PKS merupakan partai kepanjangan tangan dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang kader-kadernya (termasuk di Indonesia) menaruh "dendam" terhadap pemerintah Mesir maupun ulama Al-Azhar. Kebencian mereka terhadap pemerintah Mesir dan institusi Al-Azhar disebarkan dalam berbagai media yang dikelola oleh kader dan simpatisannya, sampai detik ini.
Strategi PKS dengan membuat lomba membaca kitab ini, tentunya bak membuat kalangan santri dan pesantren "tersambar petir", lebih-lebih partai politik yang berbasis NU, dimana identitas mereka sebagai nahdliyyin kini "diambil" alih oleh PKS, partai politik yang lahir dari ideologi transnasional. Mungkin inilah yang membuat PKB juga menggelar lomba baca kitab kuning yang levelnya lebih tinggi yaitu kitab tasawuf Ihya Ulumuddin (Baca: Musabaqah Qira'ah Kitab Kuning Ihya' Ulumuddin)
PKS boleh dibilang cukup berhasil masuk ke sebagian kalangan pesantren, bahkan di Tebuireng sekalipun. Lebih-lebih pasca wafatnya Habib Munzir al-Musawa (pimpinan Majelis Rasulullah SAW) yang kemudian diganti oleh saudaranya, Habib Nabiel al-Musawa (yang bergabung dengan PKS). Tentu saja, itu adalah peluang bagi PKS untuk semakin menarik simpati masyarakat, apalagi ada Habib Salim Segaf al-Jufri.
Ulama-ulama tersebut memang memberikan warna di PKS sehingga yang awalnya "bau wahhabi" didalamnya sangat menyengat, mulai tidak terlalu bau (walaupun bau tentu ada). Namun, perlu diketahui bahwa kader-kader PKS seperti halnya Ikhwanul Muslimin adalah kader-kader yang militan. Mereka memang bisa "melunak" dengan amaliyah-amaliyah umat Islam tersebut tetapi tetap tidak akan melunak dengan cita-cita mereka. Dengan kata lain, bisa dibilang bahwa mereka hanya sedang menggunakan cara-cara atau strategi tersebut untuk mencapai apa yang mereka citakan. Saat ini, ulama-ulama tersebut cukup bisa "meredam" kader-kader militan di PKS, tetapi itu hanya sementara saja.
Kader PKS dan Kitab Fathul Mu'in
muslimedianews.com. Bagi sebagian orang pesantren yang berada di barisan PKS, mereka tentunya sangat mengenal kitab fiqih karya ulama Syafi'i dari Malabar, yaitu Fathul Mu'in bi Syarhi Qurratu 'Ain. Kitab ini merupakan kitab "ujian tingkat menengah" bagi santri diseluruh pesantren nahdliyyin, karena dikalangan santri sendiri mengenal sebuah ungkapan bahwa "siapa yang bisa lolos dari Fathul Mu'in" maka perjalanannya akan mudah dalam mengkaji kitab lain seperti Fathul Wahhab dan seterusnya.
Strategi inilah yang dimanfaatkan PKS untuk lebih banyak menggait kalangan pesantren, sehingga lomba yang digelar pun dengan membuat syarat khusus yaitu "mendapat rekomendasi dari pimpinan pondok pesantren atau kyai/ustadz/tuan guru". Kalangan pesantren benar-benar menjadi target mereka.
Disisi lain, kader-kader militan PKS tidak familier atau asing dengan kitab tersebut, apalagi kader-kader PKS yang berasal dari Wahhabi.
- Mereka (kader PKS yang Wahhabi) yang dikenal bukanlah ulama Syafi'iyah Syaikh Zainuddin bin Abdul 'Aziz al-Malibari, tetapi lebih mengenal Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (ulama Wahhabi Bin Baz).
- Mereka (kader PKS yang Wahhabi) asing dengan kitab-kitab Syafi'iyah, tetapi sangat familier dengan kitab Tafsir fi Dlilalil Qur'an karangan Sayyid Quthb, Fiqh Sunnahnya Sayyid Sabiq, kitabnya Nashiruddin al-Albani, dan lainnya.
- Mereka (kader PKS yang Wahhabi) tidak mengenal madzhab bahkan anti-madzhab, sementara yang dilombakan kitab fikih madzhab Syafi'i, sebab mereka lebih sering mengikuti slogan "Back to Quran and Sunnah" (kampanye/propaganda yang sering digunakan Wahhabi).
- Mereka (kader PKS yang Wahhabi) tidak mengenal, bahkan ada yang anti terhadap Tasawuf, sehingga pilihan kitab fiqih masih lebih ringan daripada melombakan kitab tasawuf, seperti Ihya' Ulumuddin.
“Milad ke-18 PKS inilah kami anggap sebagai momen membangkitkan kembali semangat kecintaan generasi muda Indonesia terhadap Kitab Kuning Fathul Muin sebagai rujukan utama mempelajari fikih,” ujar Jazuli Juwaini, ketua Fraksi PKS DPR, di Senayan, Kamis (17/3), dikutip dari diposkotanews.com.
Ibnu Manshur
No comments
Post a Comment