Persetujuan Dengan Gus Dur
Andy F. Noya:
Beberapa ulama bilang, negara ini akan lebih baik jika menerapkan hukum syariah Islam?
Abdurrahman Wahid:
Nggak. Itu orang-orang kepepet. Sebentar lagi mau habis. Nafas penghabisan. Karena bangsa kita itu pada dasarnya adalah bangsa yang longgar pada orang lain. Kita sudah biasa hidup dengan bermacam-macam pandangan. Lah, sekarang ini ada permintaan membubarkan Ahmadiyah. Itu kan permintaan dari sekelompok orang yang akan habis. Fundamentalis.
(Rolling Stone Indonesia Edisi 42/Oktober 2008)
Dalam wawancara itu Gus Dur memang tidak menjelaskan argumen yang mendasari pernyataannya. Apa boleh bikin, pertanyaan-pertanyaan yang beliau terima memang tidak mendalam. Si pewawancara mengajak Gus Dur melompat-lompat dari satu kotak ke kotak lain, berpindah-pindah dari satu ke lain urusan, seakan-akan keduanya adalah bocah-bocah imut yang sedang main cak ingking atawa hopscotch. Alhamdulillah, saya dilingkupi keadaan yang berbeda. Sebagaimana umumnya pemuda desa tak kerja, saya punya waktu luang yang berkelimpahan dan bisa memakai sebagian kecil di antaranya untuk menyampaikan pikiran semata karena iseng, bukan untuk meladeni siapa-siapa dan sonder perlu masuk bingkai yang telah disiapkan oleh Upik Gorila atau Andy F. Noya atau Si Emen.
Jangankan hari ini, kurang dari delapan tahun sejak wawancara itu dipublikasikan, delapan tambah delapan tambah delapan tambah delapan tahun lagi pun saya tetap setuju dengan Gus Dur: kaum fundamentalis sebentar lagi akan kena bengek dan kehabisan napas. Saya menggunakan kata setuju, bukan percaya, karena saya paham pernyataan itu bukanlah ramalan. Ia adalah hasil analisis, sebuah produk pikiran. Dan produk pikiran, anda tahu, hanya patut disetujui atau ditolak setelah diuji dengan pikiran pula, bukan dengan perasaan atau pitam atau iman.
Terus terang saja, deh, saya punya 17.842 argumen rasional yang mendasari persetujuan itu dan sanggup menguraikannya, segulung demi segulung, untuk anda. Tapi saya tak yakin anda rela membuang waktu sepanjang tiga setengah tahun tanpa putus sekadar buat mendengarkan keloceh saya. Oleh karena itu, saya putuskan untuk membagikan lima butir alasan terpendek saja. Lima adalah angka yang elok, sebab ia mengingatkan kita kepada hal-hal yang berasosiasi dengan kebaikan dan belas kasih: Rukun Islam, Pancasila, dan Zainab binti Khuzaimah RA.
1) Bagi orang yang masih akan hidup selama 640 tahun lagi, 32 atau 48 atau 64 tahun memang cuma sebentar. Kalau mau, tempo sesingkat itu bisa saya lewati dengan satu kali tidur saja.
2) Golongan fundamentalis terobsesi pada hari kiamat. Itu sifat nyeleneh yang benar-benar tidak cocok dengan kenyataan bahwa kehidupan manusia semakin lama semakin baik. Di luar perkara nasib, terkena dahak gunung berapi atau tidak, misalnya, mengapa Mammuthus primigenius dan Paramachairodus ogygia yang gagah dan perkasa bisa punah, sementara, katakanlah, Nycticebus coucang tetap ada hingga hari ini? Tentu bukan karena status kukang sebagai hewan paling tampan dan jatmika di dunia fana ini, dong. Kukang, sebagaimana seluruh spesies yang kini hidup dan bekerja di muka Bumi, selamat karena menjalani hidup dengan cara yang sesuai dengan kenyataan.
3) Faktor utama yang menentukan keberhasilan dalam survival of the fittest bukanlah kemampuan menggebuk lawan dan pesaing, melainkan kemampuan berkooperasi. Hal itu telah terbukti benar lebih dari sepuluh googolplex kali, sejak kemunculan makhluk hidup kloter pertama hingga hari ini. Oh, Monsieur Siaw bilang rasa-rasanya tidak demikian? Mboten napa-napa. Bukan pertamax juga, Gan. Kadal berkepala sebelas dan burung berparuh ekor cecak dan babi ungu berkulit terbalik jauh lebih dulu merasa tidak demikian dan emoh bekerjasama.
4) Mengatakan suatu kebohongan memang mudah, tetapi berbohong secara terus-menerus tanpa ketahuan sama sekali adalah pekerjaan yang sulit dan terlampau merepotkan. Selain menuntut daya tahan dan kecermatan, dusta berkesinambungan juga perlu ditopang oleh kecerdasan dan kreativitas. Semakin pendek akal seorang pembohong, semakin cepat kedoknya terbongkar. Dengan demikian, dapatlah kita bayangkan situasi internal kelompok-kelompok penebar kebencian: seorang kader tolol ketahuan berbohong à calon-calon kader yang cerdas mendapat hidayah dan buru-buru melarikan diri yang bertahan dan kemudian menjadi kader-kader baru cuma mereka yang lebih tolol ketimbang para seniornya.
Dan alur itu, kita tahu, berlanjut terus dan terus mengikuti pola spiral, hingga pada lingkaran terkecil yang tersisa tinggallah dua-tiga orang dengan daya kognisi setara remukan bakwan atau kerak kuali atau sabun cuci piring belaka.
5) Gus Dur menyebut golongan intoleran sebagai orang-orang kepepet. Itu pilihan istilah yang tak hanya tepat, tapi juga menarik. Kepepet berarti terimpit atau terdesak atau tersudut. Dan memang demikianlah orang-orang itu menampilkan diri. Mereka rewel, suka mengeluh, dan ngambekan; seolah-olah segenap warga dunia, atau setidaknya seluruh rakyat Indonesia, sedang bergiliran menggetok jidat hitam mereka.
Ya rabb. Jangankan bertindak sekejam itu, mereka berulangkali melakukan perbuatan yang membikin kita rugi saja kita tidak membalas, kok. Sebab kita mengetahui sebuah kenyataan yang mengharukan: mereka sedang kepepet dan megap-megap. Bukan karena ditindas, melainkan karena dicuekin. Jadi wajar, dong, caper melulu. Mereka kira sejauh apa, sih, perjuangan politik bertenaga caper dapat melaju?
Oleh: Dea Anugrah, alumnus Fakultas Filsafat UGM. Penyair dan penulis cerpen. Buku kumpulan cerpennya, Bakat Menggonggong, akan terbit tahun ini.
No comments
Post a Comment