Muslimedianews.com ~ Perubahan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI) dari Lembaga Tertinggi Negara atau Kekuatan Pengendali (Wazi’) Menjadi Lembaga Tinggi Negara
Oleh : Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P
(Asisten Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI), Alumnus Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik (FISIP) UI)
Pasca reformasi tahun 1998 yang telah mengakibatkan tumbangnya rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Kedua Republik Indonesia (RI), H. Muhammad Soeharto (1967-1997), telah terjadi empat kali amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) Negara RI Tahun 1945. Empat kali amandemen tersebut telah menyebabkan terjadinya perubahan secara drastis terhadap tugas, fungsi, dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
MPR RI yang sebelumnya berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara diturunkan statusnya menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar kedudukannya dengan tiga lembaga tinggi negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Mahkamah Agung (MA) RI dan Presiden RI. Terdapat pula tiga lembaga tinggi negara yang baru yakni Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Komisi Yudisial (KY) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, serta berkurangnya 1 lembaga tinggi negara yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI.
Tugas, fungsi dan wewenang MPR RI untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI serta membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) RI pun telah ditiadakan pasca empat kali amandemen terhadap UUD RI Tahun 1945. Komposisi anggota MPR RI juga mengalami perubahan yang signifikan dengan dihilangkannya Fraksi Utusan Golongan (FUG) dan Fraksi Tentara Nasional Indonesia (TNI)/ Polisi Republik Indonesia (POLRI) MPR RI. Adapun Fraksi Utusan Daerah (FUD) MPR RI bertransformasi menjadi DPD RI yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu.
Penentuan siapa yang berhak menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI diserahkan kepada rakyat untuk dipilih secara langsung melalui pemilihan umum (pemilu), sedangkan GBHN diubah bentuk dan isinya menjadi penjabaran program pemerintah sesuai dengan visi, misi dan program kerja Presiden RI terpilih serta janji-janji kampanyenya dalam pemilu. Dengan demikian MPR RI hanya memiliki tugas, fungsi dan wewenang untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih hasil pemilu, berhak mengubah/ merevisi UUD RI Tahun 1945 Hasil Amandemen (sebagian pihak menyebutnya UUD RI Tahun 2002), serta menyebarluaskan/ mensosialisasikan empat pilar kebangsaan RI.
Empat pilar kebangsaan RI yang oleh anggota-anggota MPR RI wajib untuk disebarluaskan dan diinformasikan kepada masyarakat luas adalah konsep Bhinneka Tunggal Ika, konstitusi UUD RI Tahun 1945 Hasil Amandemen, lambang dan falsafah Pancasila serta konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan adanya beberapa perubahan drastis terhadap tugas, fungsi dan wewenang tersebut berarti MPR RI telah mempreteli dan mereduksi privilege/ keistimewaan dirinya sendiri melalui empat kali amandemen konstitusi (khususnya amandemen III) pasca reformasi.
Pasal-pasal krusial hasil amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 yang terkait dengan MPR RI secara jelas telah mereduksi dan mempreteli tugas, fungsi dan kewenangan MPR RI. Akibatnya MPR RI kehilangan status dan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dan kekuatan pengendali (Wazi’) sistem trias politica plus yang berlaku dalam hukum ketatanegaraan RI di era pemerintahan Orde Lama (Old Order) dan Orde Baru (New Order).
Dalam magnum opus (mahakarya) berjudul Muqaddimah Ilmuwan politik dan filosof fenomenal asal Maroko, Ibnu Kholdun, menyatakan bahwa masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Hal ini perlu karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan oleh Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula (Abdul Muta’ali, 2013).
Dengan demikian diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap manusia lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seseorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali atau Wazi’ (Ibid).
‘Kekuatan yang mengendalikan’ atau ‘alat kendali internal’ (Wazi’) serta persahabatan (shubhah) sangat diperlukan dalam proses dinamisasi kebutuhan kolektif manusia, secara alamiah, sebagai individu yang saling memiliki ketergantungan dengan sesamanya dan tidak dapat hidup sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pernyataan ini dikemukakan oleh Anthony Black dalam karyanya, The History of Islamic Political thought: From The Prophet to The Present (Abdul Muta’ali, 2013).
