Muslimedianews.com, Esai ~ Berjuta maaf saya sampaikan kalau tulisan ini jauh panggang dari api,
jauh pena dari ilmu. Sebab, tulisan ini hanya kontemplasi diri atas
fenomena di abad googleliyah ini. Refleksi diri yang awam dan jahil alias bodoh.
Dulu (menurut cerita para orangtua), kenyamanan beribadah dan mencari
ilmu (khususnya agama) agak sedikit terganggu. Terlebih kalau sudah
masuk senja, hanya mengandalkan lampu tempel (yang minyaknya sangat
dihemat-hemat), tapi semangat anak-anak kecil untuk mencari ilmu kepada
seorang yang dianggap mumpuni keilmuannya sangatlah besar. Bahkan
semangat yang besar itu seakan menjadi kobaran api yang mengalahkan
kobaran obor yang dibawa mereka saat mencari ilmu. Karena buat mereka,
menghilangkan kebodohan adalah awal dari kesuksesan.
Mereka amat semangat untuk mengaji agama kepada pak kiai, pak ustadz,
guru, ajengan dan seterusnya, demi ilmu dan demi kesuksesan dunia
akhirat. Tapi ternyata, bukan hanya ilmu yang mereka cari, bukan cuma
impian sukses yang mereka harapkan, mereka pun belajar berakhlak yang
baik, akhlak al karimah. Betapa mereka amat bergembira bila
mencium telapak tangan ibu dan bapaknya ketika berangkat mengaji, lalu
mencium telapak tangan gurunya ketika tiba di pengajian. Tidak berani
membantah perkataan orangtua, perintah guru dan seterusnya.
Sekarang di zaman twitteriyah dan facebookiyah ini, entah fenomena apa yang sedang ku saksikan sebenarnya. Ba'da maghrib mereka kaum muda lebih senang buka facebook, google, yahoo messenger, twitter dan seterusnya hanya untuk post status, demi mengeluh dan mengadukan masalah-masalahnya ke semua teman mayanya. Dan yang lebih ironis serta kronis, yaitu mereka me-repost
catatan-catatan keilmuan/keagamaan tanpa pernah memiliki guru yang
membimbing. Mereka sudah merasa sangat pandai dan ‘alim bila me-repost/share link-link keagamaan tersebut atau tulisan keagamaan dari buku yang dia baca.
Bahwa mencari ilmu itu sebuah kewajiban bagi muslim adalah benar,
tapi belajar kepada guru untuk mencari ilmu adalah keharusan dalam
agama. Belajar tanpa guru, maka syaithan yang menjadi gurunya, begitu
para ulama mengatakan.
Dan celakanya, mereka anggap internet itu adalah guru yang kompeten
dan pakar dalam agama, akhirnya mereka melupakan dan mengacuhkan
kitab-kitab yang dibawakan oleh para guru dalam sebuah majlis ta'lim.
Sehingga pantas jika mereka hanya memiliki kemampuan knowledge
saja tapi tidak memiliki keunggulan dalam akhlak. Mereka senang
menyalahkan perilaku orang lain, gemar menganggap orang lain itu salah,
bahkan mereka berani mengatakan orang lain itu melakukan perbuatan
syirik dan kafir, karena mereka menganggap orang lain itu melakukan
sesuatu yang tidak diajarkan oleh agama. Padahal yang menurut mereka
ajaran agama itu sebenarnya adalah ajaran internet. Mereka faham agama
sebatas lisan dan mata, bukan kandungan dari agama itu sendiri.
Tidak terlarang mencari pengetahuan dari apapun termasuk dari eyang
google dan sebangsanya, tapi yakinkan apa yang kita lihat dan pelajari
itu adalah sesuatu yang haq dengan bimbingan seorang guru.
Lihatlah salah satu syarat dalam mencari ilmu, yaitu irsyadul ustadz atau bimbingan seorang guru. Dan perhatikanlah tujuan dari bi'tsaturrasul,yaitu li utammima makarimal akhlaq atau menyempurnakan akhlak yang baik.
Oleh : H. Sujatmiko Huda
Santri Majelis al Musnid Bekasi
dikutip dari NU Online/gambar:google
No comments
Post a Comment