BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

OPINION

Opinion
Showing posts with label Exclusive. Show all posts
Showing posts with label Exclusive. Show all posts

Sunday, May 05, 2019

Salah Memahami Islam, Akhirnya Menciptakan Musuh Sendiri

Muslimedianews.com ~ Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah agama rahmatan lil alamin. Tidak ada konsep penjahat abadi, sebab ajaran Islam diperuntukkan untuk semua umat. Maka tidak dikenal permusuhan abadi. Para shahabat pada awalnya juga kafir, namun setelah masuk Islam, mereka jadilah mereka orang-orang baik.

Inilah konsep rahmatan lil alamin Artinya, semua manusia berhak mendapatkan kebaikan dari agama Islam. Kalau sudah muslim, haram diperangi. Kalau tidak muslim bukan berari halal diperangi.

Bukankah orang kafir terbagi dua, ada yang harbi dan non harbi. Yang diperangi hanya yang harbi, itu pun perangnya hanya di medan tempur sungguhan, setelah gagal segala bentuk perundingan dan gencetan senjata.

Prinsipnya al-ashlu as-silmu (الأصل السلم), defaultnya perdamaian, hidup berdampingan, saling hormat dengan non muslim. Kalau pun ada perang, itu jalan keluar terakhir saja. Bahkan masih wajib jaga adab perang pula.

Penyimpangan Pemahaman
Tapi buat segelintir orang, konsep seperti ini dianggap tidak seru. Tidak ada tokoh jahatnya, sehingga berislam itu jadi adem ayem, kayak sayur kurang garam.

Maka oleh kalangan ini diciptakan lah tokoh-tokoh antagonis alias penjahat. Yang utama tentu penjahatnya adalah mereka yang non muslim. Di mata mereka, kafir itu tidak pernah ada bagus-bagusnya. Menyebutnya saja harus KAFIR, kalau menyebut 'non muslim' berarti anda anti Al-Quran.

Jadi dalam pandangan segelintir orang ini, Semua non muslim eh semua kafir adalah penjahat yang kudu diperangi dan diacungkan pedang di hidungnya. Mau di Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu, apapun agama mereka, pokoknya semua harus jadi penjahatnya. Sebab kalau tidak dianggap sebagai penjahat, berislam jadi nggak seru.

Bukan apa-apa, kan tiap hari ngajinya saja sudah urusan jihad-jihad gitu. Lha buat apa tiap hari mengasah pedang dan latihan perang-perangan? Nanti semua jadi mubazzir dong?

So, jadilah semua agama di luar Islam sebagai karakter-karakter jahat dalam ajaran ciptaan mereka. Cita-citanya saja jelas banget kok, yaitu mati syahid gitu loh. Jihad jalanku dan mati syahid adalah cita-cita tertinggi ku.

والجهاد سبيلنا والموت في سبيل الله أسما أمانينا

Tiap pengajian dan taujih, dua doktrin inilah yang selalu diangkat. Sudah tidak ada lagi batasan kafir dzimmi dan harbi. Pokoknya semua kafir itu berpotensi besar untuk jadi penjahat, maka kita gorok lehernya.

Meski secara fiqih tidak dibenarkan, namun alibinya disesuaikan dengan menelurkan istilah yang cuma ada di masa sekarang saja, tidak dikenal sepanjang sejarah, yaitu al-ghazwul fikri (الغزو الفكري). Yang didefinisikan sebagai :

غزو الأعداء غزوا جاهليا جديدا

* * *
Tambah Musuh Baru

Bosan dengan musuh yang kafir beneran, biar tambah seru lagi, kemudian dibuatkan lagi tokoh-tokoh jahat baru. Cerita mulai dibikin bagaimana biar orang yang sudah memeluk Islam pun bisa jadi tokoh jahat juga.

Maka dibuatlah karakter aneh-aneh, yaitu karakter muslim tapi sekuler, muslim tapi kejawen, muslim tapi tradisionalis, muslim tapi ahli bid'ah, muslim tapi kapitalis, muslim tapi pengikut asing dan aseng, muslim tapi berbau syiah, muslim tapi nusantara, muslim tapi tidak hijrah, muslim tapi tidak kaffah, muslim tapi tidak khilafah, dan seterusnya.

Kali ini lebih dramatis dan tragis lagi, yaitu musuhnya masih sesama muslim, masih shalat 5 waktu, rajin puasa Ramadhan, pandai baca Quran bahkan banyak yang jadi tokoh agama juga.

Namun karena beda aliran dan pilihan politik, termasuk beda junjungan paslon, jadilah mereka ini sebagai karakter musuh yang baru. Makin seru, bukan?

Bayangkan, yang jadi penjahatnya sekarang adalah temannya sendiri, malah ada pasanganntmya, yaitu suami atau istrinya sendiri, anaknya sendiri, bapak ibunya sendiri, kadand abang dan adiknya sendiri, bahkan tetangga, saudara, ponakan, sepupu dan famili sendiri.

Teman saya sekarang lagi musuhan sama ustadznya dan guru ngajinya sendiri. Soalnya beda milih paslon. Lagi sebarkan kabar-kabar di medsos bahwa ustadznya itu 100% sudah jadi orang munafik, fasiq dan pengkhianat agama. Bentar lagi halal darahnya. Naudzubillah....

Jadilah mereka termasuk dalam daftar musuh yang harus diperangi. Meski memeranginya belum pakai golok dan timah panas, minimal sudah dianggap halalan toyyiban untuk dinyinyiri, dibuli, dihina-hina di media sosial. Ternyata penyebabnya cuma karena beda pandangan politik.

Jadi inilah hasil pembinaan umat yang katanya jadi garda terdepan kemajuan Islam. Sebuah generasi muda kader-kader dakwah yang siap jihad fi sabilillah. Siap menegakkan panji-panji Islam dan siap meluluh-lantakkan musuh.

Tambahkan Penjahatnya Biar Seru
Oleh : Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA

Friday, April 26, 2019

Kalau Hadits Itu Shahih Itu Madzhabku

Muslimedianews.com ~ "Kalau hadits itu shoheh maka itu madzhabku".  Ucapan ini adalah ucapan imam madzhab yang maknanya luar biasa, menunjukkan tawadhu'para imam dalam kehidupannya, tetapi sayang seribu sayang ucapan ini adalah yang sering dibuat hujjah buat membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat imam tanpa sadar kadar dirinya.

Terkadang membenturkan pendapat imam dengan mengatakan ikut Qur'an sunnah ataukah ikut imam? Padahal para imam adalah naashirussunnah yang menolong tersebarnya sunnah, buka penentang sunnah.

Dan mengikuti pendapat para imam dalam memahami Qur'an Sunnah lebih utama dan lebih baik daripada mengikuti pemahaman kita sendiri dalam memahami keduanya..

Untuk itu perlu ana berikan contoh penerapan ucapan imam ini yang dilakukan oleh imam itu sendiri atau bahkan murid2nya

Contohnya

1. Dalam masalah wakaf, Abu Hanifah menyatakan bahwa tidak ada asal dari wakaf, karena wakaf itu adalah wasiat dan itu tergantung atas keputusan hakim. Beliau berpendapat bolehnya diambil harta wakaf dan dijual lagi. Karena hukum wakaf menurut beliau adalah boleh bukan wajib sehingga dikembalikan ke tangan pemiliknya adalah boleh.

2. Begitupun masalah hitungan sho' menurut imam abu Hanifah satu sho' itu 4 mud, yang satu mud : 2 rithl, sehingga menurut beliau jumlah 4 mud : 8 rithl. Menurut imam Syafi'i, Malik dan Ahmad 1 mud : 1 sepertiga rithl.

Penerapan Ucapan Kalau Hadits Shoheh
Suatu waktu Abu Yusuf dan Ar-rosyid memanggil Syafi'i ke Madinah, yang mana pada waktu itu imam Malik masih hidup, Abu Yusuf ingin berbicara dengan Syafi'i dihadapan imam Malik dan Ar-rosyid dalam beberapa permasalahan salah satunya adalah permasalahan diatas.

Maka Imam Syafi'i minta dipanggilkan anak2 dari keturunan Habasyah dan keturunan Abu Sa'id al-khudryi, dan keturunan muadzin nabi, maka imam Syafi'i mengatakan bagaimana kalian mendapatkan Adzan dan iqomah di zaman kalian? Mereka menjawab adzan masing2 dua kali dengan cara at-tarji' (mengucapkan syahadat dua kali dengan suara rendah kemudian syahadat lagi dua kali dengan suara yang keras), adapun iqomah maka sekali2 saja (imam abu Hanifah berpendapat iqomah sama seperti adzan). Demikian kami mendapatkan bapak2 dan kakek2 kami melakukannya, maka mari kembali ke zaman para nabi.

Kemudian dalam masalah sho' maka imam Syafi'i minta dihadirkan dihadapannya anak dari keturunan Muhajirin yang mewarisi dua buah sho', maka ditanyakan dari mana kalian mendapatkan ini? Mereka menjawab dari bapak kami dan kakek2 kami dari zaman nabi, dan ternyata timbangannya sama seperti hitungan Syafi'i

Kemudian masalah selanjutnya masalah wakaf
Mereka keluar ke Padang pasir bersama Harun Ar-Rasyid, maka Syafi'i berkata kepadanya beliau, milik siapakah ini? Maka dijawab ini wakaf dari abu bakar Ash-Shiddiq untuk oramg2 faqir, ini wakaf dari al-faruq (Umar), ini wakaf dari dzi Nuraini (Utsman), ini wakaf dari al-murthadho (Ali), ini wakaf dari fulan dan fulan dst. Maka wajib bagi kita ikut sunnah nabi, yang demikian kami dapatkan dari zaman sahabat sampai zaman kita ini.

Maka imam Syafi'i bertanya kepada Ar-rosyid, wahai Amirul mukminin diantara keduanya mana yang paling dekat ke-sunnah nabi? Maka Abu Yusuf mengikuti pendapat Syafi'i dalam perkara ini.

Maka orang2 pun bertanya, kenapa engkau mengikuti pendapat temanmu ini (Syafi'i)? Kalau seandainya Syafi'i mengetahui pendapatku benar (lebih mendekati sunnah) maka sahabatku ini pun akan mengikuti pendapatku.

