Muslimedianews.com ~ Termenung. Pandanganku kosong. Suasana sericuh apapun, pramugari
se-aduhai apapun, tetap tak terusik. Bahkan ketika pramugari bertanya
“rice or noodle?”, hanya sedikit tersentak, menjawab seadanya, tak
peduli apa yang ia lakukan pada meja pesawat di depanku, dan kembali
pada lamunanku. Masih tak percaya bahwa kini kakiku tak lagi menyentuh
tanah air. Terbang dalam pesawat. Menatap kosong layar hiburan
didepanku, tanpa menghiraukan suara yang keluar dari headset yang aku
kenakan. Ingatanku berputar, berhenti pada perpisahan bersama bapak dan
ibu di Bandar Udara Juanda. Pertemuan terakhir kami, jabat tangan
terakhir, dan kecupan terakhir sebelum perantauan ini dimulai.
Beliau hanya mengantarku sampai di Juanda, tak ada biaya untuk tiket
pulang pergi dari Surabaya menuju Jakarta dan kembali ke Surabaya lagi.
Sedih sekali, melihat kawan-kawan lain menyaksikan lambai dan senyum
terakhir keluarga mereka hingga menjelang keberangkatan, dan disaksikan
kepergiannya.
Sedikit terusik dengan peristiwa itu, kuputar kembali ingatanku.
Lama. Jauh. Pada peristiwa sekitar setengah tahun silam. Jumat, 24 Mei
2013. Pengumuman hasil ujian nasional untuk tingkat SMA/MA sederajat,
dimana konflik batinku dimulai. Sedikit menyesal karena aku pernah
berjanji akan mengikuti tes Azhar bila SNMPTN tidak lolos. Sedangkan 46
koma sekian bukan nilai yang cukup bagus untuk persyaratan masuk jurusan
pendidikan dokter yang ‘terpaksa’ aku pilih.
Bingung bukan main. Mengingat Azhar yang menuntut bahasa arab,
insya’, dan hafalan quran minimal 2 juz, dan aku yang memfokuskan diri
pada eksak beberapa waktu terakhir karena bapak ingin aku jadi dokter
sebelum berubah pikiran menerjunkanku di dunia agama. Sehingga aku tak
begitu serius mempelajari pelajaran-pelajaran agama di pesantren. Hanya
beberapa yang aku sukai dan yang setidaknya keluar di ujian akhir.
Galau. Bingung bukan kepalang.
Akhirnya aku sadar, bahwa hanya Allah yang dapat menjawab
kebingunganku saat itu, dan yang membuatku teringat, bahwa aku pernah
mendapat ‘bayangan’, yang kuanggap sebagai jawaban istikhoroh tentang
kelanjutan pendidikanku. Bayangan yang kudapat di kendaraan sepulang tryout
akbar di Pacet. Bayangan tentang bandar udara, bapak, ibu, kakak
laki-laki satu-satunya, keluarga, sahabat, orang-orang terdekat, koper,
paspor, tiket, jadwal penerbangan, ruang tunggu, boarding pass, pesawat.
Bayangan yang benar-benar membuatku menangis. Bayangan yang membuatku
yakin, bahwa memang begini jalannya. Menata niat, mengurus semua berkas,
dan mengikuti bimbingan dari pesantren.
Awal Juni 2013. Aku ingin fokus. Aku harus benar-benar fokus
menjalani bimbingan dari pesantren sebelum seleksi Azhar ini. Aku
memutuskan untuk pindah kamar dan berpisah dari kawan-kawan seangkatan.
Hari ini aku mengurus izin pemakaian ruangan kosong untuk kutinggali
bersama seorang lain yang baru kukenal, dan bertujuan sama denganku.
Bimbingan sebelum tes masuk Azhar.
Setelah mendapat izin, kami mulai bersih-bersih dan berbenah. Menyapu
lantai, membersihkan kipas angin, dan memasang alas tidur agar tidak
kedinginan. Memindah pakaian, buku dan kitab, serta peralatan lainnya.
Dan terakhir, menempel kalender buatan di salah satu sudut ruangan,
menghiasinya dengan tulisan Azhar, melingkari rencana awal tanggal tes
(sebelum diundur ke awal Juli, lalu diundur lagi ke pertengahan Juli),
29 Juni 2013.
Hari demi hari kami lewati dengan menjalankan jadwal bimbingan di
pesantren dengan penuh semangat. Berawal dari pagi, bimbingan
insya’-imla’, lalu setoran Quran, belajar nahwu-shorof, sore belajar
hadits, hingga malam tiba, belajar bahasa Arab fusha dan amiyah Mesir.
Hingga malam pun, kami tetap bersemangat. Mengerjakan tugas, saling
memberi inspirasi, saling mengingatkan, menghafal ayat demi ayat. Kami
melakukannya bersama.
