ بَلِ الْوُقُوْفُ مِنْ بُعْدٍ أَقْرَبُ لِلْاِحْتِرَامِ
"Dan bukanlah sunnah menyentuh dinding (kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) dan bukan juga menciumnya, akan tetapi berdiri dari jauh lebih dekat kepada penghormatan (kepada Nabi)" (Ihyaa Uluum Ad-Diin 1/259)
Beliau juga berkata
فَإِنَّ الْمَسَّ وَالتَّقْبِيْلَ لِلْمَشَاهِدِ عَادَةُ النَّصَارَى وَالْيَهُوْدِ
"Sesungguhnya menyentuh dan mencium kuburan-kuburan merupakan kebiasaan kaum Nashrani dan kaum Yahudi" (Ihyaa 'Uluum Ad-Diin 1/271)
(3) An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata :
"Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan. Bahkan adab (*ziarah kuburan Nabi) adalah ia menjauh dari Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi kalau dia bertemu dengan Nabi shallallau 'alaihi wa sallam tatkala masih hidup. Dan inilah yang benar, dan inilah perkataan para ulama, dan mereka telah sepakat akan hal ini.
Dan hendaknya jangan terpedaya oleh banyaknya orang awam yang menyelisihi hal ini, karena teladan dan amalan itu dengan perkataan para ulama. Jangan berpaling pada perbuatan-perbuatan baru yang dilakukan oleh orang-orang awam dan kebodohan-kebodohan mereka…
Sungguh yang mulia Abu Ali al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah telah berbuat baik dalam perkataannya :
"Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya hanya sedikit. Berhati-hatilah akan jalan kesesatan dan jangan terpedaya oleh banyaknya orang yang binasa (*karena mengikut jalan kesesatan tersebut)." Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwasanya mengusap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih berkah, maka ini karena kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syari'at dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran??" (Lihat Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzab 8/257-258, perkataan An-Nawawi ini juga terdapat dalam Hasyiah Al-'Allamah Ibni Hajr al-Haitami 'ala Syarh Al-Idhoh fi Manasik Al-Haj, cetakan Dar Al-Hadits, Beirut, Libanon hal. 501)
Dari penjelasan para ulama madzhab syafi'i di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya mereka melarang untuk mengambil keberkahan dari perkara-perkara yang tidak disyari'atkan. Oleh karenanya fenomena yang terjadi pada sebagian pengikut madzhab syafi'iyah, atau sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya, berupa mengalap keberkahan yang bukan pada tempatnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap washiat-washiat para ulama madzhab syafi'i.
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com
http://www.firanda.com/index.php/artikel/fiqh/509-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-9-haramnya-nagalap-barokah-yang-tidak-syar-i
No comments
Post a Comment