Dinukil dari kitab tafdhil madzhab Syafi'i a'la saairil madzahib milik imam haromain abul ma'ali Al-juwaini rohimahullah

Demikianlah cara penerapan ucapan ini harus benar2 dipahami oleh imam2 Mujtahid yang mengerti ucapan imam mereka, karena hakikatnya yang diajak bicara oleh para imam dengan ucapan "kalau hadits iti shoheh maka itulah madzhabku" adalah murid2nya yang derajatnya sudah sampe ke derajat Mujtahid, bahkan gak sedikit yang sampe ke derajat mujtahid mutlak. Sedangkan anda? Jadi mujtahid juz'i saja sudah harusnya sujud syukur...

Dan sejatinya madzahib sekarang telah di tutup dengan masa tahrir, dan Mujtahid2 madzahib telah sepakat kalau itulah Pendapat mu'tamad madzhabnya, dan gak selayaknya seseorang mengacak2 madzhab sampe ia mencapai derajat muharrir madzhab, kalo belum maka mereka masih belum layak ngomong2 urusan itu.

Karenanya dalam Muqoddimah majmu milik Nawawi disebutkan oleh beliau Syarat menerapkan ucapan imam adalah membaca seluruh kitab madzhab dari awal sampai akhir, memahami maknanya dan memahami seluruh riwayatnya, setelah itu anda akan mengetahui sebab2 hadits itu gak dipakai itu apa? apakah dianggap mansukh? Atau dianggap hadits mutlak yang butuh di taqyid atau apa? Dst

Sangatlah di sayangkan datang setelah itu di zaman kita ini, yang sekolah baru lulus kuliah, madzhabnya gak jelas, ushulnya masih belum jelas berdiri diatas madzhab apa, terus bilang yang shoheh itu ini, imam madzhab berkata demikian dan demikian itu lemah

Ana harap kedepannya asatidzah gak bermudah2an dalam berkata tentang ucapan diatas, minimal beradablah sebagai imam qoffal (lupa qoffal kabir ato yg shoghir) yang mana ketika mau meninggal, maka ada yang tanya suatu pertanyaan, maka beliau berkata kamu mau ikut ijtihadku ataukah ijtihad Syafi'i?

Anda menolak taqlid, tapi sejatinya anda mengajak taqlid ke pendapat anda....

Semoga Allah merahmati ulama2 kaum muslimin.

Penulis : Aboud Basyarahil

Wednesday, April 24, 2019

Para Gelandangan Politik Akibat Berkonspirasi Menjatuhkan Gusdur

Muslimedinews.com ~ Saat Ketua MPR menggelar sidang MPR menjatuhkan Gus Dur, aku duduk-duduk di teras belakang istana bersama ustadz Mujib Manan, dosenku yang ditarik Gus Dur jadi kepala rumah tangga Presiden. Beberapa hari sebelumnya Mahasiswa yg dikordinir kekuatan hoax demo menuntut Gus Dur mundur.

Sementara ratusan ribu Banser yang siap mati syahid disuruh pulang oleh Gus Dur dgn satu kalimat "Jabatan dunia gak perlu dibela mati-matian". Subhanallah, Saat Gus Dur memanggil ustadz Mujib, aku sempat bersalaman dengan beliau, mencium tangannya dan air mataku berlinang. Melihat kesedihan hatiku Gus Dur tersenyum seraya berkata : "Preman2 itu akan jadi gelandangan politik seumur hidupnya"

Innalilahi wa innailaihi roji'un..!

Alhamdulillah Allah memberiku umur panjang dan bisa menyaksikan langsung satu persatu para preman politik itu benar benar menjadi gelandangan politik tanpa harga diri dipentas sejarah Indonesia, dalam catatan di kepalaku, satu persatu mereka yang terlibat menjatuhkan Gus Dur berakhir karier politiknya seperti sampah tak laku dirombeng. Entah bakal berakhir dimana karier politik Mbah Amien ini. Kalo sampai polisi menetapkan dia sebagai tersangka dalam kasus hoax Ratna Sarumpaet. Subhanallah..Laa haula wala quwata Illa billah.!

Apa yang pernah dikatakan Gus Dur seakan titah raja Jawa yang "iduh Geni" (kutukan orang suci) tak bisa dijilat lagi. Semoga Allah Swt melindungi bangsa Indonesia dari kejinya Politik Hoax. Aamiin. Lahu Al Fatihah.


PREMAN-PREMAN ITU AKAN JADI GELANDANGAN POLITIK SEUMUR HIDUPNYAOleh : Yai Abdul Ghofar Mistar

Thursday, October 11, 2018

Ada Orasi Khilafah Dalam Aksi Kawal Amin Rais


Orasi yang berisi perlunya Indonesia menerapkan sistem khilafah menggema di tengah massa pengawal pemeriksaan terhadap politikus PAN Amien Rais, di depan Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (10/10).

Orator Ricky Fattama melontarkan pernyataan tentang perlunya menerapkan sistem Khilafah Islamiyah di Indonesia. Ricky merupakan Koordinator Aliansi Pemuda dan Mahasiswa 212 yang juga menjadi koordinator lapangan aksi massa mengawal Amien di Polda Metro Jaya.

"Ganti Presiden, Ganti Sistem! Takbir!" Pekik Ricky menggunakan pengeras suara dari atas mobil komando di depan pagar Mapolda Metro Jaya.

"Allahuakbar!" pekik massa. 

Ricky menyatakan bahwa Indonesia tidak akan berubah menjadi negara yang kuat jika tidak menerapkan sistem Khilafah Islamiyah. Menurutnya, dengan sistem tersebut, Indonesia dapat mengalahkan Amerika Serikat dan Russia.

"Kita akan luluhlantakkan Amerika. Kita akan hancurkan Rusia. Dan itu tidak mungkin dengan rezim seperti ini. Tidak mungkin dengan dengan sistem seperti ini," imbuh Ricky.


"Itu hanya bisa gerakkan oleh pemimpin yang merupakan khalifah di dalam naungan sistem khilafah islamiyah. Takbir!" ucap Ricky.


Hingga saat ini, massa Persaudaraan Alumni 212 yang mengawal Amien Rais masih berkumpul di depan gerbang Mapolda Metro Jaya, Jalan jenderal Sudirman, Jakarta. Mereka masih berada di sekeliling mobil komando sejak pukul 10.00 WIB tadi.

Orator silih berganti dari berbagai elemen yang berbicara dari atas mobil komando. Meski matahari begitu terik, massa tetap berkumpul di depan Mapolda Metro Jaya. Puluhan Petugas pun masih berdiri tegap menjaga gerbang. sumber:cnnindonesia.com

Sunday, September 23, 2018

Tujuh Cara Netizen NU Melawan Radikalisme di Media Sosial

Muslimedianewsc.om ~ INI CARA NETIZEN NU LAWAN RADIKALISME DI MEDSOS

"Bersama NU, Netizen Lawan Radikalisme". Mari kita jadikan tahun 2018 sebagai tahun perlawanan orang-orang baik yang tadinya diam, karena media sosial adalah medan pertempuran, dan diam sudah bukan pilihan. NU mengajak Netizen dengan langkah sebagai berikut:

1. SHARE, SHARE DAN SHARE
Klik tombol share sebisa mungkin pada setiap berita positif, tulisan kritis, meme dan lain-lain. Pegang prinsip "syarat kezaliman untuk menang adalah orang baik diam". Jadi saat Anda ragu menshare, radikalisme telah menang.

2. UNFRIEND/ BLOCK!
Salah satu alasan orang baik ragu menshare status positif adalah karena ingin menghindari cekcok dengan kawan. Orang yang memusuhi Anda atas status positif Anda, artinya ia bukan kawan anda. Jangan ragu unfriend/block bila Anda tidak suka berdebat.

3. TURN BACK HOAX
Kenapa Indonesia darurat hoax? Ya karena penyebar hoax sadar akan filosofi "kebohongan bila dilakukan secara massif, lama-lama akan dianggap kebenaran". Hoax yang dishare puluhan ribu bisa mempengaruhi orang. Lawan ini dengan share klarifikasi hoax sebanyak-banyaknya.

4. RAMAIKAN TAGAR TWITTER
Bagi pemilik akun twitter, NU mengajak para Twits untuk bantu mencuitkan TAGAR (Hashtag) yang nantinya diberikan melalui page ini.. Karena tagar twitter sering terbukti mampu menggerakkan media, jadi headline berita media.

5. COPAS DAN LEMPAR
Saat Anda membaca tulisan bagus dari pegiat medsos seperti dari ulama-ulama NU, netizen NU yang aktif mengarahkan ke kebaikan seperti Gus Nadir, Prof. Sumanto Alqurthubi, Deny S., dan lainnya. Kali ini tak cukup hanya kasih jempol dan klik share saja. Copas juga, lalu lempar di grup WA. Broadcast WA/BBM terbukti bisa mempengaruhi massa.

6. BIKIN GRUP CHAT
Bersama kawan-kawan sepemikiran, bikin grup chat WA/BBM, lalu pantau topik yang sedang viral/ trending di media sosial. Gerakkan kawan-kawan untuk laporkan massal status intoleran di facebook, twitter, IG, dll. Tanya kawan yang mengerti cara melaporkan.

7. JANGAN DIAM!
Media sosial terbukti punya pengaruh mengerikan bila disalah gunakan untuk tujuan-tujuan tidak baik. Diam anda bisa dibayar mahal oleh bangsa. Maka jangan diam.. Lakukan sesuatu! Share, copas tulisan, broadcast di grup WA/BBM, laporkan massal. Ingat, kenapa postingan hoax dan hasutan SARA sering dishare sampai ribuan? Karena kelompok radikal paham akan filosofi "kebohongan bila dilakukan secara massif, lama-lama akan dianggap kebenaran".

Kasus Equil dan Sari Roti adalah bukti suksesnya penerapan filosofi ini. Orang dibuat percaya air mineral Equil adalah "miras". Massa pun mampu digerakkan untuk boikot Sari Roti. Kini waktunya untuk orang baik melawan.

Bersama NU, netizen lawan radikalisme di media sosial. Anda, saya, kita semua warga dunia maya facebook, twitter, IG, dst..

Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau tidak sekarang kapan lagi?
 Bersama NU, Netizen Lawan hoax! Karena hoax adalah Radikalisme. Karena hoax adalah Terorisme.

#YangWarasJanganMengalah

Dishare dari KH Maman Imanulhaq

Thursday, July 12, 2018

Jokowi Terima Mushaf Al-Quran Sulaman Tangan Terpanjng di Dunia


Sebelum membuka Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Internasional II, MTQ Nasional VIII Antar Pondok Pesantren, Kongres V Jam’iyyatul Qurra Wal Huffazh (JQH) Nahdlatul Ulama, dan Penyerahan Mushaf Al Quran, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/7) sore, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima mushaf Al Quran hasil sulaman tangan.