Tetap tinggal di pesantren hingga setelah haflah akhirussanah
pertengahan Juni silam. Setelah semua pergi, hingga pesantren ramai
kembali ketika ramadhan tiba dan para santri baru memulai kegiatan
belajar mengajar. Kami bertahan dan tetap tinggal, menahan rasa rindu
pada keluarga di rumah demi cita-cita kami, demi masa depan pendidikan
kami, Al-Azhar Asy-Syarif. Semangat menggebu-gebu. Hingga suatu kabar
yang membutakan segala harap….
Beberapa hari menjelang tes, semangat kami malah menurun. Kami
mendengar kabar angin (yang akhirnya jelas) tentang pembatalan tes yang
konon dikarenakan situasi Mesir yang sedang labil. Di samping itu, kami
tak punya “cadangan” kuliah di Indonesia. Gelisah, kecewa, galau. Masa
depan suram. “Setahun bakal nganggur”. Pikiran negatif mengganggu.
Harapan menggali ilmu di universitas tertua kedua di dunia mulai
memudar. Bahkan, kuliah tahun ini rasanya belum pasti juga. Bimbingan
seperti tiada dengan sendirinya. Kami sudah malas. Ini semua seperti
pemberian harapan palsu. Seperti tiada arti perjuangan kami menetap
disini berbulan-bulan. Menahan rindu dengan keluarga di rumah. Menahan
rasa malu ketika yang lain berbicara tentang daftar ulang dan ospek.
Apalagi ketika bertemu adik kelas dan ditanya, “keterima dimana mbak?”
atau “ngapain mbak kok masih disini?” bahkan yang paling menyakitkan,
“nggak jadi ke Mesir ta mbak?”. Jleb. Aku hanya bisa tersenyum, kemudian
menjawab seadanya dan sedikit berbohong. Berharap tiada yang mengerti.
Tengah hari di pertengahan Juli 2013. Ada kabar bahwa pendaftaran
beasiswa studi S1, S2, dan S3 ke Maroko telah dibuka, alhamdulillah aku
diberi kesempatan mengikutinya. Tanpa membuang waktu karena berita
datang sangat mendadak, kuhubungi orangtua di rumah untuk meminta izin
dan persetujuan. Setelah disetujui, keesokan harinya kami mengurus
segala persyaratan. Semuanya sudah di tangan, kecuali TOEFL yang tak
pernah kutau seperti apa sebelumnya.
Berbekal basmalah dan sholawat, dengan izin Allah, alhamdulillah
semuanya lancar. Tiada kekurangan, dan tepat waktu pengumpulan
berkas-berkas persyaratan. Kami iringi pengiriman berkas itu dengan doa.
Beberapa pekan menjelang idul fitri, kami meminta izin untuk pulang ke
rumah kami, karena semua urusan sudah selesai dan pembatalan tes Azhar
sudah jelas. Bahagia bukan main. Senang bukan kepalang. Hari yang kami
tunggu-tunggu. Pulang. Bertemu keluarga, melihat senyum bapak-ibu.
Tak berhenti mengiringi perjalanan berkas dengan doa. Hari demi hari
berlalu tanpa kabar pengumuman. Tiada yang kulakukan di rumah. Hari-hari
berlalu begitu saja dengan penuh rasa cemas, gelisah, khawatir, galau.
Kawan lain sudah sibuk dengan registrasi dan tugas-tugas orientasi
mereka. Artikel, tanda pengenal, ah, apalah itu. Sedangkan aku? Belum
jelas kemana arahnya. “Kalau ini nggak keterima…. Ahh… mau jadi apa aku?
Masa depan ngga jelas. Mau jadi pengangguran di rumah? Belajar jadi ibu
rumah tangga? Lalu apa gunanya aku sekolah? Astaghfirullah… tenangkan
hati hamba Ya Rabb…”.
Terkadang, terlintas sedikit penyesalan atas semua yang telah
terjadi. Semua kerja keras ku selama ini, rasanya sia-sia….. Sempat
terpikir, jika aku tak diterima, menimba ilmu lagi, mengulang pelajaran,
belajar di pesantren salaf sambil menghafal ayat demi ayat al-quran,
dan ikut tes Azhar tahun depan. Ya, itu jalan satu-satunya. Benar-benar
menjadi beban. Hingga suatu hari…… Telepon genggam ku berdering. Ada
telpon! Nomornya asing. Aku takut mengangkatnya. Lagipula, handphone-ku
sudah error. Suara dari seberang terdengar, namun suara dari
handphone-ku tak sampai ke seberang. Kubiarkan saja berdering. Hingga
sampai satu pesan teks. “Ica, telpon masuknya diangkat ya, ini Pak
Firman. Penting!”. Kujawab jujur saja. “Maaf ustad, handphone saya
rusak, ngga bisa dipake nelpon, ada apa ustad?” “Oh, yaudah ngga papa..