Ketiga unsur kekuatan politik utama dalam sistem trias politica, jika merujuk pendapat Ibnu Kholdun, tentu saja memiliki kecenderungan watak yang agresif dan tidak adil karena masing-masing lembaga mempunyai modal dasar berupa akal (hasrat untuk lebih berkuasa dan menyalahgunakan kekuasaan) dan tangan (kekuasaan riil politik). Akibatnya ketiga lembaga politik dalam sistem trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif) memiliki status dan kedudukan yang sama sebagai kekuatan riil politik negara serta tujuan yang sama untuk saling mengawasi dan mengendalikan (fungsi kontrol) satu sama lain.
Karena setiap kekuatan riil politik dalam sistem trias politica memiliki kecenderungan dan modal dasar politik yang sama maka setiap lembaga politik tersebut tentu tidak dapat mempertahankan diri mereka sendiri dari kemungkinan tindakan politik negatif (serangan politik) lembaga politik lainnya. Untuk mengatasi watak agresif dan tidak adil dari ketiga kekuatan riil politik tersebut maka diperlukan kekuatan riil politik lainnya sebagai Wazi’ atau ‘alat kendali internal’ yang berpengaruh kuat serta memiliki otoritas dan kekuasaan terhadap ketiga kekuatan riil politik dalam sistem trias politica.
Kekuatan riil politik yang pernah memiliki status, kedudukan dan fungsi sebagai Wazi’ dalam konteks ketatanegaraan RI ialah MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki privilege kekuasaan tertentu pada era pemerintahan orde baru. Namun MPR RI tidak lagi berstatus sebagai Wazi’ dan Lembaga Tertinggi Negara pasca empat kali amandemen terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 karena telah berkurangnya sejumlah fungsi kelembagaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Status dan kedudukan MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara juga ditiadakan sehingga hanya menjadi Lembaga Tinggi Negara yang setingkat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR RI, DPD RI, Presiden, MK RI, MA RI, dan KY RI.
Oleh : Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P
(Asisten Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia (UI), Alumnus Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik (FISIP) UI)
Pasca reformasi tahun 1998 yang telah mengakibatkan tumbangnya rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Kedua Republik Indonesia (RI), H. Muhammad Soeharto (1967-1997), telah terjadi empat kali amandemen terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) Negara RI Tahun 1945. Empat kali amandemen tersebut telah menyebabkan terjadinya perubahan secara drastis terhadap tugas, fungsi, dan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
MPR RI yang sebelumnya berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara diturunkan statusnya menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar kedudukannya dengan tiga lembaga tinggi negara lainnya seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Mahkamah Agung (MA) RI dan Presiden RI. Terdapat pula tiga lembaga tinggi negara yang baru yakni Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Komisi Yudisial (KY) RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, serta berkurangnya 1 lembaga tinggi negara yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI.
Tugas, fungsi dan wewenang MPR RI untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI serta membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) RI pun telah ditiadakan pasca empat kali amandemen terhadap UUD RI Tahun 1945. Komposisi anggota MPR RI juga mengalami perubahan yang signifikan dengan dihilangkannya Fraksi Utusan Golongan (FUG) dan Fraksi Tentara Nasional Indonesia (TNI)/ Polisi Republik Indonesia (POLRI) MPR RI. Adapun Fraksi Utusan Daerah (FUD) MPR RI bertransformasi menjadi DPD RI yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilu.
Penentuan siapa yang berhak menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI diserahkan kepada rakyat untuk dipilih secara langsung melalui pemilihan umum (pemilu), sedangkan GBHN diubah bentuk dan isinya menjadi penjabaran program pemerintah sesuai dengan visi, misi dan program kerja Presiden RI terpilih serta janji-janji kampanyenya dalam pemilu. Dengan demikian MPR RI hanya memiliki tugas, fungsi dan wewenang untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih hasil pemilu, berhak mengubah/ merevisi UUD RI Tahun 1945 Hasil Amandemen (sebagian pihak menyebutnya UUD RI Tahun 2002), serta menyebarluaskan/ mensosialisasikan empat pilar kebangsaan RI.