Adalah pengusaha Malaysia keturunan Tionghoa, Tan Sri Li Kim Yew, yang memberikan mushaf Al Quran yang panjang keseluruhannya mencapai 450 meter itu kepada Presiden Jokowi.

“Mushaf ini pertama dan satu-satunya di dunia, hasil sulaman tangan selama tiga tahun, dari benang yang terbaik dan kain yang terbaik. 1 juz kainnya sepanjang 17 meter,” kata Utusan Presiden Untuk Dialog Peradaban, Din Syamsuddin, kepada wartawan yang hadir dalam acara tersebut.

Menurut Din, penyerahan Mushaf ini bagi umat islam memiliki makna simbolik. Selain datang dari bukan orang muslim yang membiayai sulaman Alquran, ini juga menjadi pengakuan bahwa Presiden RI selain sebagai presiden negara yang mayoritas muslim di dunia, juga sebagai seorang pemimpin Islam.

“Mushaf ini pertama dan satu-satunya di dunia. Islam di Indonesia punya warna sendiri, Islam yang moderat sebagai jalan tengah yang berbeda dengan Islam di negara-negara lain,” kata Din Syamsuddin.

Sementara Tan Sri Li Kim Yew menyampaikan, Indonesia adalah negara yang sangat besar dan mayoritas berpenduduk muslim.

“Islam adalah agama terbaik di dunia. Alquran sebagai vitamin dan nutrisi jiwa yang tidak hanya bermanfaat bagi muslim, tapi juga non muslim,” tutup Tan Sri Li Kim Yew.

Penyerahan Mushaf Alquran itu disaksikan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, Utusan Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban Din Syamsuddin, dan Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin. 

Sunday, July 01, 2018

Gus Yahya : Agama Harus Difungsikan Untuk Wujudkan Perdamaian

Muslimedianews.com ~ "Saya meminta supaya agama difungsikan dalam mewujudkan perdamaian", demikian salah satu cuplikan dari perkataan KH. Yahya Cholil Staquf dalam Koran Tempo (30 Juni 2018) berjudul "Saya ke Israel Bukan Untuk Pengajian".

Berikut lengkapnya :





Thursday, October 27, 2016

KH Hasyim Muzadi: NUGL itu Bukan NU, Tak Paham NU dan Kebangsaan, Gampang Mengkafirkan Orang

Surabaya, Muslimedianews ~ Kelompok NU Garis Lurus (NUGL) bukanlah pengurus dan organisator NU sehingga mereka tak paham soal NU. Hal ini ditegaskan oleh KH Hasyim Muzadi.
"Kelompok NU Garis Lurus bukanlah pengurus dan organisator NU. Karena itu mereka tak paham NU dan perkembangan NU dari masa ke masa. Mereka itu tahunya ya fiqih. Semua masalah dilihat dari fiqh,” tegas Mantan Ketua Umum PBNU Kiai Hasyim Muzadi sebagaimana dilansir bangsaonline.com, Rabu (26/11/2016).

Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Jawa Timur dan Depok Jawa Barat tersebut mengatakan itu untuk menjawab polemik di media sosial yang menyudutkan Kiai Hasyim Muzadi seolah-olah membela NU GL.
Polemik itu bermula dari acara PW IKA PMII Jawa Timur bertema Ikhtiar Menata Jawa Timur Lebih Sejahtera di Rumah Makan Aqis Surabaya, Senin (24/11/2016).
Saat sesi tanya jawab ada seorang bertanya soal NU GL yang dianggap berbau Wahabi. “Karena nanyanya seperti itu, apakah NU GL itu Wahabi. Saya jawab bukan. Tapi kalau dia nanya NU GL itu siapa dan seperti apa ya sekarang ini jawabannya. NU GL itu bukan aktivis organisasi NU, karena itu tak paham NU,” kata Kiai Hasyim Muzadi.
Jadi, lanjut Kiai Hasyim, NU GL itu kadang cocok dengan NU tapi kadang tidak karena memang bukan aktivis NU yang paham tentang perkembanangan NU dari masa ke masa.
Kiai Hasyim Muzadi juga menegaskan bahwa NU GL sangat terbatas dalam masalah paham kebangsaan dan kadang gampang mengkafirkan orang. 
”Karena itu mereka kadang gampang mengkafirkan orang,” jelas anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu. 
Bahkan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang merupakan cucu pendiri NU Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari juga dicap sesat. Padahal Gus Dur adalah Ketua Umum Tanfidziyah PBNU selama tiga periode.
”Jadi kelompok NU GL itu tak bisa melihat persoalan dari ukuran wathaniyah karena bisanya hanya fiqh. Orang seperti Luthfi Bashori dan Idrus Ramli itu kan seperti itu,” tegasnya.
Meski demikian, kata Kiai Hasyim Muzadi, NU GL bukan Wahabi. ”Mereka kan santri-santri Kiai Sayyid Maliki (Mekkah). Mereka itu anti Syiah dan anti Wahabi,” tegasnya sembari mengatakan mereka kadang keras kepada PBNU karena unsur Syi’ah di PBNU.
Hanya saja, tegas Kiai Hasyim Muzadi, tidak semua santri Sayyid Maliki berpaham NU GL, meski sama-sama santri Sayid Maliki. ”Kiai Azaim Situbondo ya tidak seperti itu,” tuturnya.
Kiai Ahmad Azaim Ibrahimy adalah cucu KHR As’ad Syamsul Arifin yang kini pengasuh Pondok Pesatren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo. Berbeda dengan Luthfi Bashori, Kiai Azaim ini dikenal sangat tawaddlu dan sam’an wata’athan kepada keluarga Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari.
Ini mudah dipahami, karena Kiai Azaim Ibrahimy selain dikenal sebagai ulama tawaddlu juga Kiai As’ad Syamsul Arifin adalah santri Mbah Hasyim – panggilan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari - di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. (MA/ Bangsaonline)

Saturday, October 22, 2016

Benarkah Shalawat Nariyah Mengandung Kesyirikan?


Jakarta, Muslimedianews ~ Popularitas shalawat Nariyah di kalangan umat Islam di Nusantara memang tak terbantahkan. Namun, apakah ia lantas bersih dari para penolaknya? Ternyata tidak. Sebuah fenomena yang sesungguhnya sangat lumrah dalam kehidupan beragama.

Lewat beragam sudut, beberapa orang melancarkan vonis bahwa pengamalan shalawat Nariyah termasuk melenceng dari ajaran Rasulullah alias bid’ah. Sebagian yang lain mengahakimi secara lebih ekstrem: syirik atau menyekutukan Allah.

Vonis bid’ah umumnya berangkat dari alasan tak ditemukannya hadits atau ayat spesifik tentang shalawat Nariyah. Sementara tuduhan syirik berasal dari analisa terjemahan atas redaksi shalawat yang dinilai mengandung unsur kemusyrikan. Yang terakhir ini menarik, karena tuduhan “sekejam” itu ternyata justru muncul hanya dari analisa kebahasaan. Benarkah demikian?

Kita simak dulu redaksi shalawat Nariyah secara lengkap sebagai berikut:

اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Perhatian para penuduh shalat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ

Artinya: "Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad."

وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

Artinya: "Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad."

وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad."

وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Artinya: "Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad."

Menurut para penuduh itu, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan karena secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yang hanya dimiliki Allah, seperti bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah.

Bantahan dari Ilmu Sharaf Dasar

Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tâziyah atau shalawat Tafrîjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.

Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalawat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yang tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah.

Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yang berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata محمّد. 

Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ 

Pertama, تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ .

Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.

Contoh: 

كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ 

“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.

Contoh lain:

حَلّ اللهُ  العُقَدَ فَانْحَلَّ

“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasan lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.

Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya. 

Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.

Hal ini mengingatkan kita pada kalimat doa: 

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي  يَفْقَهُوا قَوْلِي

“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”

Kedua, تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

Senada dengan penjelasan di atas, تَنْفَرِجُ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْفَرَجَ, yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). 

Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka dapat diandaikan bahwa فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ. Dengan demikian, Allah-lah yang membuka atau menyingkap bencana/kesusahan, bukan Nabi Muhammad.

Ketiga, تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhûl). Fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “anjing dipukul” maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan.

Dengan demikian kita bisa mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut.

تَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ

“Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.”

Keempat, تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Penjelasan ini juga nyaris sama dengan kasus تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ. Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan karena Allah-lah yang melakukan hal itu yang dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.

Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya dimiliki Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah, dengan susunan redaksi shalawat yang tidak sembrono. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan kata bihi yang berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul.

Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dengan modal teks terjemahan. Wallahu a’lam. (Mahbib Khoiron/ NU Online)

Wednesday, August 03, 2016

(Buku) Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH Hasyim Asy’ari

Jakarta, Muslimedianews ~ Buku yang mengkaji pemikiran agama dan aktivitas politik KH. Hasyim Asy’ari ini adalah satu dari sekian buku biografi ihwal Hadratus Syaikh “Founding Father” khittah NU 1926 itu. Meskipun kita sangat jarang menemukan buku biografi kiai-kiai Nusantara yang menggunakan bahasa seindah gubahan-gubahan Ramadhan KH untuk para tokoh pergerakan nasionalis, namun kita bersyukur bahwa dokumentasi mengenai sosok penggerak Islam Nusantara dari era kolonial tak kurang dan masih dapat dilacak jejaknya.

Buku ini merupakan tesis yang mengantar kelulusan Drs. Lathiful Khuluq, MA dari Mc Gill University, Montreal serta mendapat kata pengantar langsung dari pembimbingnya di Jurusan Islamic Studies, Dr. Howard M Federspiel. Pertama kali, Penerbit LKiS Yogyakarta mengedarkannya tahun 2000 dan hingga tahun 2013 mencapai Cetakan VI.

KH Hasyim Asy’ari lahir pada tahun 1871, tahun-tahun setelah era perjuangan bersenjata kaum Muslim santri masa Perang Paderi, Perang Diponegoro serta Perang Aceh melawan penjajah kolonial berlalu. KH Hasyim Asy’ari hadir menyongsong zaman bergerak, zaman setelah politik etis menunjukkan dinamisasinya pada Hindia Belanda, zaman yang sama dengan lahirnya tokoh-tokoh modernis seperti KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), HOS Cokroaminoto (Pendiri Syarekat Islam), dan juga A. Hassan (Pendiri Persis).

