BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Wednesday, April 20, 2016

Mizan al-Kubra Solusi Ber-fikih Masa Kini

Jakarta, Muslimedianews ~ Fikih dalam tataran praktisnya, merupakan sebuah ilmu yang bersifat dinamis dan fleksibel sesuai dengan objek dan konteksnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya perbedaan pendapat dalam ilmu yang satu ini. Perbedaan itu tidak hanya muncul dari mereka yang berbeda madzhab/lintas mazhab saja, namun juga di antara mereka yang mengaku menganut mazhab yang sama. Sebut saja Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi misalnya, walaupun keduanya sama-sama bermazhab Syafi’i, namun tidak jarang hasil ijtihad keduanya berbeda dalam berbagai persoalan fikih yang mereka komentari. Bahkan menurut M. Ali Hasan dalam sebuah karyanya menyebutkan bahwa Imam Syafi’i sendiri pernah berbeda pendapat dengan dirinya sendiri. Hal itu terbukti dengan munculnya istilah qaul qadim dan qaul jadid dalam tradisi fikih beliau.

Bagi mereka yang memahami fikih secara luwes dan komprehensif, tidak akan heran dan gundah ketika dihadapkan dengan beragamnya tatacara ibadah yang dilakoni oleh umat Islam. Karena mereka tahu bahwa perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan dalam segala hal, tak terkecuali dalam hal bersyariat (sebut berfikih) sekalipun. Berkenaan dengan hal ini Quraisy Shihab pernah menulis bahwa semakin luas pengetahuan seseorang, maka semakin dalam toleransinya. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada satu kelompok pun yang memonopoli kebenaran atau kesalahan. Semua dapat salah dan dapat benar, kecuali Allah SWT dan Rasul-Nya, karena kalau rasul salah, maka Allah SWT langsung menegurnya.

Namun bagi mereka yang berpandangan picik dan sempit, terkhusus dalam bidang fikih, maka akan memandang perbedaan yang kecil menjadi sebuah persoalan besar yang tidak bisa ditoleransi sedikitpun. Mereka secara langsung akan mengklaim salah setiap orang yang berbeda dengan mereka. Sikap tersebut disebabkan karena kebodohan dan sifat ananiyyah yang senantiasa bersarang dalam hati mereka. Di samping itu, kalau boleh berpendapat, sikap merasa cukup dengan apa yang telah diketahui serta kekurangluasan pandangan terhadap literatur fikih tak pelak sering menjadi faktor utama munculnya sikap ini.

Di sisi lain, kita juga mendapati adanya sebagian kaum muslimin yang mempunyai asumsi bahwa fikih tidak bisa dijadikan sebagai pegangan sama sekali untuk beramal. Mereka menganggap bahwa fikih hanyalah kumpulan pemahaman para ulama masa lalu terhadap teks-teks keagamaan yang tidak semestinya diikuti secara pasti, apalagi kalau dibilang wajib. Mereka terlihat seakan-akan menyangsikan kapabilitas para ulama itu dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan Hadis. Hal itu dapat terbaca dari sikap mereka yang selalu mempertanyakan keberadaan dalil al-Qur’an dan Hadis dari setiap persoalan fikih yang dijawab oleh para ulama itu dalam kitab-kitab mereka. 

Sikap seperti ini, menurut hemat penulis tidak sepenuhnya benar atau bisa dibahasakan dengan kalimah al-haq uriida bihi al-baathil (ungkapan yang benar, namun mengandung kekeliruan). Walaupun para ulama fikih masa lalu itu bukanlah nabi yang maksum dari segala kesalahan dan kekeliruan, namun tetap saja kita harus menghargainya sebagai sebuah produk pemikiran dan tidak untuk dihina apalagi dilecehkan. Tambahannya lagi belum tentu apa yang kita hasilkan hari ini akan bernilai lebih baik dan lebih berkualitas dari apa yang telah mereka capai. Imam Abdul Wahhab Sya’rani seorang ulama besar abad 9 hijriah dalam kitabnya Mizan al-Kubra pernah berkomentar “Kita meyakini bahwa setiap imam-imam mazhab yang ada itu, tidak akan pernah berkomentar mengenai sebuah persoalan melainkan setelah memikirkan dalil dan tempat pengambilannya”. 

