NU Difitnah Di Pacitan dan Tegal Tahun 1952-an karena Keluar dari Masyumi
Muslimedianews.com ~ SEJARAH NU DIFITNAH DI PACITAN DAN TEGAL TAHUN 1952-AN
Tujuan tulisan pendek ini bukan mau ungkit-ungkit, tapi untuk mengingatkan semua pihak agar tidak mengulangi sejarah buruk. Karena saat ini muncul benih itu.
Nampaknya NU difitnah tidak hanya oleh PKI, tapi juga sesama muslim, terutama yang berafiliasi dengan Masyumi. Pernah NU saat keluar dari Masyumi difitnah mau mendirikan Negara Islam (baca buku Tambakberas).
Fitnah yang lain seperti ditulis dalam disertasi Prof. Ali Haidar yang dibukukan berjudul "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia". Awal kehidupan politik NU selain dimulai dengan konsolidasi organisasi untuk menata kehidupan partai baru, juga diwarnai ketegangan di daerah-daerah, khususnya dengan Masyumi.
Seorang pegawai kantor urusan agama di Bojonegoro dalam laporannya kepada PBNU mengatakan bahwa ia "diblokir dan dipojokkan, tidak diberi kekuasaan (jabatan?) dan pekerjaan sama sekali", setelah NU keluar dari Masyumi, sehingga terpaksa dia minta dipindahkan ke Pacitan.
Dalam laporan selanjutnya, warga NU tersebut merencanakan akan membentuk cabang NU di Pacitan, tetapi diintimidasi oleh beberapa orang pemimpin partai yang datang dari Jakarta dan Surabaya, dikatakan bahwa NU adalah pemecah persatuan ummat Islam. NU juga dituduh PKI karena salah seorang gembong PKI telah berusaha membentuk cabang NU di Pacitan.
*****
Laporan NU Cabang Tegal juga menyebutkan adanya kecaman tidak sehat, "Kiai yang bermazhab sebetulnya mazhab Van der Plas." Atau kecaman tidak bermutu, "Jangan mengikuti ulama munafiq yang berjanji sebelum kabinet AA terbentuk tidak akan duduk dalam kabinet, tetapi nyatanya duduk. Apakah itu bukan munafiqin?"
Ada juga kampanye berisi tuduhan merendahkan, "Kiai-kiai itu kalau dicukur (plonco) dengan pecahan gelas sampai keluar getah timunnya kemudian dikeceri (diperasi) jeruk mesti keluar "cap palu aritnya". Disebutkan juru kampanye itu membawa jeruk dan pecahan gelas yang dipertunjukkan kepada hadirin.
*****
Saya menjadi merenungi, sikap beberapa tokoh NU yang menyayangkan keluarnya NU pada tahun 1952 dari Masyumi, bisa jadi di antara faktornya adalah kekhawatiran fitnah dan kelancangan yang muncul setelahnya (seperti kisah di atas).
Sebagaimana diketahui, beberapa tokoh NU menyayangkan keluarnya NU dari Masyumi seperti KH Wachid (baca "Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng"). Demikian juga menurut Andree Feillard dalam "NU vis a vis Negara", putra KH Hasyim Asy'ari, KH Karim Hasyim pada tahun 1952 menolak meninggalkan Masyumi.
Namun dapat dibaca dalam sejarah, KH Wahab Chasbullah tetap pada pendiriannya dengan keluar dari Masyumi sebagai konsekuensi keputusan Muktamar NU di Palembang. Dan saat cacian muncul, Kiai Wahab Chasbullah nampaknya juga sudah menyadarinya dg ujaran bahwa pohon kalau tinggi menjulang, pasti akan diterpa angin, kalau tidak ingin diterpa angin, jadilah rumput.
Saat NU diragukan, Kiai Wahab Chasbullah bicara dengan mantap, pasti dan nampak sudah berdasar pertimbangan "langit", Kiai Wahab dawuh, "Banyak Pemimpin NU di daerah-daerah dan juga di pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU. Mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin akan kekuatan yang dimilikmya. Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias pohon kelapa sebagai meriam tiruan. Pemimpin NU yang tolol itu tidak akan sadar siasat lawan dalam menjatuhkan NU melalui cara membuat pemimpin NU ragu-ragu akan kekuatan sendiri."
Dan terbukti, setelah NU mandiri menjadi parpol dan ikut pemilu tahun 1955, NU muncul sebagai kekuatan besar (baca buku Tambakberas). Wallohu a'lam.
Dr. Ainur Rofiq Al-Amin
No comments
Post a Comment