Sketsa dalam buku ini, walaupun secara implisit namun cukup terstruktur untuk mendedah korelasi antara sikap-sikap politik KH Hasyim Asy’ari dengan latar belakang pribadi beliau. Ia merupakan keturunan Ulama di Jombang, belajar pada banyak pesantren di Jawa, kemudian meneruskan untuk belajar pada ulama Sunni di Hijaz. Keterangan itu akan memaparkan jawaban mengapa lahir Qanun Al-Asasi An Nahdah Al Ulama yang menetapkan bahwa yang dimaksud Nahdiyyin adalah mereka yang bermahzab pada Imam yang empat (Hanafi, Hambali, Syafii, Maliki), berfaham Asy’ariyyah, menggunakan teologi sufi Junaid Al Baghdadi, Al Ghazali dan Al Maturidi serta mengambil keputusan fiqh berdasarkan interpretasi ulama Mazhab Syafi’I yakni Syaikh Hasan Al Hadrami.

Berangkat dari bangunan identitas itu, pada akhirnya saya paham bahwa istilah “tradisionalis” bukan sekadar lawan dari kata “modernis” secara literal. Kata tradisionalis merupakan sebuah sikap berpikir yang melahirkan strategi perlawanan kebudayaan yang khas. Kita akan mendapati KH Hasyim Asy’ari yang menyerap karya Abduh dan tafsir Jamaludin Al afghani tetapi tetap keukeuh pada keteguhannya untuk berbaiat pada mahzab. KH Hasyim Asy’ari memilih untuk mundur ke pelosok-pelosok mendirikan pesantren, mengajar. Ini adalah sebuah strategi mutakhir untuk melawan sistem pendidikan yang mengajarkan berpikir ala Barat. Mbah Hasyim mendidik secara khusus anak-anak para ulama yang akan kembali ke daerahnya untuk meneruskan pesantren ayahanda-ayahanda mereka serta mengawinkan mereka dengan lingkaran-lingkaran pesantren yang telah lama memiliki hubungan erat. Meskipun memilih jalan sunyi itu, namun, beliau tetap mengijinkan KH Wahab Hasbullah bergabung dengan Syarikat Islam, juga mengirim putranya KH Wachid Hasyim menjadi panitia PPKI serta mengisi ruang Kementrian Keagamaan.

Ini sebuah buku “praktis” yang menarik untuk mengenal KH Hasyim Asy’ari, kiprahnya sepanjang masa kolonial, pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan serta pasca kemerdekaan. Lebih dari itu, informasi di dalamnya membantu kita untuk memahami mengapa khususnya “Nahdhatul Ulama” berumur panjang, dinamis serta progresif. Sebab, secara khusus, embrionya lahir dari rahim yang kuat namun juga meninggalkan berbagai mimbar terbuka yang nampaknya sengaja tak diselesaikan. Bukankah tugas kemanusiaan adalah untuk terus mencari kemungkinan?

Oleh: Kalis Mardiasih. Beralamat di kalis.mardiasih@gmail.com.

Wednesday, May 04, 2016

GP Ansor: Sebagian Besar Pengurus NU Struktural di Babel Tidak Terdidik ke-NU-annya

Babel, Muslimedianews ~ Di saat NU melalui GP Ansor sedang gencar-gencarnya menolak gerakan makar Hizbut Tahrir dengan instruksi copot baliho provokatif anti Pancasila dan NKRI, KH Usman Fathan, Rais PWNU Bangka Belitung justru sangat mesra dengan kelompok yang di Arab Saudi saja tidak diterima itu.

KH Usman, dalam video yang tersebar di media sosial, dengan terbata-bata mengajak kepada masyarakat untuk menghadiri acara muktamar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang diselenggarakan di 63 kota di seluruh Indonesia.

“Mari hadiri, muktamar tokoh umat 1437 Hijriyah pada hari Sabtu 30 April 2016 di Hotel Mutiara Pangkal Pinang yang diselenggarakan DPD 1 Hizbut Tahrir Indonesia, Bangka Belitung. Acara ini diselenggarakan di 63 kota di seluruh Indonesia,” katanya dalam video berdurasi 1.53 menit itu.

Bahkan, Kiai Usman ikut beropini dengan menyatakan bahwa sesungguhnya penerapan syariah secara kaffah dalam institusi khilafah lah kerahmatan Islam akan terwujud bagi seluruh alam. “Syariah dan Khilafah mewujudkan Islam Rahmatan lil alamin,” ujarnya.

GP Ansor Tidak Kaget

Atas beredarnya video tersebut, GP Ansor Bangka Belitung menanggapinya tanpa berbusa-busa. Hafiz Rusli S.Pd.I, Wakil Ketua Gerakan Pemuda (GP) Ansor Provinsi Bangka-Belitung (Babel), mengaku tidak kaget dengan statemen di video. Hafidz menjamin fakta bahwa sebagian besar pengurus NU struktural di Babel tidak terdidik ke-NU-an nya. “Permasalahannya tidak terdidik saja, bukan dimanfaatkan,” ujarnya kepada Duta Islam, lewat BBM, kemarin (2/05/2016) malam.

Lebih lanjut Hafidz menjelaskan, rekrutmen NU di Babel itu beberapa diantaranya asal comot. Jadi, jaringan Jamaah Tabligh (JT) dan lainnya bisa mudah masuk dalam struktur kepengurusan NU. Termasuk jaringan HTI dan mantan Pengurus Muhammadiyah.

Salah satu bukti asal comot yang diutarakan Hafidz adalah tidak dimasukkannya salah satu kiai Belitung yang jelas sanad keilmuannya. Salah satu yang ia sebut adalah KH Ali, pengasuh pesantren Daarul Arafah, Belitung. Kiai Ali inilah yang punya guru bernama Kiai Hambali Rembang, guru Gus Dur juga yang terkenal wali nyentrik.

Ada 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya di Babel. Di pulau Belitung, Ansor selalu minta arahan ke Kiai Ali ini, namun namanya ternyata tidak masuk jajaran pengurus NU cabang maupun NU wilayah. Padahal, jamaahnya ribuan.

Satu-satunya kiai yang menurut Hafidz punya pengaruh di Babel saat ini adalah Kiai Ali. Beberapa waktu lalu, KH Said Aqil Siraj diundang untuk acara Maulid Nabi dan Manaqib Qubro Syeikh Abdul Qadir Jailani di Daarul Arafah.  

Sebagai pengurus Ansor, Hafidz menyayangkan sekali atas beredarnya pernyataan Kiai Usman. Namun apa boleh buat, cengkeraman JT dan HTI di Babel sudah lama ia dengar sejak masih kuliah di UII Jogjakarta. “Tindakannya sebagai Rais NU meresahkan warga NU dan warga Babel,” tandasnya.

Tentang Kiai Usman

KH Usman Fathan adalah putra Belitung kelahiran Jebus, Ujung Utara Bangka. Lahir pada 1927 M dari pasangan Sasur Fathan dan Sugi’ah. Kini tinggal di Pangkalpinang, tepatnya di Gang Kenangan Kampung Pelipur.

Setelah ditelusuri, selama jadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Belitung, Kiai Usman Fathan memang sudah lama blusukan bersama HTI Babel dalam beberapa agenda acara. Pada 2014 lalu, Kiai Usman bersama Ustadz Abdul Lathif Somad (Wakil Syuriah NU Babel) hadir dalam acara bertajuk “Indonesia Milik Allah” yang digelar DPD 1 HTI Babel di alun-alun Taman Merdeka Pangkalpinang (30 Desember 2014). 

Sebelumnya, pada 27 Mei 2014, ia juga hadir dalam acara Konferensi Islam dan Peradaban (KIP) oleh DPD 1 Babel yang berlangsung di Ball Room Hotel Santika. Temanya, lagi-lagi “Indonesia Milik Allah.” Dalam laporan berita yang dirilis oleh situs HTI itu, Kiai Usman disebut meminta waktu untuk bicara di forum, bukan diminta, tapi meminta. Sekali lagi, meminta. 

“Ketua MUI Babel, KH Usman Fathan, yang juga Rois ‘Am Syuriah PWNU Babel meminta waktu untuk menyampaikan nasihat kepada hadirin sebagai bentuk dukungan atas perjuangan penegakkan syariah dan Khilafah.”

Jika dukungan Kiai Usman itu ada di Jember, barangkali akan ada protes besar-besaran dari GP Ansor setempat. Menurut Hafidz, di Bangka dan Belitung, gerakan makar masih aman berpolah karena kader NU di sana masih mudah dibajak kelompok makar semacam HTI. Apalagi sekarang HTI sedang beralih tema propaganda, dari “Indonesia milik Allah” ke tema yang lebih seksi: Islam Rahmatan lil Alamin.

“Malu-maluin NU. Saya ingin PBNU turun tangan dan ikut mengontrol NU di Bangka Belitung.,” tandas Hafidz yang punya sanad al-Qur’an ke Kyai Arwani Amin Kudus tersebut.  [dutaislam.com/ abdullah badri]

Tuesday, May 03, 2016

Menteri Agama Pimpin Ribuan Rohis Ucapkan Ikrar Kebangsaan dan Islam Damai


Jakarta, Muslimedianews ~ Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memimpin lebih dari dua ribu pengurus Rohani Islam (Rohis) seluruh Indonesia untuk mengucapkan ikrar kebangsaan guna menyebarkan ajaran Islam yang damai, toleran dan cinta tanah air. Para Rohis itu hadir dari SMA/SMK seluruh Indonesia untuk mengikuti Perkemahan Rohis Nasional II di Bumi Perkemahan Cibubur Jakarta Timur, 2-3 Mei 2016. 

Ajakan ikrar itu disampaikan di tengah-tengah pidato sambutan menteri agama pada acara pembukaan Perkemahan Rohis Nasional II, Selasa (3/5). Ia menyampaikan tiga pertanyaan kepada lebih dari dua ribu pengurus Rohis yang merupakan organisasi keagamaan Islam yang berada di bawah Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) itu.

“Bersediakah anak-anakku para Rohis menjadikan Rohis sebagai wadah untuk menumbuhkembangkan Islam yang damai dan toleran?  Bersediakah anak-anakku para Rohis menjadi pelopor dalam mengampanyekan Islam yang rahmatan lil ‘alamin? Bersediakah anak-anakku para Rohis menjadi pelopor bagi generasi muda untuk mencintai negeri kita ini?” Spontan para rohis menjawab, “Bersedia!”

