BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Friday, October 07, 2016

Ibrahim Al-Bajuri; Grand Syekh al-Azhar saat Mesir dijajah Barat

Jakarta, Muslimedianews ~ Kitab Taqrib karya Abu Syuja' adalah salah satu kitab fikih andalan yang dikaji oleh para santri di tingkat dasar. Penyajiannya yang menggunakan bahasa yang simpel membuat para santri lebih mudah untuk menghafal, memaknai, dan memahami isi kitab tersebut. Bahasa simpel yang digunakan Abu Syuja' membuat para ahli fikih lainnya berkepentingan untuk mengomentari kitab tersebut dalam bentuk syarah. Diantara syarah-syarah kitab Taqrib adalah Fathul Qarib karya Abu Qasim, yang kemudian dikomentari lagi menjadi hasyiyah oleh Ibrahim al-Bajuri.
Sebagaimana dilansir dalam laman resmi Lembaga Fatwa Mesir (Dâr al-Iftâ al-Mishriyyah), nama lengkap penulis Hasyiyah al-Bajuri itu adalah Ibrahim bin Muhamad bin Ahmad. Ia lebih dikenal dengan nama Al-Bajuri, yaitu nama salah satu desa yang berada Provinsi Menoufia di Negeri Firaun, Mesir, tempat di mana ia dilahirkan pada tahun 1784 M/1198 H. Masa kecilnya ia habiskan untuk mengahafal Alquran dan belajar ilmu-ilmu agama Islam lainnya pada Ayahnya. Pada usia empat belas tahun, ia dikirim Ayahnya untuk menimba ilmu di Kairo. 

Penjajahan Prancis terhadap Mesir membuat studinya di Kairo sedikit terganggu dan kondisi tersebut memaksakannya pindah sementara waktu ke desa Jizah, Provinsi Fustat. Setelah penjajahan Prancis berakhir, ia kembali melanjutkan studinya di Ibu Kota itu. Sehingga pada masa dewasa, ia menjadi pakar dalam berbagai bidang ilmu kesilaman, seperti Fikih, Hadis, Tafsir, Usul Fikih, dan Logika, dan mengantarkannya menempati tempat terhormat sebagai salah satu Syaikhul Azhar pada tahun 1847 M. Ia pun melahirkan banyak cendikiawan Mesir yang reputasinya diakui dunia, yang diantaranya adalah Rifa’ah Al-thahthawi. Hingga pada akhirnya, ia menghadap Tuhan Yang Maha Esa pada tahun 1862 M di Kairo. 

Konon, Kiai Ahmad ar-Rifai Kalisalak, merupakan salah satu murid Ibrahim al-Bajuri. Asumsi ini, menurut Djamil dalam bukunya, Perlawan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak, seperti yang dikutip Islam dalam bukunya Puisi Perlawanan dari Pesantren. Asumsi ini didasarkan pada kuatnya pengaruh kaarya al-Bajuri, seperti Tuhfah al-Murid dan Hasyiyah al-Bajuri terhadap karya-karya Kiai Ahmad ar-Rifa’i. Selain itu, bila dilihat dari keterpautan tahun hidup keduanya dimungkinkan untuk bertemu. Kiai Ahmad ar-Rifa’i hidup pada 1786 M, dan sempat menimba ilmu di Mekah selama delapan tahun, 1833 – 1841 M. Syekh Ibrahim al-Bajuri lebih tua dua tahun dari Kiai Ahmad ar-Rifa’i.

Sosok al-Bajuri dikenal sebagai ahli mantik, sehingga bila kita membaca karya-karyanya terlihat sekali sangat dipengaruhi oleh ilmu logika tersebut. Selain itu, al-Bajuri juga hidup di masa penjajahan Prancis terhadap Mesir yang membawa ‘berkah’ tersendiri bagi para cendikiawan yang hidup pada saat itu. Gubernur Mesir pada saat itu, Muhamad Ali, melakukan upaya yang begitu signifikan dalam menyerap ilmu-ilmu yang datang dari Eropa. Ia mengirimkan sekian banyak cendikiawan untuk belajar langsung di berbagai negara Barat, seperti Prancis, Inggris, Jerman, dan lain sebagainya. Selain itu, ia juga melakukan penerjemahan karya-karya Barat secara besar-besaran.



Oleh: Ibnu Kharish.

« PREV
NEXT »

No comments