BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Friday, April 22, 2016

Sayyid An-Nadwi, Ulama Sufi India yang Mendunia

Muslimedianews.com ~ Sayyid Abul Hasan Ali an-Nadwi mendapat julukan “Imam Rabbani, Islami, Qur’ani, Muhammadi” dari DR. Yusuf al-Qardhawi, ulama kontemporer kenamaan Mesir. An-Nadwi juga dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Muslim brilian yang bukan saja dikenal di tanah kelahirannya tapi juga di seluruh dunia Islam. Sampai akhir hayatnya (1999) beliau masih menempati beberapa posisi penting di lembaga Islam internasional seperti Rabithah ‘Alam Islami yang berpusat di Mekkah, Dewan Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab di Damaskus, Majelis Pertimbangan di Universitas Madinah, serta Ketua Rektor Pusat Pengkajian Islam di Oxford University.

An-Nadwi dikenal sebagai ensiklopedis karena ilmunya yang melimpah dan daya kritisnya yang tajam. Visinya yang modernis dan integralis menjadikannya mampu mengembangkan aktifitas dakwah serta pemikiran ke berbagai bidang. Sebanyak 50 judul buku lebih dalam beragam medan pemikiran Islam yang ditulis dalam empat bahasa yaitu Arab, Urdu, Perancis dan Inggris berhasil beliau sumbangkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan Islam. Selain itu, beliau juga telah menyampaikan ratusan ceramah hasil penelitian dan makalah yang kesemuanya ditulis untuk kemaslahatan serta pengabdiannya kepada Islam.

An-Nadwi adalah ulama yang dapat diterima oleh semua aliran serta kalangan Islam di seluruh India dan juga kalangan di dunia Islam yang memungkinkannya berperan dalam menghilangkan berbagai penyebab pertikaian. Beliau telah tercatat berperan serta dalam kurang lebih seratus muktamar dan forum Internasional yang membahas problematika ummat dan masalah keislaman.

Walaupun dikenal sebagai sosok modernis, an-Nadwi sangat keras menentang semua arus yang keluar dari manhaj Islam yang benar. Sejak muda ia mengkritik habis pemikiran takfiri (suka mengkafirkan sesamanya) dan i’tizaliyah (mengisolasikan diri dari kehidupan dunia) yang muncul akibat pemahaman yang dangkal terhadap pemikiran Abul A’la al-Maududi di India dan Sayyid Qutb di Mesir.

Selama hidupnya, an-Nadwi memang dikenal sebagai seorang ulama yang lapang dada dan menghargai karya dan jerih payah orang lain, selama itu untuk Islam. Beliau sangat menjahui sifat fanatik buta terhadap tokoh yang ia kagumi. Beliau menganggap Maulana Muhammad Ilyas adalah tokoh yang beliau kagumi dengan Jama’ah Tablighnya, tapi beliau tidak menutup mata bahwa jama’ah yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia ini butuh kepada pengembangan intelektualitas mereka.

Demikian halnya dengan Ikhwanul Muslimin (IM), an-Nadwi begitu mengagumi sosok Hasan al-Banna dan para pengikutnya. Bahkan dalam pengantarnya terhadap karya al-Banna, Mudzakarat ad-Da’wah wa ad-Da’iyah, beliau menulis bahwa pembunuhan dan penganiayaan terhadap al-Banna serta pengikutnya adalah sebuah kejahatan yang takkan pernah terlupakan oleh sejarah. Pada tahun 1951 beliau berkunjung ke Mesir dan berjumpa dengan para murid serta pengikut al-Banna seperti Syaikh Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qardhawi dan lain-lain, memperkenalkan beliau lebih dekat tentang Ikhwanul Muslimin. Meskipun demikian beliau mengakui bahwa (IM) bukanlah rumah yang dihuni oleh para malaikat yang lepas dari dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu beliau menulis buku Uridu an Atahaddats ila Ikhwan al-Muslimin. Karya tersebut beliau katakan sebagai kritik dan saran dari seorang Muslim untuk saudaranya.

Pribadi dan Kezuhudannya

Syaikh Yusuf al-Qardhawi menyebut an-Nadwi sebagai salah satu dari segelintir ulama abad 20 yang pantas untuk mendapatkan tempat di jajaran ulama Rabbani. Pengakuan al-Qardhawi bukanlah berlebihan karena beliau adalah sosok ulama yang beramal dengan ilmunya, dikenal zuhud dalam kehidupannya, menempatkan dunia pada proporsi yang sebenarnya, menjadikan kehidupan para salaf sebagai cermin kehidupan ideal bagi seorang Muslim yang jauh dari sifat ghuluw dalam ibadah dan keduniaan.