“Anak-anakku para Rohis dari seluruh Indonesia, pertanyaan tersebut sengaja saya sampaikan karena saya ingin memastikan bahwa anak-anak Rohis adalah anak-anak yang cerdas, cinta damai, cinta tanah air, dan pelopor Islam yang memberikan rahmat kepada semua,” kata Menag yang hadir disambut perwakilan siswa dari 33 provinsi yang mengenakan pakaian adat daerah masing-masing.

Ia menyampaikan, pihaknya seringkali mendengar informasi miring yang menyebutkan bahwa Rohis adalah tempat yang mudah untuk disusupi oleh gerakan-gerakan Islam yang tidak toleran, dan anti NKRI. Kecintaan anak-anak Rohis pada agama, dan kepribadian yang masih labil adalah alasan mereka menarget para Rohis ini sebagai wadah gagasan intoleran mereka

Karena itu ia meminta para Rohis untuk benar-benar serius dalam mempelajari agama, jangan cepat puas dengan ilmu yang diperoleh, dan jangan mudah larut dengan pengajaran agama yang sempit, kaku, dan mudah menghakimi orang lain yang berbeda sebagai sesat atau kafir.

“Ingatlah, bahwa ilmu Allah itu luas. Bahkan jika air laut dijadikan tinta untuk menulis ilmu Allah tidak akan pernah cukup menuliskan ilmu Allah yang tanpa batas itu,” tegasnya.

Ditambahkan, para pendiri bangsa ini seperti Soekarno, Mohammad Hatta, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan dan yang lainnya telah memberikan contoh kepada kita semua, bahwa mereka adalah pribadi yang sangat menghargai keragaman.

“Negeri kita ini bisa berdiri dengan kokoh dan rukun karena mereka tidak mudah menyalahkan yang lainnya. Sikap menghargai keragaman itulah yang harus diteladani di tengah masyarakat kita yang majemuk,” tambahnya.

Sementara itu kegiatan Perkemahan Rohis Nasional II dihadiri para pejabat di lingkungan Direkturat Jenderal Pendidikan Islam, kepala kantor wilayah kementerian agama provinsi dan kabupaten/kota dari seluruh indonesia, para kepala dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota dari seluruh Indonesia dan para pembina dan pendamping rohis dari seluruh Indonesia. (Red: Anam/ Redaksi NU Online)

Saturday, April 30, 2016

Inilah Fatwa PKS Tentang Pengangkatan Pemimpin Non-Muslim


Solo, Muslimedianews ~ Beberapa hari ini umat Islam dihebohkan dengan polemik tentang boleh tidaknya memilih pemimpin non-muslim. Pro dan kontra pun tak terelakan, apalagi polemik tersebut dibumbui dengan Pemilihan Kepalada Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang membuatnya semakin menjadi buah bibir. Masing-masing kubu baik yang setuju maupun yang menolak kepemimpinan non-muslim saling beradu hujjah, termasuk umat Islam. Alhasil, sesama umat Islam saling menghina, mencaci maki, merendahkan satu dengan yang lainnya. Bahkan sampai berbangga diri mempertontonkan dan menyebarkan keburukan saudara sesama muslim dan melakukan fitnah yang keji.

KH Said Aqil Siradj adalah satu diantara korban yang difitnah oleh kelompok-kelompok yang tidak menyukai perdamaian dan persatuan di Indonesia. Berbagai dalil agama dibawa untuk mendukung berbagai fitnah keji terhadap Kiai Said Aqil. Sebut saja kelompok Gerombolan Gagal Lurus (GGL), kader atau simpatisan PKS Jonru, website-website radikal, dan lain sebagainya.

Terkait pemimpin non-muslim, salah satu ormas Islam ahlussunnah wal jamaah terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah lama membahasnya dalam Muktamar ke-30 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur pada 1999. Dalam keputusan hasil bahtsul masail itu dinyatakan kebolehan memilih pemimpin non-muslim tetapi dengan syarat. Selengkapnya silahkan lihat: KEPUTUSAN BAHTSUL MASA'IL AL-DINIYAH AL-WAQI'IYYAH MUKTAMAR XXX NU DI PP. LIRBOYO KEDIRI JAWA TIMUR TANGGAL 21 s/d 27 NOPEMBER 1999.

Bagi warga NU, polemik boleh tidaknya memilih pemimpin non-muslim bukanlah hal yang baru sehingga tak perlu ikut-ikutan "Islam Kagetan" dan membuat "Kaget Islam". Warga NU itu harus cerdas agar tidak mudah terprovokasi apalagi termakan fitnah murahan kelompok seperti GGL yang bukan dari NU. Keputusan para ulama di Lirboyo sudah jelas, NU harus bersatu.

Selain NU,  coba tengok ke belakang kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sangat getol menolak pemimpin non-muslim sekarang ini. Saat ini partai yang merasa paling "Islami" itu begitu keras menentang pemimpin non-muslim dalam sistem pemerintahan atau negara. Namun, benarkah demikian?

Mari kita #MelawanLupa, kembali ke era tahun 2010-an saat Pilkada Surakarta dimana saat itu Dewan Syariah PKS dengan tegas mengeluarkan fatwa surat edaran bolehnya mengangkat non-muslim sebagai pemimpin sepanjang bukan untuk menjadi pemimpin dalam urusan agama dan keagamaan. Pada waktu itu, PKS dengan berbagai dalil agama, Quran dan Hadits, secara terang-terangan mendukung kepemimpinan FX Rudi Hadi (sekarang Walikota Solo) yang merupakan kader non-muslim dari PDI Perjuangan. Hal ini tertulis dalam fatwa surat edaran yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah PKS Surakarta.

"Pengangkatan non muslim dalam kepemimpinan strategis sebagaimana disebutkan dalam tingkatan kedua adalah boleh, dengan melihat secara jelas maslahat yang akan didapat oleh kaum muslimin, serta terpenuhi syarat-syarat secara khusus. Begitu pula, kebolehan tersebut semakin terbuka jika yang diangkat bukan non muslim seorang, tetapi bersamanya atau didampingin dengan seorang muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Fahrudin Ar-Rozi dalam tafsirnya", demikian bunyi salah satu kesimpulan fatwa PKS tahun 2010..

Namun, menjelang Pilkada DKI 2017 ini, kader maupun simpatisan PKS banyak menggelorakan bahwa mengangkat non-muslim sebagai pemimpin itu Haram, baik pemimpin dalam keagamaan maupun pemerintahan negara. Dan lagi-lagi, mereka menggunakan dalil-dalil agama dan banyak menyitir ayat-ayat Al Quran dan Hadits. Ini sungguh aneh tapi fakta. Sepertinya bagi PKS, kepentingan bisa disesuaikan dengan menukil-nukil ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits. Lagi-lagi ini kembali kepada kepetingan politik dan kekuasaan.

Selain menggunakan dalil hujjah agama, PKS juga mencontohkan beberapa pemimpin non-muslim di masa sekarang ini. PKS menyatakan:
Ketika kita masih berbicara pengangkatan non muslim untuk jabatan Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar sana hal ini sudah merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam bahkan juga harakah Islam. Bukan hanya dalam konteks pemimpin lokal tetapi dalam konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya layak mendapatkan perhatian : 

1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa memberlakukan syariat Islam dalam seluruh perundang-undangannya. Jelas-jelas memiliki wakil presiden non Muslim berasal dari minoritas kristen di daerah Selatan. 

2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM yang berasal dari minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya -sebagaimana dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses, berhasil bekerja saja dengan mentri-mentri dari kaum muslimin, bahkan sebagian besar kaum muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal sebagai PM kristen yang paling yakin dengan syariat Islam sebagai solusi. 

Jika kita pandang dari sudut syariah, ini membuktikan adanya ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana tidak setiap dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan dengan pelanggaran syar’i dan doktrin ideologi.

Dan berikut adalah fatwa surat edaran lengkap dari PKS tentang diperbolehkannya mengangkat non -uslim sebagai pemimpin karena pemimpin sebuah daerah atau pun negara bukanlah pemimpin Agama:

Img: http://www.fakta.web.id/

DEWAN SYARIAH DAERAH PKS SURAKARTA, JANUARI 2010

الحمد لله و كفى و الصلاة و السلام على النبي المصطفى و على آله و أصحابه و من اهتدى،

اللهم لا سهل إلا ما حعلته سهلا و أنت تجعل الحزن سهلا إذا شئت

PENDAHULUAN :

Segala puji hanyalah bagi Allah SWT, Tuhan seru sekalian Alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW, para keluarga, sahabat dan penerus risalahnya hingga hari akhir nanti.

Kepemimpinan dalam Islam mempunyai urgensi dan fungsi yang begitu mulia. Bahkan dalam jumlah yang sedikit pun, sekelompok orang haruslah memilih seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpinnya. Rasulullah SAW bersabda:

إذا كنتم ثلاثة فأمروا أحدكم

“Jika engkau bertiga, maka hendaklah seorang menjadi pemimpinnya” (HR Thobroni dari Ibnu Mas’ud dengan sanad hasan)

Bukan hanya menegaskan tentang urgensinya, Syariah Islam pun mempunyai sejumlah aturan dan syarat-syarat tertentu dalam menentukan seorang pemimpin. Dalam bahasan fiqh, hal tersebut biasa dimasukkan dalam bab “al-imamah” dan ” al-wilayah”. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa ulama secara khusus menuliskan tentang kepemimpinan dan pemerintahan dalam Islam. Seperti Ibnu Taimiyah dalam Siyasah Syariyah dan Al-Mawardi dalam Ahkam Sulthoniyah. Banyak permasalahan ijtihad fikih dalam masalah politik dan pemerintahan yang dibahas dalam buku tersebut. Tentu saja ini menunjukkan keluasan dan keluwesan syanat Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam Kitabnya I’laamul Muwaqqin, dimana beliau menulis begitu gamblang dalam sebuah bab khusus berjudul :

تغير الفتوى و اختلافها بحسب تغير الأزمنة و الأمكنة و الأحوال و النيات و العوائد

“Perubahan Fatwa dan Perbedaannya sesuai dengan Perubahan Zaman, Tempat, Kondisi, Niat dan Adat kebiasaaan”.

