Setiap orang mungkin akan kagum menyaksikan sikap Rasulullah kepada anak-anak. Kekaguman ini akan bertambah ketika melihat besarnya tanggungjawab yang ada di pundak beliau dalam mengatur negara, memimpin pasukan, memberi putusan di antara manusia saat bernegosiasi dengan tamu negara, dan berinteraksi dengan sahabat-sahabatnya. Beliau juga yang mengatur urusan kaum muslimin, baik orang tua maupun anak-anak. Beliau menerima wahyu dari Rabb semesta alam dan menyampaikannya kepada siapa saja semampu beliau. Bahkan, beliau mengirimkan surat kepada para raja dan pemimpin dunia untuk diajak masuk Islam.
Kekaguman ini akan bertambah lagi ketika Anda tahu bahwa kasih sayang ini tumbuh di lingkungan yang tak memberikan hak untuk anak kecil. Bahkan lingkungan sekitarnya menganggap bahwa kasih sayang kepada anak kecil adalah satu bentuk kelemahan yang tak dapat diterima. Sampai-sampai seorang akan berbangga ketika dia tidak menyayangi anak-anaknya.
Suatu ketika Nabi Muhammd saw mencium Hasan bin Ali di sebelah Aqra' bin Habis. Melihat hal tersebut Aqra’ berkata, "Sungguh saya memiliki sepuluh orang anak, tidak ada seorang pun yang pernah saya ciumi di antara mereka.” Rasulullah memandangnya kemudian bersabda: "Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ahmad)
Aqra’ mengira bahwa tanda ketegasan dan kejantanan adalah bila hati telah mengeras dan membatu, hingga ia tidak menyayangi anak kecil dan menciumi anaknya. Namun, Rasulullah membantahnya dengan bantahan telak yang membuatnya tidak berkutik. Sebuah jawaban yang bukan hanya dikhususkan untuk dirinya, akan tetapi menjadi kaidah prinsip dalam Islam, yaitu sebuah kalimat yang singkat, "Siapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
Rasulullah sendiri tidak tahan mendengar tangisan dan rengekan anak kecil. Abu Qatadah meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulullah. Ketika hendak sujud, beliau meletakkan Umamah, ketika berdiri beliau mengambilnya kembali. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Malik, dan Ad-Darimi).
Rasulullah sedang melaksanakan shalat, tapi beliau tetap tidak tahan dengan tangisan Umamah, cucunya. Beliau menggendongnya walaupun ketika itu sedang shalat.
Kasih sayang ini telah membuatnya memanjangkan atau meringkaskan shalatnya hingga anak kecil bisa tetap bergembira. Kita dapat melihat kisah beliau yang menakjubkan ketika shalat berjamaah. Dalam satu kesempatan, beliau sengaja memanjangkan sujud agar tidak mengganggu anak-anak.
Diriwayatkan dari Syaddad bin Al-Had, “Suatu ketika Rasulullah keluar melaksanakan shalat Isya sambil menggendong Hasan atau Husain. Rasulullah maju dan meletakkan keduanya, kemudian bertakbir untuk shalat. Rasulullah Saw memanjangkan sujudnya di salah satu sujudnya. Ayahku berkata, ‘Aku angkat kepalaku dan ternyata sang anak kecil sedang berada di punggung Rasulullah ketika beliau sujud. Aku pun kembali sujud. Seusai shalat, orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah, Anda sujud lama sekali sehingga kami mengira terjadi sesuatu atau sedang turun wahyu kepadamu.’ Beliau menjawab: “Semua itu tidak terjadi. Hanya saja putraku menaiki punggungku. Aku tidak ingin mengganggunya sampai ia puas melakukannya’.” (HR Nasa'i, Ahmad, Hakim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Hal yang sebaliknya pernah pula dilakukan oleh Rasulullah Saw yang membuktikan besarnya rasa kasih sayang beliau.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: “Sungguh ketika aku telah mulai melaksanakan shalat, sedangkan aku ingin memanjangkannya. Namun aku kemudian mendengar tangisan anak kecil, maka saya pun mempercepat shalat karena saya tahu perasaan sedih ibunya disebabkan tangisan itu.” (HR Bukhari, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Abu Ya'la, dan Baihaqi).Demikianlah Rasulullah mengondisikan shalatnya sebagai bentuk kasih sayang kepada anak kecil dan ibunya.
Kecintaan Rasulullah SAW pada anak kecil juga ditunjukan saat Hari Raya tiba. Usai menunaikan salat Id dan bersalaman dengan para jemaah, Rasulullah SAW segera pulang. Di jalan pulang, dilihatnya anak-anak sedang bermain di halaman rumah penduduk. Mereka tampak riang gembira menyambut hari kemenangan setelah sebulan berpuasa. Pakaian mereka pun baru. Rasulullah SAW mengucap salam kepada mereka, dan serentak mereka langsung mengerubuti Rasul untuk bersalaman.