Dalam pandangan an-Nadwi, ulama sejati adalah ulama yang jauh dari kemewahan dunia serta mempunyai sifat zuhud yang tinggi. Zuhud dalam pengertian an-Nadwi bukanlah meninggalkan dunia dengan memakai pakaian compang-camping atau mengisolir diri dari gelanggang kehidupan. Tapi hakikat zuhud adalah menahan diri dari nafsu dunia di saat kita mampu untuk mendapatkannya. Sifat inilah menurutnya membuat para ulama salaf serta para mujaddid Islam seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan para mujaddid sesudahnya begitu tegar di depan pesona keduniaan dan tetap mengatakan tidak pada iming-iming kekuasaan.

Dalam suatu kesempatan di salah saatu universitas di Timur Tengah selesai menyampaikan ceramah an-Nadwi ditawarkan uang sebesar 6000 dolar tapi beliau menolaknya dan mengatakan bahwa beliau tidak pernah mengambil upah dari dakwah. Dalam salah satu tulisannya tentang an-Nadwi, Syaikh al-Qardhawi menuturkan pengalamannya: suatu ketika dalam kunjungannya ke Qatar (tempat al-Qardhawi bermukim) di bulan Ramadhan an-Nadwi sempat menceritakan tentang krisis finansial yang dihadapi oleh Nadwatul Ulama. Al-Qardhawi menganjurkan an-Nadwi untuk mendatangi para muhsinin dan menyampaikan hal itu. Tapi an-Nadwi menolaknya dan mengatakan bahwa mereka adalah para pasien dan kita adalah para dokter. Dan jika para dokter telah meminta bantuan pada sang pasien, siapa lagi yang akan mengobati mereka?

Anak Seorang Ulama

Dilahirkan di Rae Bareilly India pada 6 Muharram 1333 H, bertepatan dengan Januari 1913 M. Ayahnya, al-Allamah Sayyid Abdul Hayyi al-Husni, adalah seorang ulama India yang cukup terkenal dan sekaligus seorang penulis produktif. Karya monumentalnya Nuzhat al-Khawathir adalah sebuah karya ensiklopedia yang memuat biografi tokoh dan ulama India. Karena karya tersebut beliau dijuluki Ibnu Khalkan India. Sayyid Abdul Hayyi meninggal di saat an-Nadwi berusia 10 tahun. 

Ibunya, Sayyidah Khairunnissa, adalah seorang wanita shalihah dan hafidzah juga dikenal sebagai seorang sastrawan yang banyak menulis syair baik dalam bahasa Arab ataupun Urdu dan Persi. Sepeninggal ayahnya, an-Nadwi lebih banyak mendapatkan bimbingan dari sang ibu. Dari didikan sang ibu an-Nadwi bisa menghafal al-Quran 30 juz pada usia kanak-kanak serta berhasil mempelajari dasar-dasar bahasa Arab dan Persi. Dari ibunya, an-Nadwi bukan hanya mendapatkan bimbingan intelektualitas tapi juga bimbingan spiritual dan kecintaan kepada al-Quran. Setiap malam Jum’at, kenang an-Nadwi, sang ibu selalu membiasakan anak-anaknyauntuk membaca surat al-Kahfi agar selamat dari fitnah Dajjal (sebagaimana anjuran Rasulullah Saw.).

Setelah keluar dari madrasah oleh sang ibu an-Nadwi diantarkan belajar dasar-dasar sastra Arab pada Syaikh Khalil bin Muhammad al-Anshari al-Yamani dan Prof Dr. Taqiyuddin al-Hilali yang pada waktu itu menjadi dosen di Nadwatul Ulama Lokcnow India. Ketika berusia 14 tahun beliau mulai mengecap pendidikan formal di Universitas Lokcnow mengambil jurusan sastra Arab, dan beliau menjadi mahasiswa termuda. Selama belajar di universitas tersebut, an-Nadwi banyak mendalami buku-buku yang berhubungan dengan sasta Arab seperti Nahj al-Balaghah. Di universitas yang sama an-Nadwi juga mendalami bahasa Inggris dan ilmu-ilmu umum. 