Di dalam bahasan tersebut, Ibnul Qoyyim banyak memberikan contoh hal-hal yang begitu luwes berubah dalam fatwa, sebagaimana beliau juga menekankan tentang prinsip-prinsip pokok dalam masalah ijtihad dan fatwa. Hal ini tentu sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah SAW dalam haditsnya :

بعثت بالحنيفية السمحة

“Aku diutus dengan (agama) yang lurus dan moderat” (HR Ahmad dari Abu Umamah)

Pada perkembangan kontemporer, kepemimpinan dalam masyarakat kita menjadi begitu beragam baik dari segi tingkataan maupun bidangnya. Bentuk kepemimpinan yang paling tinggi yaitu Imamatul Udzhma telah hilang paska runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1942. Selanjutnya umat Islam terkotak-kotak dalam bentuk negara yang berdiri sendiri. Dalam sebuah negarapun terdapat kepemimpinan-kepemimpinan cabang dengan karakteristik dan tugasnya masing-masing. Di Indonesia misalnya, kita mengenal adanya Presiden, Mentri, Gubernur dan Bupati. Semua jenis kepemimpinan tersebut tentu mempunyai karakteristik tersendiri, dan dengan sendirinya membutuhkan pengkajian lebih khusus tentang posisi kepemimpinan tersebut dalam aturan syariat kita, khususnya berkaitan dengan siapa saja yang berhak dan boleh menjabatnya.

Diantara yang paling banyak disorot dalam masyarakat kita, khususnya terkait dengan pemilihan pemimpin baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada, adalah keberadaan calon-calon non muslim di dalamnya. Tentu saja ini adalah sebuah bentuk realitas dalam masyarakat kita, dimana tidak semua tempat dan kondisi umat Islam di sebuah daerah bisa menghadirkan pemimpin ideal dari golongan muslim yang komitmen. Inilah kemudian yang menjadi ganjalan sekaligus pertanyaan dari umat, tentang sejauh mana syarat dan kriteria dalam menentukan pemimpin, khususnya dalam konteks kedaerahan? Bagaimana sebenarnya status dan hukum pengangkatan non muslim dalam sebuah pemerintahan? Sementara kenyataan di lapangan begitu banyak dan berserak calon-calon non muslim yang siap maju menjadi pemimpin?

Atas dasar itulah, Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai Dakwah sekaligus bagian dari umat Islam merasa perlu untuk ikut mengkaji lebih jauh tentang bahasan pemilihan pemimpin dalam Islam dan secara khusus seputar pengangkatan non muslim dalam pemerintahan. Kajian tersebut kami tuangkan dalam Tulisan Rukyah Syamilah ini, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kepanjangan tangan dan apa yang telah dibahas oleh para ulama dan mufassirin dalam kitab-kitab mereka terdahulu.!!!!!!!!

Tulisan ini kami bagi menjadi lima bagian utama, masing-masing adalah :

1- Masalah Pengangkatan Non Muslim (Tauliyati Ahli Dzimmah)
2- Masalah Kerja sama & Minta Bantuan kepada Non Muslim (Isti’anah bil Kufri)
3- Realitas Dunia Islam & Ijtihad Kontemporer
4- Masalah Ihsan dalam Musyarokah Siyasiyah
5- Menimbang antara Maslahat dan Madhorot

Hal-hal yang kami tuangkan dalam tulisan ini, adalah sebuah upaya sekaligus harapan untuk memberikan penjelasan sekaligus solusi bagi umat agar bisa keluar dari keraguan dan kegelisahan, seputar memilih dan mendukung pemimpin mereka. Semoga Allah SWT memberi taufiq, hidayah dan keberkahan atas niatan dan amal kami.

PERTAMA : TENTANG PENGANGKATAN NON MUSLIM

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 51:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Wahai orang-orang beriman, janganlah engkau menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali-wali, sesungguhnya sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain…. ” (QS Al Maidah 51)

Ayat di atas secara dhohir berbicara tentang keumuman pelarangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim. Selanjutnya dalam bahasan fiqh -sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ibrahim Abdus Shodiq dalam Fiqh Sholahiyah lil Wilayah- hal tersebut masuk dalam bab tauliyatul ahlu dzimmah ( pengangkatan ahlu dzimmah / non muslim), dimana terkait dengan kepemimpinan dan hak non muslim di dalamnya, dibagi menjadi tiga tingkatan, masing-masing adalah :

1. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Umum (Wilayatul ‘Aamah) & Posisi yang mempunyai Nilai Keagamaan Strategis
2. Pengangkatan dalam Posisi Kepemimpinan Strategis Lainnya (Wazho’if Qiyadiyah)
3. Pengangkatan dalam Kepemimpinan Teknis dan Skill Umum tertentu (Wilayat Madaniyah)

Di dalam setiap tingkatan di atas, ada bahasan tersendiri seputar status pengangkatan non muslim di dalamnya.

Pertama : Pengangkatan dalam Wilayatul ‘Aman & Posisi yang mempunyai nilai keagamaan Strategis

Yang dimaksud dengan wilayatul ‘aamah adalah kepeminan umum yang bersifat mutlak, yang dalam syariat islam sering disebut dengan khilafah atau imamatul udzma. Pada masa ini, banyak ulama yang mengqiyaskannya dengan ria’satu daulah atau kepala negara / pemerintahan. Sementara itu, yang setara dengan hal tersebut ada juga yang disebut dengan wilayat dzu shibgoh diiniyah yaitu kepemimpinan atau jabatan yang mempunyai nilai keagamaan strategis, misalnya : panglima perang karena berkaitan dengan jihad, urusan haji, zakat, pernikahan dan yang semacamnya.

Dalam tingkatan kepemimpinan di atas, para ulama bersepakat tentang pengharaman non muslim menjadi pemimpin dalam posisi-posisi strategis sebagaimana disebutkan di atas. Beberapa ulama menyebutkan ijmak ini dalam kitab-kitabnya, diantaranya adalah :

Ibnu Mundzir yang menyatakan :

قال ابن المنذر: “أجمع كل من يحفظ عنه من أهل العلم أن الكافر لا ولاية له على مسلم بحال”

Telah bersepakat setiap yang dianggap sebagai ahlu ilmi bahwa seorang kafir tidak mempunyai hak wilayah (penguasaan) atas seorang muslim.[i]

Qadhi fudhail bin Iyad juga menyatakan ijmak yang sama :

و قال القاضي عياش: “أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر، و على أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل

Para ulama bersepakat bahwa imamah tidak sah pada non muslim, dan jika dalam kondisi tertentu seorang kafir bisa mendapatkannya, harus dilengserkan”

Dr. Ibrahim Abdu Shodiq – Pakar Siyasah Syar’iyah dari Universitas Um Durman Sudan, juga menyebutkan :

علماء الشرعية مجمعون على عدم جواز ولاية غير المسلمين الوظائف ذات الصبغة الدينية مثل (رئاسة الدولة، القضاء بين المسلمين، وزارة التفويض، الجهاد، إمارة الحج، الحسبة…الخ

Ulama Syariah bersepakat atas tidak bolehnya mengangkat non muslim pada jabatan-jabatan yang mempunyai nilai strategis keagamaan ( misal: kepala negara, hakim, panglima perang, haji, zakat)

Dengan demikian, wilayah atau tingkatan pertama dalam kepemimpinan ini secara ijmak tidak dibenarkan untuk dijabat oleh orang non muslim. Mengingat posisi dan kekuasaannya yang begitu strategis dan bersentuhan langsung dengan maslahat kaum muslimin. Hal ini sesuai dengan isyarat Al-Quran yang mengingatkan kita dengan begitu jelas :

وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً

Artinya : dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk merugikan orang-orang yang beriman (An-Nisa’: 141)

TAHQIQ wa TAHLIL MAS’ALAH (Analisa Permasalahan )

Perlu diperhatikan bahwa pengharaman di atas berkutat pada kepemimpinan atau penguasaan yang mutlak, bahkan dalam bahasa Qadhi Iyadh adalah imamah (kekhalifahan). Jika kita hubungkan dengan realita kontemporer saat ini, maka pengharaman di atas terjadi pada wilayah-wilayah tertentu seperti Presiden, Panglima Perang, Hakim, serta Kementrian yang mengurusi masalah strategis keagamaan.

Ini artinya, banyak wilayah kepemimpinan selain yang disebutkan di atas tidak bisa diberlakukan hukum ijmak di atas. Hal ini meliputi posisi menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan yang semacamnya. Karena secara struktur, tugas dan wewenang berbeda dengan jabatan-jabatan yang diharamkan dalam wilayah ijmak di atas. Seorang kepala daerah misalnya, ia tidak memiliki wewenang strategis dalam masalah militer, kehakiman. Begitu pula ia terikat dengan struktur birokrasi di atasnya yang kuat mengatur dan mengikat, belum lagi dengan sistem dan aturan perundangan yang ada. Sehingga, secara umum terbuka peluang untuk non muslim menjabat posisi selain yang disebutkan di atas. Hal ini akan dibahas lebih jauh dalam bahasan berikutnya.

KEDUA : PENGANGKATAN DALAM POSISI KEPEMIMPINAN STRATEGIS LAINNYA (WAZHOIF QIYADIYAH)

Yang dimaksud dengan wadhzoif qiyadiah disini adalah kepemimpinan strategis lainnya, di luar kepemimpinan yang disebutkan dalam tingkatan pertama. Seperti jabatan : menteri secara umum, gubernur, kepala daerah dan kepala instansi tertentu misalnya.

Pada bahasan ini, terdapat perbedaan yang cukup tajam di antara Ulama. Disebutkan dalam Fiqh Sholahiyah Lil Imamah ungkapan :

و هكذا يشتد الخلاف في ولاية أهل الذمة لمنصب وزارة التنفيذ، وأضرابها من الوظائف القيادية في الدولة الإسلامية، أما الولايات العلا و ذات الصفة الدينية فلا خلاف بينهم في عدم جواز ولايتها لغير المسلمين

“Terjadi perbedaan yang tajam dalam kepemimpinan ahlu dzimmah untuk posisi wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana), dan juga jabatan kepemimpinan yang setara lainnya ( wadzhoif wiyadiyah) dalam sebuah daulah islamiyah. Sementara untuk kepemimpinan yang tertinggi (imamatul udzma) dan kepemimpinan yang mempunyai nilai strategis keagamaan, maka tidak ada khilaf di antara mereka tentang ketidakbolehannya di jabat oleh non muslim”

Diantara ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim dalam tingkatan ini adalah Imam Al-Mawardi, sementara yang mengharamkan diantaranya adalah Imam Haromain Al-Juwaeni.