Sementara itu, tak jauh dari sana, di pojok halaman yang tak terlampau luas, tampak seorang anak kecil duduk sendirian sambil menahan tangis. Matanya lebam oleh air mata, tangisnya sesenggukan. Ia mengenakan pakaian bekas yang sudah sangat kotor penuh tambalan di sana-sini. Compang-camping.
Melihat anak kecil yang tampak tak terurus itu, Rasulullah SAW segera bergegas menghampirinya. Dengan nada suara pelan penuh kebapakan, Rasulullah SAW bersabda, ”Hai anak kecil, mengapa engkau menangis, tidak bermain bersama teman-temanmu?” Rupanya anak itu belum tahu bahwa yang menyapanya adalah Rasulullah SAW.
Dengan ekspresi wajah tanpa dosa, ia menjawab sambil menangis, ”Wahai laki-laki, ayahku telah meninggal dunia di hadapan Rasulullah SAW dalam sebuah peperangan. Lalu ibuku menikah lagi dan merebut semua harta warisan. Ayah tiriku sangat kejam. Ia mengusirku dari rumah. Sekarang aku kelaparan, tidak punya makanan, minuman, pakaian, dan rumah. Dan hari ini aku melihat teman-teman berbahagia, karena semua mempunyai ayah. Aku teringat musibah yang menimpa Ayah. Oleh karena itu, aku menangis.”
Seketika Rasulullah SAW tak kuasa menahan haru mendengar cerita sedih itu. Bulir-bulir air matanya membasahi mukanya yang suci dan putih bersih penuh kelembutan itu. Maka Rasulullah SAW pun lalu memeluknya, tanpa memedulikan bau dan kotornya pakaian anak itu, sambil mengusap-usap dan menciumi ubun-ubun kepalanya.
Lalu sabda Rasul, ”Hai anak kecil, maukah engkau sebut aku sebagai ayah, dan Aisyah sebagai ibumu, Ali sebagai pamanmu, Hasan dan Husein sebagai saudara laki-lakimu, Fatimah sebagai saudara perempuanmu?” Seketika raut wajah anak itu berubah cerah. Meski agak kaget, ia tampak sangat bahagia. ”Mengapa aku tidak mau, ya Rasulullah?”
Rasulullah SAW pun lalu membawanya pulang. Disuruhnya anak itu mandi, lalu diberikannya pakaian yang bagus dengan minyak wangi harum. Setelah itu, Rasulullah mengajaknya makan bersama. Lambat laun, kesedihan anak itu berubah menjadi kebahagiaan. Dan tak lama kemudian ia keluar dari rumah Rasul sembari tertawa-tawa gembira. Dan ia pun bermain bersama teman-teman sebayanya.”Sebelumnya kamu selalu menangis. Mengapa sekarang kamu sangat gembira?” tanya teman-temannya.
Dengan gembira anak itu menjawab, “Aku semula lapar, tapi sekarang sudah kenyang, dan sekarang berpakaian bagus. Sebelumnya aku yatim, sekarang Rasulullah adalah ayahku, Aisyah ibuku, Hasan dan Husein saudaraku, Ali pamanku, dan Fatimah saudara perempuanku. Nah, bagaimana aku tidak bergembira?”
”Seandainya ayah kami gugur di jalan Allah dalam peperangan itu, niscaya kami menjadi seperti dia,” kata beberapa kawannya.
Namun, kebahagiaan anak yatim itu tidak berlangsung lama. Tak lama berselang beberapa waktu setelah menunaikan haji wadak, Rasulullah SAW wafat.
“Sekarang aku menjadi anak yatim lagi,” katanya ambil keluar dari rumah Rasulullah dan menaburkan debu di kepalanya karena merasa sedih. Kata-kata anak itu kebetulan terdengar oleh Abubakar Ash-Shiddiq, yang berada tak jauh dari sana. Maka ia pun lalu ditampung di rumah Abubakar.
Demikian sekelumit kisah kecintaan Rasulullah SAW kepada anak yatim di hari raya. Betapa di hari yang penuh kemenangan itu, hari raya menjadi hari yang menyedihkan – sementara nasib mereka banyak yang luput dari perhatian. Anak-anak yatim adalah makhluk yang senantiasa berpuasa dalam hidupnya, baik dalam memenuhi kebutuhan jasmani maupun rohani. Jangankan mengenakan pakaian baru, untuk makan sehari-hari saja sulit.
Sungguh, memperlakukan dengan baik dan menyantuni anak yatim pada hari raya – dan tentu hari-hari biasa – merupakan langkah yang mulia dan terpuji. Dalam Islam, mereka yang menyantuni anak yatim niscaya mendapat penghargaan yang sangat tinggi. Sabda Rasul, ”Barang siapa menyantuni anak yatim, dia berada di surga bersamaku seperti ini (Rasulullah mempersandingkan jari telunjuk beliau dengan dan jari tengah).” Maksudnya, hidup berdampingan dengan Rasulullah SAW di surga... (***)
Penulis : Aji Setiawan
No comments
Post a Comment