BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Friday, March 18, 2016

Jalan 'Gelap' Lewati Ka'bah

Muslimedianews.com ~ Jamak diketahui kalau Arab Teluk, khususnya Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman, yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC), adalah kawasan migran internasional. Bahkan jumlah warga migran di sejumlah negara ini jauh melebihi penduduk asli seperti di UEA, Kuwait, Qatar, dan Bahrain. Sementara itu jumlah kaum migran di Oman sekitar 40% dan di Saudi mencapai lebih dari 30% jumlah penduduknya.

Sebagian besar kaum migran ini hijrah ke Arab Teluk 1970/80-an ketika negara-negara GCC melakukan proyek pembangunan dan industrialisasi besar-besaran,csehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Ini adalah dampak dari lonjakan atau booming harga minyak.

Gelombang migran berikutnya datang setelah Perang Teluk II (1991). Akibat perang berkepanjangan, jutaan warga migran kabur dari sana, sehingga setelah perang usai, negera-negara GCC kembali membutuhkan banyak tenaga kerja baru.

Di antara kaum migran internasional ini, negara-negara Asia Selatan yang paling banyak mendominasi sebagai negara asal, seperti India, Pakistan, Bangladesh, kemudian Sri Lanka. Migran yang lain berasal dari negara-negara di Afrika (Somalia, Etiopia, Sudan), Filipina, Cina, Thailand, dan Indonesia. Sedangkan kaum migran Arab sebagian besar dari Mesir, Yaman, dan Yordania.

Selain mendatangkan sejumlah keuntungan finansial baik bagi kaum migran maupun negara-negara tuan rumah, kehadiran mereka, khususnya migran “tenaga kasar”, jadi bukan “ekspat profesional”, telah menciptakan masalah sosial-budaya-ekonomi-politik yang cukup pelik dan tidak gampang diselesaikan, baik bagi negara-negara pengekspor tenaga kerja maupun, atau terlebih, bagi negara-negara pengimpor tenaga kerja tadi.

Saling tuding

Beberapa masalah yang sering muncul misalnya kerusuhan komunal (seperti migran Somalia di Saudi), kesenjangan sosial-budaya, kecemburuan sosial-ekonomi, kekerasan domestik, infiltrasi kultural, peningkatan pengangguran, kriminalitas kota, underground economy, human traffickings, sampai isu-isu prostitusi terselubung dan pelecehan seksual. Semua masalah ini sudah menjadi “rahasia publik” dan membutuhkan penanganan strategis, sistematis, dan komprehensif.

Sayangnya banyak pihak lebih suka “menyalahkan pihak lain” ketimbang mencari solusi yang lebih konstruktif dan produktif. Masyarakat dan pemerintah negara-negara pengekspor buruh migran, misalnya, lebih suka menyalahkan negara-negara tuan rumah yang dituduh kasar dan kejam terhadap buruh (misalnya merajam dan menyiksa), tidak mampu menjamin keamanan kaum migran dan gagal melindungi hak-hak azasi mereka.

Sebaliknya, masyarakat negara-negara tuan rumah cenderung menyalahkan kaum migran yang dianggap tidak bisa menghormati hukum, budaya, agama, dan adat-istiadat “warga pribumi GCC”, sering membuat onar serta “menyerobot” jatah ekonomi warga setempat sehingga menimbulkan lonjakan angka pengangguran, khususnya din kalangan muda.

Fenomena ini, misalnya, sangat terasa di Arab Saudi sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan “Saudisasi”, yakni kewajiban bagi sebagian industri (pabrik, toko, bank, dlsb), institusi dan instansi untuk memperkerjakan warga Saudi. Jika melanggar, mereka akan dikenai sanksi dan denda.

 Masuk secara gelap

Perbedaan cara pandang dan “standar ganda” dalam melihat persoalan kaum migran terkadang membuat masalahnya menggelinding menjadi “bola api” yang panas dan bak “lingkaran setan” yang susah dipecahkan. Padahal persoalan kaum migran ini sangat kompleks dan rumit, sehingga tidak adil kalau hanya menyalahkan satu pihak saja tanpa melihat akar-persoalan yang mendasarinya.

Misalnya saja soal kaum migran Indonesia di Saudi. Terlepas dari persoalan perlakuan sejumlah majikan yang buruk terhadap buruh migran (TKI/TKW) seperti sering diberitakan media, kadang-kadang perlakuan beberapa warga migran sendiri turut memperburuk citra Indonesia di Arab Saudi. Misalnya saja sebagian dari mereka adalah “migran gelap”, khususnya di kawasan Hijaz (Mekah, Madinah, dan Jeddah). Hal ini kemudian menimbulkan sejumlah masalah sosial yang cukup pelik.

Ada juga yang berangkat ke Arab Saudi dengan menggunakan paspor haji atau umrah, kemudian setelah selesai menjalankan ibadah, mereka tidak mau pulang dan memilih tinggal di Saudi, baik atas alasan ekonomi (pekerjaan) maupun alasan agama (ibadah).

Bagi banyak kaum Muslim Indonesia, Saudi—Mekah khususnya—adalah “Tanah Air” kedua yang bisa mendatangkan rizki sekaligus pahala nomplok karena merasa menjalankan ibadah di tempat-tempat suci. Khususnya Masjid Haram (Mekah) dan Masjid Nabawi (Madinah) diyakini mendatangkan guyuran pahala yang melimpah-ruah untuk bekal di akhirat kelak.

Sayangnya, untuk mengais rezeki itu, beberapa dari mereka kadang melakukan perbuatan yang “kurang terpuji”, misalnya dengan menjadi “makelar ka'bah dan hajar aswad” (para jamaah haji dan umrah Indonesia membayar sejumlah uang tertentu kepada para makelar tadi agar dikawal dan bisa mendekati, mencium, dan berdoa di tempat keramat itu) atau menjadi “sindikat prostitusi” terselubung para pelarian TKW. “Pelanggan utama” mereka adalah para sopir taksi atau buruh migran dari India, Bangladesh dan Sri Lanka.

 Meskipun Pemerintah Saudi telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi jumlah “migran ilegal” (misalnya dengan deportasi) tetapi angka “penumpang gelap” ini masih tinggi. Sepanjang ka'bah masih ada, kaum “migran gelap” ini tidak pernah tiada. Semua problem sosial ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengambinghitamkan sana-sini.

Penulis:
Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.

Dikutip dari http://www.dw.com/id/jalan-gelap-lewati-kabah/a-19110432
« PREV
NEXT »

No comments