Pendapat yang Mengharamkan

Mereka yang mengharamkan melandaskan dengan keumuman ayat di atas dan beberapa ayat lainnya yang senada, juga dengan kisah Umar bin Khottob yang memerintahkan dua gubernurnya (Abu Musa al-Asy’ari dan Kholid bin Walid) untuk memecat asistennya di bidang administrasi dan keuangan yang berasal dari non muslim. Riwayat lengkap tentang kisah tersebut dinukil oleh Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad. Teksnya lengkapnya sebagai berikut:

عن أبي موسى رضي الله عنه قال: (قلت لعمر رضي الله عنه: إن لي كاتبا نصرانيا، قال: ما لك قاتلك الله، أما سمعت الله يقول: (يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود و النصارى أولياء بعضهم أولياء بعض)- ألا اتخذت حنيفا؟ قال: قلت يا أمير المؤمنين: لي كتابته و له دينه. قال: لا أكرمهم إذ أهانهم الله، ولا أعزهم إذ أذلهم الله، و لا أدنيهم إذ أقصاهم الله.

Dari Abu Musa ra, ia berkata : Saya katakan pada Umar bahwa saya mempunyai seorang sekretaris nashrani, maka Umar mengatakan : Ada apa denganmu, semoga Allah SWT membunuhmu, apakah engkau tidak dengar Allah SWT berfirman : “wahai orang-orang yang beriman janganlah menjadikan orang yahudi dan nashroni sebagai pemimpin/kesayangan “?. Saya katakan pada Umar: bagiku adalah tulisannya, dan bagi dia adalah agamanya “. Umar mengatakan : ” Tidak akan aku muliakan mereka ketika Allah telah menghinakan mereka ” … dst

فقد كتب خالد بن الوليد رضي الله عنه إلى عمر بن الخطاب رضي الله عنه يقول: “إن بالشام كاتبا نصرانيا لا يقوم خراج الشام إلا به” فكتب إليه: “لا تستعمله.” فكتب: “إنه لا غنى بنا” عنه، فكتب إليه عمر: “لا تيتعمله.” فكتب إليه: “إذا لم نوله ضاع المال.” فكتب إليه عمر رضي الله عنه: “مات النصراني و السلام”

Artinya : Kholid bin walid menulis kepada Umar bin Khottob : di Syam (kami punya) juru tulis, yang penghitungan keuangan (khoroj) tidak akan lancar tanpanya. Maka Umar menjawab : ” jangan gunakan dia “. Kholid menjawab kembali : ” Kami sangat membutuhkannya”. Umar menulis kembali : “Jangan gunakan dia !”. Kholid menulis kembali:” Kalau kami tidak menggunakannya, akan hilang uang kami”. Umar mengakhiri dengan mengatakan :” Semoga Nashrani itu mati. wassalam”

Munaqosyah Adillah:

Pendapat dengan sandaran dalil di atas bisa dibaca dan dua sisi:

1. Pertama : Umar bin Khotob melihat posisi juru tulis dan keuangan sebuah pemerintahan gubernur adalah jabatan strategis dan prestise, apalagi disebutkan pula oleh Kholid bin Walid tentang wewenang dan tugasnya yang begitu penting. Karenanya Umar tidak ragu lagi untuk memerintahkan pemecatannya, karena melihat itu sesuatu yang strategis dan membahayakan jika dijabat kaum non muslim. Ini sangat bisa dipahami mengingat keterbatasan pada saat itu, posisi juru tulis sangat menentukan.

2. Kedua : Secara fiqh perdebatan di atas menunjukkan ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Hanya saja karena posisi Umar sebagai khalifah, maka ia berhak memutuskan sikap akhirnya. Secara ushul Fiqh, ini tidak termasuk dalam bagian ijmak sahabat, tetapi qaul atau pendapat dan ijtihad sahabat, yang ternyata berbeda antara Umar dan kedua gubernurnya.

Pendapat dan Dalil yang Membolehkan

Diantara dalil dan ungkapan yang mengisyaratkan kebolehan hal di atas antara lain :

Pertama : Sayyid Tantowi dalam Tafsir Al-Wasith, ketika menafsirkan ayat Muwalah di atas, beliau menyebutkan: Al-Muwalah yang dilarang adalah yang mengakibatkan kerugian kaum muslimin dan agama, bukan muwalah atau kerja sama secara umum. Teks arabnya sebagai berikut:

و الموالاوة الممنوعة هي التي يكون فيها خذلان للدين أو إيذاء لأهله أو إضاعة لمصالحهم

Artinya :” Muwalaah (dukungan dan pengangkatan atas non muslim) yang dilarang adalah : yang di dalamnya ada unsur tipuan dan penistaan agama, atau mengganggu dan merugikan kaum muslimin, dan mengapus kemaslahatan mereka ” (Tafsir Al-Wasith)

Sehingga, muwalah atau dukungan dengan syarat bermanfaat bagi umat dan agama, tidak termasuk muwalah yang disebutkan dalam ayat di atas.

Kedua : Imam Fakhruddin – Arrozi dalam Tafsir Mafatihul Ghoib, ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa : Yang dilarang adalah menjadikan Non Muslim pemimpin mutlak (sendiri) tanpa ada orang beriman di sana. Beliau menyatakan :

لم لا يجوز أن يكون المراد من الآية النهي عن اتخاذ الكافرين أولياء بمعنى أن يتولوهم دون المؤمنين، فأما إذا تولوهم و تولوا المؤمنين معهم فذلك ليس بمنهي عنه

Mengapa tidak boleh jika yang dimaksudkan (pelarangan) dalam ayat adalah menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, artinya : mengangkat mereka tanpa mengangkat orang mungkin. Jika mengangkat non muslim dan pada saat yang sama juga mengangkat orang mukmin bersamanya, maka hal tersebut tidaklah dilarang.

Ungkapan di atas menunjukkan, sekiranya seorang muslim mengangkat non muslim untuk jabatan tertentu tetapi mereka juga mengangkat orang muslim bersamanya, maka hal itu tidak termasuk yang dilarang dalam ayat.

Ketiga, Imam Al-Mawardy dalam Ahkam Sultoniyah[ii] menyebutkan :

و يجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة و إن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم

” dan boleh jika kementrian ini (tanfidz) dipegang oleh ahlu dzimmah (non muslim), meskipun tidak boleh bagi mereka menduduki kementrian tafwiidh.”

Di dalam ahkam sulthoniyah bab wizaroh (kementrian), Imam Mawardi membagi pos kementrian menjadi dua bagian utama, yaitu wizarotu tanfidz (kementrian pelaksana) dan wizarotu tafwidh (kementrian pendelegasi). Dimana diantara keduanya terdapat sejumlah persamaan dan perbedaan. Secara ringkas, kementrian tafwidh mempunyai wewenang lebih besar khususnya dalam hal-hal yang sangat strategis seperti pengadilan, peperangan dan baitul mal.

Keempat: Dr. Yusuf Qardhawi dalam dua bukunya[iii] menyebutkan secara spesifik persoalan ini. Dalam kitab Ghoiril muslimin fi mujtamak muslim, beliau mengatakan :

“و لأهل الذمة الحق في تولى وظائف الدولة كالمسلمين، إلا ما غلب عليه الصبغة الدينية كالإمامة و رئاسة الدولة و القيادة في الجيش، و القضاء بين المسلمين، و الولاية على الصدقات، و نحو ذلك.

“dan bagi ahli dzimmah (ada) hak dalam menjabat posisi-posisi dalam negara sebagaimana halnya kaum muslimin, kecuali pada jabatan-jabatan yang lebih dominan unsur keagamannya, seperti: imamah (khilafah), kepala negara, panglima militer, hakim, dan yang mengurusi sedekah, dan yang semacamnya”

Beliau melanjutkan :

و ما عدا ذلك من وظائف الدولة فيجوز إسناده إلى أهل الذمة، إذا تحققت فيهم الشروط التي لا بد منها، من الكفاية و الأمانة و الإخلاص للدولة.

“dan jabatan selain itu (yang disebutkan tadi) yang termasuk jabatan-jabatan dalam sebuah negara, maka boleh disandarkan pada ahlu dzimmah, jika terpenuhi syarat-syaratnya pada diri mereka, seperti: kemampuan, amanah, dan loyal pada negara”

Dalam tulisan yang lain, [iv] Dr. Qaradhawi menyebutkan :

و لا مانع من أن يكون أحد نائبي الرئيس، أو نوابه من غير المسلمين، و خصوصا إذا كانت الأقلية غير المسلمة كبيرة، كما هو حاصل في السودان اليوم/

“Tidak ada larangan jika salah satu dari dua wakil presiden atau dari beberapa wakilnya adalah berasal dari non muslim, khususnya jika jumlah minoritas non muslimnya cukup besar. Sebagaimana pula terjadi di Sudan.”

Kelima, Imam Syahid Hasan Al-Banna juga telah memprediksikan kemungkinan pengangkatan non muslim dengan syarat-syarat tertentu. Dalam Majmuatur Rosail, bab Risalatu Ta’alim[v], setelah berbicara tentang syarat-syarat pemerintahan islam (hukumah islamiyah) yang terdiri dari kaum muslimin yang komitmen dengan kewajiban agama, beliau menyatakan :

و لا بأس أن نستعين بغير المسلمين عند الضرورة، في غير مناصب الولاية العامة،

Dan tidak mengapa meminta bantuan kepada non muslim dalam kondisi darurat, dalam jabatan-jabatan yang bukan kepemimpinan umum.”

Munaqosyah Adillah:

1- Para Ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim pada posisi tertentu senantiasa memberikan batasan dan syarat tertentu, sebagaimana Imam Mawardi mengistilahkan ada wizarotu tanfidz yang berbeda kewenangan dengan wizarotu tafwidh. Begitula pula Qardhawi yang mensyaratkan tidak pada posisi-posisi strategis yang berhubungan dengan keagaaman secara dekat, seperti: imamah sholat, hakim, militer dan baitul maal. Maka jika kita lihat dengan lebih objektif, sesungguhnya posisi kepala daerah, dengan sendirinya mempunyai keterbatasan dan keterikatan tertentu.