Oleh sebab itu sebuah kesombongan yang teramat besar kiranya kalau kita menyepelekan seluruh pandangan-pandangan mereka. Imam Sya’rani juga menambahkan komentarnya “Sebagaimana kita tidak boleh mencela apa-apa yang dibawa oleh para nabi-nabi terdahulu dengan syariat yang berbeda-beda, maka seperti itu juga kita tidak diperbolehkan mencela segala hal yang difatwakan oleh para mujtahid dengan metodologi yang mereka gunakan”. Walau disatu segi kita juga harus selektif dan jeli dalam membedakan mana di antara pendapat itu yang dianggap sebagai pendapat yang bisa diamalkan dan mana yang tidak. Tentunya semua itu dapat diketahui setelah mengadakan penelitian yang mendalam terhadap pendapat-pendapat tersebut secara objektif dengan tanpa berasumsi terlebih dahulu sebelum meneliti.

Imam Syafi’i pernah berkata “Sesungguhnya mengamalkan dua hadis atau dua pendapat yang berbeda, lebih utama daripada mengabaikan salah satunya”. Perkataan itu dinukil oleh Imam Sya’rani dalam kitabnya Mizan al-Kubra sebagai legalitas dan pendukung dari pendapat beliau yang selalu menghargai seluruh pendapat para ulama, selemah apa pun pendapat tersebut. Karena walau bagaimanapun apa yang mereka istimbat-kan tidak mungkin lepas dari metodologi dan dalil. Konklusinya, selama pendapat itu masih tegak berlandaskan dalil serta istidlal (cara bernalar) yang metodologis nan sistematis, maka tidak ada lahan bagi siapa pun untuk mengabaikan atau bahkan menyalahkannya.

Nah di sinilah letak pentingnya kitab Mizan al-Kubra karya Abdul Wahhab al-Sya’rani ini buat para pembaca, yaitu sebagai solusi dari problematika-problematika fikih yang telah penulis uraian di atas. Kitab ini mencoba untuk meng-cover seluruh pendapat para ulama klasik terkait berbagai persoalan fikih yang ada, mulai dari bab ibadah, muamalah, munakahah, atau pun jinayah. Namun satu hal yang membuat kitab ini berbeda dari kitab-kitab fikih lainnya, adalah pemetaan pendapat para ulama yang agak ketat (mutasyaddid) dalam mengeluarkan fatwa terhadap berbagai kasus fikih yang ada dengan mereka yang lebih ringan (mutasahhil). Hal ini hanya dimaksudkan untuk memberikan sajian/menu lebih beragam terhadap umat Islam dalam beramal sesuai dengan pendapat ulama yang mereka sukai.
Tapi perlu dicatat, walaupun beliau menghidangkan berbagai pandangan para ulama, baik yang ketat berupa ‘azimah maupun yang ringan sebagai rukhsah, bukan berarti beliau memberikan legalitas begitu saja buat manusia untuk beramal sesuka hatinya dengan mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dan meninggalkan pendapat yang sulit, dalam arti kata selalu mengamalkan rukhsah dengan meninggalkan ‘azimah, padahal mereka sebenarnya mampu untuk melaksanakan pendapat yang sulit/’azimah tersebut. Hal ini beliau maksudkan hanya untuk memudahkan manusia yang mempunyai kondisi yang berbeda-beda dalam memahami nash-nash agama lewat interpretasi para ulama yang mumpuni dibidangnya.

Beliau pernah berkata, “Mukallaf pada umumnya tidak ada yang keluar dari dua hal/kondisi, yaitu kuat dan lemah dari segi iman dan fisiknya pada waktu dan periode yang bersamaan. Maka barangsiapa yang kuat di antara mereka, maka dia akan dibebani dengan kewajiban yang berat dan mengambil ‘azimah. Dan barangsiapa yang lemah di antara mereka, maka akan dibebani dengan tugas yang ringan dan mengambil rukhsah. Masing-masingnya tetap dianggap berpegang dengan syariat (Islam) ketika itu. Orang yang kuat tidak diperkenankan untuk mengambil rukhsah dan orang yang lemah tidak dipaksa untuk mengamalkan ‘azimah. Dengan standarisasi ini, maka hilanglah segala bentuk pertentangan di antara dalil-dalil syariat dan begitu juga dengan kontradiksi beberapa pandangan ulama yang berbeda”.

Begitulah kira-kira selintas, telah penulis hantarkan beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam kitab Mizan al-Kubra karya agung Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani. Dan penulis berkesimpulan bahwa kitab tersebut sangat bagus dan ideal untuk dibaca dan didalami sebagai solusi dari problematika kontradiktif antar pendapat para ulama yang ada. Sehingga perbedaan-perbedaan itu bisa dijadikan sebagai rahmat buat segenap umat Islam dalam menjalankan ibadah mereka, bukannya menjadi embrio perselisihan yang pada akhirnya membawa kepada kebinasaan umat.





Oleh : Yunal Isra, Peneliti Hadis di el-Bukhari Institute dan Redaktur di Bincang Syariah.com
« PREV
NEXT »

No comments