Empat pilar kebangsaan RI yang oleh anggota-anggota MPR RI wajib untuk disebarluaskan dan diinformasikan kepada masyarakat luas adalah konsep Bhinneka Tunggal Ika, konstitusi UUD RI Tahun 1945 Hasil Amandemen, lambang dan falsafah Pancasila serta konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan adanya beberapa perubahan drastis terhadap tugas, fungsi dan wewenang tersebut berarti MPR RI telah mempreteli dan mereduksi privilege/ keistimewaan dirinya sendiri melalui empat kali amandemen konstitusi (khususnya amandemen III) pasca reformasi.
Pasal-pasal krusial hasil amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 yang terkait dengan MPR RI secara jelas telah mereduksi dan mempreteli tugas, fungsi dan kewenangan MPR RI. Akibatnya MPR RI kehilangan status dan kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dan kekuatan pengendali (Wazi’) sistem trias politica plus yang berlaku dalam hukum ketatanegaraan RI di era pemerintahan Orde Lama (Old Order) dan Orde Baru (New Order).
Dalam magnum opus (mahakarya) berjudul Muqaddimah Ilmuwan politik dan filosof fenomenal asal Maroko, Ibnu Kholdun, menyatakan bahwa masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Hal ini perlu karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan oleh Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula (Abdul Muta’ali, 2013).
Dengan demikian diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap manusia lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seseorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali atau Wazi’ (Ibid).
‘Kekuatan yang mengendalikan’ atau ‘alat kendali internal’ (Wazi’) serta persahabatan (shubhah) sangat diperlukan dalam proses dinamisasi kebutuhan kolektif manusia, secara alamiah, sebagai individu yang saling memiliki ketergantungan dengan sesamanya dan tidak dapat hidup sendirian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pernyataan ini dikemukakan oleh Anthony Black dalam karyanya, The History of Islamic Political thought: From The Prophet to The Present (Abdul Muta’ali, 2013).
Ketiga unsur kekuatan politik utama dalam sistem trias politica, jika merujuk pendapat Ibnu Kholdun, tentu saja memiliki kecenderungan watak yang agresif dan tidak adil karena masing-masing lembaga mempunyai modal dasar berupa akal (hasrat untuk lebih berkuasa dan menyalahgunakan kekuasaan) dan tangan (kekuasaan riil politik). Akibatnya ketiga lembaga politik dalam sistem trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif) memiliki status dan kedudukan yang sama sebagai kekuatan riil politik negara serta tujuan yang sama untuk saling mengawasi dan mengendalikan (fungsi kontrol) satu sama lain.
Karena setiap kekuatan riil politik dalam sistem trias politica memiliki kecenderungan dan modal dasar politik yang sama maka setiap lembaga politik tersebut tentu tidak dapat mempertahankan diri mereka sendiri dari kemungkinan tindakan politik negatif (serangan politik) lembaga politik lainnya. Untuk mengatasi watak agresif dan tidak adil dari ketiga kekuatan riil politik tersebut maka diperlukan kekuatan riil politik lainnya sebagai Wazi’ atau ‘alat kendali internal’ yang berpengaruh kuat serta memiliki otoritas dan kekuasaan terhadap ketiga kekuatan riil politik dalam sistem trias politica.
Kekuatan riil politik yang pernah memiliki status, kedudukan dan fungsi sebagai Wazi’ dalam konteks ketatanegaraan RI ialah MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki privilege kekuasaan tertentu pada era pemerintahan orde baru. Namun MPR RI tidak lagi berstatus sebagai Wazi’ dan Lembaga Tertinggi Negara pasca empat kali amandemen terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 karena telah berkurangnya sejumlah fungsi kelembagaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Status dan kedudukan MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara juga ditiadakan sehingga hanya menjadi Lembaga Tinggi Negara yang setingkat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya seperti DPR RI, DPD RI, Presiden, MK RI, MA RI, dan KY RI.
Foto ilustrasi : sumbawanews.com

No comments
Post a Comment