2- Dengan logika yang sederhana, sesungguhnya para ulama yang membolehkan pengangkatan non muslim menduduki jabatan tertentu yang cukup strategis, mereka berbicara dalam konteks menjalankan negara islam, pemerintahan islam, bahkan khilafah islamiyah. Ini artinya, dalam kondisi ‘berkuasa penuh’ pun, masih begitu fleksibel dengan membuka kesempatan dalam keterlibatan non muslim. Jika dilihat dalam konteks kekinian, dimana pemerintahan islam belumlah terbentuk, dimana bargaining kekuatan politik islam masih sangat rendah, maka tentu opsi bekerja sama dan pengangkatan non muslim dalam jabatan tertentu seharusnya lebih terbuka dan fleksibel.

Kesimpulan : Pengangkatan non muslim dalam kepemimpinan strategis sebagaimana disebutkan dalam tingkatan kedua adalah boleh, dengan melihat secara jelas maslahat yang akan di dapat oleh kaum muslimin, serta terpenuhi syarat -syarat secara khusus. Begitu pula, kebolehan tersebut semakin terbuka jika yang diangkat bukan non muslim seorang, tetapi bersamanya atau didampingin dengan seorang muslim, sebagaimana disebutkan oleh imam Fahrudin Ar-Rozi dalam tafsirnya.

KEDUA : TENTANG KERJA SAMA dan MEMINTA BANTUAN dengan NON MUSLIM

Lebih mengerucut dalam konteks Pilkada Solo, untuk memahami hakekat posisi kepala daerah dan wakilnya, bisa kita lihat dalam cuplikan berita sebagai berikut:

Sambas – Para Wakil Kepala Daerah (Wakada) menggugat mereka tidak mau lagi hanya menjadi ban serep ketika kepala daerah berhalangan. Gugatan itu mengemuka pada acara Lokakarya dan Pertemuan Nasional (LPN) pra wakil kepala daerah se-Indonesia di Bengkulu yang digelar selama tiga hari, 15-17 Juni 2007, yang menghasilkan rekomendasi agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU 32/2003 tentang Pemerintahan Daerah. (HARIAN PELITA)

Begitu pula, jika dicermati lebih jauh sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku, maka akan kita dapati bahwa TUGAS dan WEWENANG WAKIL WALIKOTA itu diatur dalam sebuah PERATURAN WALIKOTA yang ditandatangani oleh walikota. Ini artinya, dalam bahasa sederhana sesungguhnya yang terjadi adalah Walikota sedang bekerja sama dengan WAKIL WALIKOTA atau meminta bantuan kepada WAKIL WALIKOTA dalam menjalankan tugasnya.

Sehingga akan sangat berbeda secara efek ideologis dan syar’i, mendukung non muslim menjadi pemimpin (walikota), dengan mendukung WALIKOTA MUSLIM yang bekerja sama atau meminta bantuan kepada non muslim.

Dalam bahasan fiqh seputar istianah bil kufar (meminta bantuan pada orang kafir) jumhur ulama selain Malikiyah mengatakan KEBOLEHANNYA, sekalipun dalam kondisi berperang dengan dua syarat: kondisi yang membutuhkan dan bisa dipercaya.

مذهب الجمهور (الشافعية و الحنابلة و الأحناف) : قالوا يجوز الاستعانة بالكفر في الحرب بشرطين: أولا: الحاجة إليهم، و ثانيا: الوثوق من جهتهم.

Dalam bahasan siroh, akan kita temukan banyak lagi bentuk fiil Rasulullah SAW dalam beristi’anah dengan non muslim, misalnya :

• Peristiwa Hijrah, dengan Abdullah bin Uraiqith dan Suroqoh
• Bekerja sama dengan Yahudi bani Qainuqo di awal pemerintahan Madinah
• Bekerja sama dengan Sofwan dalam sebuah peperangan besar

KETIGA : REALITAS KEKINIAN DUNIA ISLAM. PENGANGKATAN NON MUSLIM ADALAH SEBUAH HAL YANG SUDAH TERJADI DENGAN IJTIHAD-IJTIHAD KONTEMPORER

Ketika kita masih berbicara pengangkatan non muslim untuk jabatan Walikota dan wakil walikota, sesungguhnya di luar sana hal ini sudah merupakan realitas kekinian yang dihadapi dunia Islam bahkan juga harakah Islam. Bukan hanya dalam konteks pemimpin lokal tetapi dalam konteks negara Islam dan mayoritas muslim. Dua diantaranya layak mendapatkan perhatian :

1. Negara Sudan, yang sejak dua dasawarsa memberlakukan syariat Islam dalam seluruh perundang-undangannya. Jelas-jelas memiliki wakil presiden non Muslim berasal dari minoritas kristen di daerah Selatan.

2. Negara Suriah, pernah mempunyai seorang PM yang berasal dari minoritas Kristen, bernama Faris Al-Khuury. Uniknya -sebagaimana dikatakan Qardhawi- termasuk PM yang paling sukses, berhasil bekerja saja dengan mentri-mentri dari kaum muslimin, bahkan sebagian besar kaum muslimin Suriah puas dengannya. Dan ia dikenal sebagai PM kristen yang paling yakin dengan syariat Islam sebagai solusi.

Jika kita pandang dari sudut syariah, ini membuktikan adanya ijtihad-ijtihad kontemporer dalam masalah ini, dimana tidak setiap dukungan dan pengangkatan non muslim selalu dihubungkan dengan pelanggaran syar’i dan doktrin ideologi.

KEEMPAT : MENDUKUNG YANG BERPOTENSI UNGGUL ADALAH BENTUK IHSAN DALAM MEMENANGKAN AGENDA UMAT

Salah satu ajaran utama Islam adalah berlaku ihsan / optimal dalam segala sesuatunya.

Allah berfirman dalam surat Al-Mulk:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

“Yang menciptakan hidup dan mati untuk mengujimu yang mana diantara kalian yang paling ihsan amalnya”(QS Al-Mulk 2)

Begitupula Hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda :

إن الله كتب الإحسان على كل شيئ

“Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan berlaku ihsan dalam segala sesuatunya” (HR Muslim, Tirmidzi)

Dalam perspektif syar’i, salah satu tujuan musyarokah (partisipasi politik) adalah amar makruf nahi munkar, atau sebagaimana disebutkan oleh Imam Hasan Al-Banna , yaitu sebagai upaya sebagai islahul hukumah. Tentu saja ini sejalan dengan hadits Rasul SAW yang menyatakan agama adalah nasihat, dimana disebutkan salah satunya adalah nasihat bagi pemimpin kaum muslimin.

Untuk membuka peluang yang efektif dalam amar makruf nahi munkar dan menasehati pemimpin, atau mencegah kezaliman yang telah dan akan dilakukan (unsur akhoka dzholiman au madzluman) maka secara realitas politik itu dapat dipenuhi jika sejak awal kita mendukung pasangan yang berpotensi menang. Tanpa adanya dukungan sejak awal, maka kemungkinan nasehat dan amar makruf tetap ada, tetapi sangat kecil atau bahkan tertutup. Sehingga pada titik ini, sesungguhnya melakukan kalkulasi kekuatan, survei lapangan, dan pada akhirnya mendukung yang paling berpotensi unggul, adalah bagian dari berbuat ihsan dalam memenangkan agenda islahul hukumah. Wallahu a’lam

KELIMA : TENTANG KAIDAH MASLAHAT DAN MADHOROT

Dalam menentukan pilihan politik, senantiasa harus berlandaskan pertimbangan yang jelas tentang kemanfaatan untuk umat yang bisa diperoleh karenanya. Imam Qurthubi dalam penafsiran ayat ‘muwalah’, beliau menyebutkan larangan memilih non muslim bersifat umum, lalu beliau melanjurkan :

و أقول: إن كانت في ذلك فائدة محققة فلا بأس به.

“Seandainya di dalamnya ada manfaat yang jelas terealisasi, maka tidak mengapa dengan itu (mengangkat non muslim) ” (Al-jami li ahkamil quran)

Karenanya, sebagai implementasi dari maqoshid syariah, dalam menimbang segala sesuatunya tentu harus mempertimbangkan aspek maslahat dan madhorot. Dalam syarat menentukan maslahat disebutkan oleh ulama Ushul fiqh salah satunya adalah :

أن تكون مصلحة حقيقة و ليست مصلحة وهمية

“Hendaknya maslahat benar-benar bisa diperhitungkan terjadi bukan hanya menduga-duga ”

Begitu pula dalam madhorot, tidak bisa hanya diperkirakan dengan asumsi-asumsi tanpa perhitungan yang jelas. Maka mungkin saja dalam konteks PILKADA banyak asumsi dan perkiraan dimunculkan seputar maslahat dan madhorot ketika mendukung salah seorang pasangan. Dalam hal ini semua pihak bisa memakai kaidah yang sama seputar maslahat dan madhorot, semua bisa mengasumsikan dan mengklaim ini adalah madhorot dan ini adalah maslahat.

Karenanya, kembali pada syarat di atas MASLAHAT haruslah jelas dan diperhitungkan terjadi. Untuk itulah dalam proses musyarokah dan dukungan PILKADA, haruslah diupayakan adanya KONTRAK POLITIK yang bisa menjadi sarana untuk mendekatkan pada MASLAHAT yang diperhitungkan, serta pada saat yang sama menjauhkan dan mencegah dari MADHOROT. Tanpa adanya kontrak politik yang jelas, pertimbangan maslahat dan madhorot menjadi sangat debatable, atau dalam bahasa ushul fiqh :” wahmiyath” . Wallahu Alam

PENUTUP:

Akhirnya, semua yang kami bahas di sini adalah tidak lebih dari analisa syar’i sederhana yang -sesuai kemampuan kami- saat ini cukup kami yakini kebenarannya. Tetapi, tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya pandangan lain, analisa lain yang lebih benar dan meluruskan apa yang kami tulis ini. Hanya kepada Allah lah kami meminta ampunan atas kesalahan dan kekeliruan kami dalam tulisan ini.

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama Aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali” (Hud 88).

Solo, 11 Shofar 1431 H

Dewan Syariah Daerah (DSD)
Partai Keadilan Sejahtera Kota Surakarta

[i] Ahkam Ahlu Dzimmah, Ibnul Qoyyim al-Jauzi (2/414)
[ii] Ahkam Sultoniyah, Imam Mawardi (1/45)
[iii] Ghoirul Muslimin fi Mujtama’ Muslim, dan Ahkam Aqolliyat
[iv] Makalah ” Ad-Din wa Siyasah” yang dipresentesaikan dalam Pertemuan ke 15 Majlis Fatwa Eropa tahun 2005
[v] Majmuatur Rosail, Imam Syahid Hasan Al-Banna, Risalatu Ta’alim