Ica, alhamdulillah, insyaallah kamu keterima di Maroko, sekarang juga ke
pondok ya Nak…”
Jleb! Percaya tidak percaya, sore itu juga, aku meluncur menuju
pesantren. Dengan hati berdebar, memenuhi perintah, melawan arus
menyusuri jalan, menemui menantu Abah di rumah beliau. Setelah beberapa
lama berbincang, aku benar-benar speechless. Antara senang, haru,
bingung. Batas pengumpulan paspor dan sebagainya hanya terhitung jari.
Ini bukan mimpi, kan??… Inilah malam yang ditunggu-tunggu. Jawaban yang
kutunggu. Allah Maha Adil, penantianku selama ini. Segala puji bagi
Allah… Aku siap dengan berkas-berkas di tangan. Pagi ini, kami mulai
mengurus kelengkapan administrasi yang dibutuhkan. Hari ini ditemani
seorang Ustad utusan pesantren, kami menuju kantor imigrasi untuk
mengurus paspor. Panasnya Kota Surabaya-Sidoarjo siang hari di bulan
Ramadhan ini, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan semangat kami yang
menggebu. Aku dan bapak. Beliau rela menyampingkan urusan pekerjaan
beliau demi anak perempuan beliau satu-satunya ini.
Setelah menjemputku di pesantren, kami langsung meluncur menuju
kantor imigrasi di Waru, Sidoarjo. Alhamdulillah semua lancar. Hanya
satu kendala. Aku belum punya Kartu Tanda Penduduk. Persyaratan lain,
bisa dengan paspor dan buku nikah kedua orangtuaku. Alhamdulillah,
bapak-ibu punya paspor. Saat itu juga, bapak kembali ke rumah. Menyusuri
macet dan panasnya Sidoarjo siang hari dalam keadaan berpuasa Ramadhan.
“Lindungi beliau selalu Ya Allah…”
Keesokan harinya, mengurus surat keterangan catatan kepolisian. Kami
berangkat sejak pagi, tujuannya agar segera selesai. Pertama, Aku dan
bapak pergi ke Polsek Genteng di Surabaya, karena kartu keluarga masih
Surabaya, meskipun kami sudah bermukim di Sidoarjo. Tapi kami malah
disuruh ke Polres Surabaya, mungkin mereka tidak berani mengeluarkan
surat tersebut karena tujuannya untuk dibawa sampai luar negeri. Tak mau
memperpanjang urusan, kami langsung pergi ke kantor Polrestabes
Surabaya yang kebetulan tidak jauh dari Polsek Genteng. Sesampainya
disana, kami melakukan segala prosedurnya. Antri di loket, mengisi
angket, cap sidik jari, menyerahkan berkas, hingga membayar biaya
administrasi. Setelah selesai, ternyata kami hanya mendapat sebuah
surat, yang harus kami sampaikan ke kantor polda, dan SKCK tersebut
Polda yang akan mengeluarkan.
Sedikit kecewa karena kukira ini semua selesai dan hari sudah siang.
Tanpa basa-basi, dan karena mengejar waktu kami langsung ke Polda Jawa
Timur yang alhamdulillah letaknya di Surabaya. Setelah SKCK selesai
tanpa kendala, kami pergi lagi ke kantor imigrasi untuk mengambil
paspor. Setelah itu, aku diantar kembali ke pesantren untuk mengantar
berkas.
Malamnya, aku membuat surat kesehatan di klinik umum pesantren. Semua
berkas yang besok akan dikumpulkan ke Jakarta sudah di tangan. Lega
rasanya. Sangat. Masih Agustus. Awal Agustus Hari Raya Idul Fitri. Masih
menanti kabar tentang keberangkatan ke Maroko. Yang miris lagi, ketika
berkunjung atau dikunjungi saudara, malu sekali rasanya, jika ditanya
kelas berapa atau kuliah dimana, atau saudara yang sudah tahu, bertanya
“Kapan berangkat?” malu sekali, membayangkan kalau itu semua batal.
Kasarannya, nggak jadi ke Maroko. Dalam hati sebenarnya aku juga ragu.
Kalau pun nggak jadi berangkat, ya sudah, mondok lagi. Nunggu tahun
depan. Pasrah. Menunggu yang belum pasti. Seperti yang lalu, ketika
menunggu pengumuman sebelumnya. Menunggu yang belum pasti, selalu
membuatku gelisah.
