728x90

468x60

Wednesday, February 24, 2016

LGBT Dalam Perspektif HAM Dan Hukum Islam

Muslimedianews.com ~ Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) akhir-akhir ini masih menjadi polemik hangat di tengah masyarakat luas. Tentu saja kita tidak menginginkan polemik ini menyebabkan kegaduhan, ketidaknyamanan, dan rasa saling curiga satu sama lain. Pergolakan pemikiran antara yang pro dan kontra pun terjadi seputar isu tersebut. Mereka yang pro menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus mengkampanyekan prinsip non diskriminasi antara lelaki, perempuan, trangender, pecinta lawan jenis (heteroseksual) maupun pecinta sejenis (homoseksual). Sebaliknya, mereka yang kontra menyatakan, bahwa negara dan masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya preventif terhadap gejala LGBT yang akan membahayakan generasi masa depan Indonesia. Oleh sebab itulah, posisi stategis pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk menangani polemik LGBT secara langsung agar tak terjadi disintegrasi bangsa.

 Identifikasi LGBT
Pertama-tama, mari kita lihat bahwa LGBT adalah problem psikologis (sakit jiwa) sekaligus problem sosial. Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan, anggapan bahwa homoseksualitas dan sejenisnya adalah penyakit mulai dikritik pada dekade 50-an. Setelah melalui berbagai upaya yang cukup panjang, akhirnya Asosiasi Psikologi Amerika pada tahun 1973 memutuskan untuk menghapus homoseksualitas dari daftar penyakit mental. Terlepas dari perbedaan pendapat itu, terhadap hal yang seperti ini, hukum umum tidak bisa diperlakukan dan harus menggunakan hukum khusus. Oleh sebab itu, LGBT dan segala penyimpangan seksualitas adalah sesuatu yang tidak wajar, alias keluar dari kodrat aslinya. Yang mana fitrah manusia adalah diciptakan untuk bereproduksi. Dalam pengertian terang seperti ini kita bisa memahami bahwa LGBT bukanlah gejala yang dibuat-buat secara sengaja, melainkan problem kejiwaan. Dalam konteks ini, tidaklah dibenarkan jika LGBT yang dianggap sebagai problem malah diberikan hukuman. Kalaupun mereka menuntut hak-hanya, namun sebenarnya hak itu bukanlah sesuatu yang kodrati sebagai kemanusiaan.

Perspektif HAM
Mungkin bagi sebagian orang yang pro dengan LGBT menuntut agar pemerintah melegalkan perbuatan tersebut. Mereka sering berdalih dengan landasan hak asasi manusia (HAM) sebagai tameng utamanya. Bahkan Indonesia sebagai salah satu negara hukum memberikan jaminan kebebasan berekspresi diatur dalam UUD 1945 amandemen II, yaitu pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Penulis tidak ingin menyatakan pandangan ini benar. Yang jelas ini adalah masalah kita bersama. Entah problem kejiwaan/problem sosial atau bukan, kita semua dituntut agar memahaminya dengan baik dan segera dicari solusinya.

Sekalipun mereka masih tetap teguh kepada pendirianya untuk melegalkan perbuatan ini. Maka hal yang harus dijadikan basis fundamental dan harus selalu diingat dalam kaitanya penegakkan hak asasi manusia adalah bahwa HAM berbanding lurus dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan. Dengan demikian, setiap individu bebas dan berhak atas haknya masing-masing, namun pada saat yang sama ia harus memperhatikan hak-hak orang lain yang berada di lingkungannya. Sejauh pengamatan penulis sampai saat ini, pandangan kelompok ini baru sampai pada taraf menuntut hak-haknya saja.

Dalam hal ini, Peran pemerintah benar-benar sangat diperlukan untuk merumuskan kerangka kode etik sosial. Kita tidak ingin masalah LGBT ini diselesaikan dengan cara-cara yang tidak manusiawi seperti apa yang pernah dialami oleh  Alan Turing (homoseksual)

Perspektif Hukum Islam
Secara ideal, Islam dan juga agama-agama lain, selalu hadir dalam gagasan-gagasan besar tentang kemanusiaan: Humanisme Universal (insaniyyah). Agama memang dihadirkan tuhan untuk sebuah pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani, kebiadaban, dan perbudakan manusia. Bahkan penulis bisa katakan bahwa awal pintu masuk kenabian adalah revolusi mental, bukan hukum. Inilah yang disebut dengan “imajinatif kenabian.”

Secara historis, fenomena LGBT dapat kita temukan dalam sejarah peradaban umat manusia, khususnya merujuk kepada kisah-kisah kaumnya Nabi Luth yang dijelaskan langsung oleh Al-Qur’an.

Islam secara terang mengecam tindakan yang tidak wajar tersebut. Tak hanya itu, bahkan pelaku sodom harus rela dibinasakan dari permukaan bumi ini (Qs.Al-‘Ankabut, 29: 31-32), sebab mereka tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga memberikan dampak sosial yang buruk terhadap lingkunganya. Memang pro dan kontra Ulama Tafsir dalam memahami ayat ini pun muncul ke permukaan, sejumlah pertanyaan misalnya, jika memang LGBT adalah murni problem kejiwaan atau alamiyah, mengapa Tuhan mengadzab mereka? Ada juga yang berpendapat liberal dan radikal dengan pendekatan “analisis Historis” yang menyatakan, kita tidak tahu cerita itu historis atau ahistoris, yang jelas Allah ingin memberikan pesan-pesan moral universalnya agar tak merugikan diri sendiri dan orang lain. Hemat penulis, faktor yang paling penting mengapa mereka diadzab adalah dampak sosial yang buruk, alias problem kejiwaan sekaligus sosial. Bahkan LGBT seperti sudah menjadi sebuah gerakan massif.

Kalau kita merujuk kepada Al-Qur’an, setidaknya ada dua ayat yang menunjukkan bahwa manusia mempunyai tugas reproduksi. Pertama, Qs. An-nisa’: (1). Kedua, Qs. Ar-rum, (21). Dari kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Fungsi reproduksi kemanusiaan ini sudah mutlak dalam diri setiap individu. Jika ada orang menikah, lalu tidak mengharapkan memiliki keturunan, apakah ini kodrati? Tentu saja jawabannya tidak. Dan juga dari awalnya saja Allah sudah menurunkan wawaddah dan rahmah dalam konteks sosial hubungan pria dan wanita.

Dengan sudut pandang demikian, bagaimanapun kita sudah berusaha meletakkan sesuatu secara proposional hingga dapat memberikan kesimpulan bahwa Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) berarti menyalahi kodrat kemanusiaan universal. Pandangan ini tidak dimaksudkan untuk menghukum LGBT. Terus terang saja  kita tidak menginginkan diantara saudara-saudara kita yang berbeda dengan fitrah kemanusiaan seperti LGBT itu didiskriminasikan, dimarah-marahi, apalagi diancam dengan siksaan agama atau neraka sekalipun. Cara seperti ini tak akan menyelesaikan pokok permasalahan sedikitpun. Dan jalan keluar untuk pemecahan masalah ini harus dilakukan dengan cara dialogis, konsultatif, dan terlebih penting lagi secara bertahap (gradual).   

Penulis : Muhammad Syuhada’
Santri Pesantren Futuhiyyah Mranggen Demak dan Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
« PREV
NEXT »