BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Monday, October 13, 2014

Kisah Wafatnya Mbah Hasyim Asy’ari (Pendiri NU & Pejuang Kemerdekaan RI)

Muslimedianews ~ Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari terlahir pada Selasa Kliwon 24 Dzul Qa’dah 1287 H (14 Februari 1871 M) di Pesantren Gedang Tambakrejo Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan putra ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan Kyai Asy’ari dan Nyai Halimah.

Dalam buku ‘Profil Pesantren Tebuireng’ dan NU-Online, tertulis bahwa tanggal 3 Ramadhan 1366 H (21 Juli 1947 M) jam 9 malam Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selesai mengimami shalat Tarawih. Sebagaimana biasanya beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian datanglah tamu utusan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. Mbah Hasyim menemui utusan tersebut dengan didampingi Kyai Ghufron yang juga pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya.

Sang tamu menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi 3 pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut Kyai Hasyim meminta waktu semalam untuk berpikir dan selanjutnya memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:
1)    Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro dan Madiun.
2)    Hadhratus Syaikh dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3)    Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kyai Hasyim.

Keesokan harinya Mbah Hasyim memberikan jawaban bahwa beliau tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan. Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M, sekitar pukul 21.00 WIB datang lagi utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo. Kedatangan utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadhratus Syaikh Kyai Hasyim. Secara khusus Bung Tomo memohon kepada Kyai Hasyim mengeluarkan komando ‘jihad fi sabilillah’ bagi umat Islam Indonesia. Karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadhratus Syaikh kembali meminta waktu semalam untuk memberi jawaban.

Tidak lama berselang, Mbah Hasyim mendapat laporan dari Kyai Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu Mbah Hasyim berujar: “Masya Allah, masya Allah…” sambil memegang kepalanya, tapi hal ini ditafsirkan oleh Kyai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.

Akhirnya para tamu pun pamit keluar, tetapi Mbah Hasyim tetap diam tidak menjawab. Sehingga Kyai Ghufron mendekat ke Mbah Hasyim, dan meminta kedua tamu tersebut meninggalkan tempat. Tak lama kemudian Kyai Ghufron baru menyadari bahwa Mbah Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Mbah Hasyim.

Kala itu putra-putri Mbah Hasyim sedang tidak berada di Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Semisal Kyai Yusuf Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas tentara pejuang, kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni dr. Angka Nitisastro.

Setelah diperiksa, barulah diketahui bahwa Mbah Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain. Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari akhirnya wafat pada waktu sahur (pukul 03.00 dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H (25 Juli 1947).

Atas jasa-jasa beliau selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting, yakni:
1.    Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia.
2.    Kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda.
3.    Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah Belanda.
Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional.

Sedikit berbeda dengan kutipan di atas, Kyai Sanusi Lebaksiu Tegal yang merupakan santri Mbah Hasyim Asy’ari menuturkan bahwa menjelang wafat sang gurunya itu dirinya sedang turut mengaji. Seperti tidak terjadi apa-apa, sebagaimana laiknya orang yang sehat, Mbah Hasyim mengajar sebuah kitab di hadapan para santrinya. Hal tersebut merupakan rutinitas Mbah Hasyim setiap ba’da Shubuh.

Sebagai salah satu saksi mata, Kyai Sanusi menyaksikan tatkala Mbah Hasyim sedang membacakan kitab tiba-tiba terdiam menundukkan kepalanya. Para santri mengira beliau hanya sedang mengantuk. Tapi setelah salah seorang santrinya mendekat (mungkin Kyai Ghufron, sebagaimana kutipan di atas) dan memastikan keadaan Mbah Hasyim, ternyata nyawa gurunya itu telah tiada. Sontak saja para santri yang saat itu sedang mengaji geger bercampur duka yang mendalam. Guru yang sangat dicintainya itu telah kembali ke haribaan Ilahi Rabbi. Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, kabar kewafatan Pendiri NU dan Ponpes. Tebuireng itu pun dengan cepat tersiar ke berbagai penjuru tanah air.

Rasa bela sungkawa yang amat dalam datang dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU dan terlebih para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini terbaring di pusara beliau di tengah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

Pada saat mengantar kepergiannya, sahabat sekaligus saudara beliau, KH. A. Wahab Hasbullah, sempat mengemukakan kata sambutan. Inti dari sambutan Mbah Wahab adalah menjelaskan tentang prinsip hidup Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, diantaranya: “Berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat.”

Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 13 Oktober 2014
« PREV
NEXT »

No comments