Setelah dirasa cukup liburanku di rumah, beberapa hari setelah Idul
Fitri aku kembali lagi ke pesantren. Ada bimbingan persiapan sebelum ke
Maroko, katanya. Berangkat ke pesantren, aku tinggal numpang di kamar
adik-adik kelas yang tahun lalu sekamar denganku. Tiada pilihan lain.
Hanya tinggal mereka yang dekat denganku. Satu hari, dua hari, satu
pekan. Bimbingan belum dimulai. Tiada yang ku kerjakan disana. Ditambah
lagi, jika tak sengaja bertemu adik-adik kelas dan (lagi-lagi) mereka
bertanya, “loh, mbak, kok masih disini? Ngapain mbak disini? Nggak jadi
ke Mesir ta?”. Dan yang lain, yang tak punya keberanian bertanya, hanya
menatapku dengan tatapan aneh, heran, dan sedikit sinis, dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Yang jelas, semua itu menyakitkan.
Menyedihkan. Menjadi beban. Untuk kembali ke rumah pun, terlalu
merepotkan.
Sungkan kalau ndak izin dulu sama Ning, yang memintaku tinggal di
pesantren untuk bimbingan. Meski bebas izin untuk keluar pesantren, mau
keluar pun bingung. Aku disini sendiri. Sampai akhirnya ku pernah nekat
keluar pesantren, sekadar jalan-jalan berkeliling. Sendiri. Menikmati
kesendirianku. Dari sinilah, aku punya sedikit jiwa “nekat” pergi
kemanapun sendiri. Berbekal doa dan ayat kursi. Hari demi hari
berikutnya. Masih belum ada bimbingan.
Badanku sudah semakin tidak sehat. Mungkin sedikit kaget dengan
kebiasaan tidur di rumah dan di pesantren yang berbeda. Diawali dengan
batuk-pilek, hingga pada klimaksnya, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Terbujur lemas. Berdiri saja susah. Minum obat sudah, namun tak membaik.
Rasanya belum pernah aku sakit hingga berhari-hari seperti ini. Hingga
akhirnya aku memutuskan untuk mengabari ibu di rumah, meminta tolong
untuk memintakan izin kepada ‘Gus’ (suami ‘Ning’ yang mengurus semua ini
dan memintaku untuk tinggal di pesantren karena bimbingan) untuk
pulang, karena disini tidak ada yang merawat. Adik-adik kelas sedang
sibuk dengan sekolah mereka. Aku tak mau merepotkan.
Setelah mendapat izin dengan syarat akan kembali jika sudah sehat,
aku menulis secarik kertas, permohonan izin, maaf, dan terima kasih
kepada adik-adik kelasku yang sudah menampungku beberapa pekan terakhir.
Kuselipkan di jendela kamar mereka. Di rumah pun, aku tetap komunikasi
dengan teman yang akan ke Maroko dan sedang di pesantren. Muhib.
Menanyakan apakah bimbingan sudah dimulai, dan kabar apapun yang
menyangkut keberangkatan kami.
Dan setelah badanku membaik, aku kembali lagi ke pesantren. Kembali
ke kamar yang sebelumnya aku ‘tumpangi’. Baru saja menginjakkan kaki
disana, tiba-tiba telepon genggam ku berdering. Ning menelpon. Dan
ternyata, itulah jawaban atas penantianku selama ini. Aku masih belum
percaya. Apa ini nyata? Ya. Aku tak bermimpi. Ning menyuruhku pulang
untuk menyiapkan barang-barang yang diperlukan karena Ahad depan sudah take-off dari Soekarno-Hatta. Kurang dari tujuh hari.
Tanpa berlama-lama, aku menghungi bapak, mengabarkan apa yang baru
saja ku dengar. Ba’da maghrib, aku kembali ke rumah. Hari demi hari,
koper mulai penuh. Satu demi satu keluarga dekat di Surabaya hingga
Sidoarjo sudah dikunjungi untuk berpamitan. Waktuku di Sidoarjo tercinta
ini semakin sempit. Tiada waktu lagi untuk berkeliling daerah Sepanjang
yang baru kutinggali (kurang lebih) dua tahun terakhir dan akan
kutinggalkan dalam waktu dekat. Dan tiada kusangka, kini aku berada
bersama putri-putri orang hebat, bersama saudara-saudara baru, calon
orang hebat kelak. Dalam sebuah kapal terbang dari maskapai penerbangan
“Qatar Airways”, menggenggam tiket ke luar negeri pertamaku, dan paspor
pertamaku. Dalam perjalanan menuju negeri seribu benteng, yang tak
pernah kuimpikan dan kubayangkan sebelumnya. Rencana Allah memang yang
terbaik. Bukan yang kita inginkan, tapi yang kita butuhkan. God always know the best for us.
sumber : motivasibeasiswa
No comments
Post a Comment