Selesai mendalami sastra Arab, beliau mulai mempelajari disiplin ilmu yang lain seperti hadits, tafsir, tarikh, yang semuanya beliau tempuh dengan jalur talaqqi dari seorang syaikh kepada syaikh yang lain, sebuah corak pendalaman ilmu yang ditempuh oleh para ulama salaf. Dari Maulana Khaidar Hasan Khan di Nadwatul Ulama, beliau mendalami ilmu hadits dan menamatkan Kutubussittah.

Selesai mengaji pada Maulana Khaidar Hasan beliau nyantri di Darul Ulum Dheoband, sebuah pesantren tradisional yang banyak menelorkan ulama-ulama India. Di markas para pakar hadits tersebut, an-Nadwi tinggal beberapa waktu. Selesai mendalami hadits, pada tahun 1932 an-Nadwi pergi ke Lahor. Di kota tua tersebut beliau mendalami tafsir al-Quran pada Syaikh Ahmad Ali al-Lahori. Dari mufassir kenamaan tersebut beliau berhasil menyelesaikan kitab-kitab induk tafsir, seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir ath-Thabari, Tafsir al-Baidhawi dan lain- lain.

Sekembalinya dari Lahor beliau ditunjuk sebagai dosen sastra Arab dan tafsir di Nadwatul Ulama Lockhnow. Di universitas yang memadukan sistem tradisional dan modern tersebut, an-Nadwi mulai berkenalan dengan majalah-majalah berbahasa Arab yang terbit di Timur Tengah seperti al-Manar, al-Hilal, az-Zahra dan lain-lain. Majalah-majalah pembaruan Islam tersebut bukan saja ikut memberi andil terhadap pembentukan intelektualitas beliau, tapi juga memperkenalkan an-Nadwi pada uslub (metode) penulisan bahasa Arab. Maka tidak heran jika pada usia 16 tahun beliau telah berhasil menulis biografi Sayyid Ahmad Irfan seorang ulama India, dimuat di majalah al-Manar bahkan kemudian diterbitkan oleh Rasyid Ridha di Mesir.

Mendambakan Perdamaian

70 tahun berjalan bersama kafilah dakwah beliau telah banyak menyaksikan pahit getirnya perjalanan ummat, namun tragedi sejarah yang pernah menimpa ummat ini yang beliau akui sebagai tragedi yang paling menyedihkannya adalah jatuhnya Khilafah Islamiyah Utsmani di Turki pada tahun 1924. Kalau saja dunia tahu, tulisnya, tentang kerugian yang akan diderita dunia akibat jatuhnya Khilafah Utsmani niscaya mereka akan mengenang hari kejatuhan itu sebagai hari duka-cita.

25 tahun setelah jatuhnya Khilafah Utsmani, pada tahun 1951 karya monumentalnya masa Khasir al-‘Alam bi Inhithat al-Muslimin diterbitkan. Karya tersebut telah mendapatkan kekaguman dan sambutan hangat dari para pemikir Muslim. Sayyid Quthb mengomentarinya sebagai karya sejarah yang telah menafsirkan sejarah lewat tafsiran Islam yang lebih luas. Karya tersebut telah mengantarkan beliau untuk mendapatkan The King Faishal International Award pada tahun1980 bersama Dr. Mohammad Natsir. 

Lewat karyanya yang pernah menjadi best seller itu, an-Nadwi ingin menyadarkan kembali ummat Islam bahwa mereka bukanlah aktor dari sebuah babak-babak drama yang dipentaskan atau anak-anak catur yang dipermainkan, tapi mereka adalah faktor utama yang menentukan wajah dunia. Sudah saatnya, lanjut an-Nadwi, Islam memimpin dunia sekali lagi sebagaimana Islam telah menyelamatkan dunia pada abad ke-enam dengan kedatangan Rasulullah Saw. 

Dunia Arab, lanjut an-Nadwi adalah harapan dunia Islam untuk memimpin dunia sekali lagi, karena mereka adalah rahim yang pernah melahirkan para pahlawan Islam yang membuka pintu gerbang dunia. Sayang ajal lebih dulu menjemputnya, beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Jum’at tanggal 31 Desember 1999 di tanah kelahirannya. (Sumber: fp IlmuTasawuf.com).

« PREV
NEXT »

No comments