Muslimedianews.com ~ Judul diatas diilhami oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “ Sebaik-baik persoalan adalah yang berada ditengah “ (khairul-umûri ausâthuha). Ia juga mencerminkan Pandangan agama Budha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh penganut agama tersebut.
Walaupun demikian, judul itu dimaksudkan untuk mengupas sebuah buku
karya, tokoh Syi’ah terkemuka Dr. Musa Al Asy’ari, “Menggagas Revolusi
Kebudayaan Tanpa Kekerasan” –dalam sebuah diskusi di kampus Universitas
Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu, katakanlah sebagai sebuah
resensi, yang juga menunjukan kecenderungan umum mengambil “jalan
tengah” yang dimiliki bangsa kita, dan mempengaruhi kehidupan di negeri
ini.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sikap mencari jalan
tengah ini, akhirnya berujung pada sikap mencari jalan sendiri di
tengah-tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk ke
kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, terlebih dahulu
penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah yang menjadi jalan
hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami masalah tersebut
dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “jalan tengah” sebagai
sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal dalam kenyataannya tidaklah
demikian.
Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang
independen dari bangsa-bangsa lain, merupakan sebuah kenyataan yang
tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpamanya menggangap kerajaan
Majapahit memiliki angkatan laut yang kuat dan menguasai kawasan antara
pulau Madagaskar di lautan Hindia/Samudra Indonesia di Barat dan pulau
Tahiti di tengah-tengah lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal
Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan tersebut hanyalah fatsal
(pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang menguasai kawasan
perairan tersebut selama berabad-abad. Kita tentu tidak senang dengan
klaim tersebut karena mengartikan kita lemah, tetapi kenyataan sejarah
berbunyi lain, Australia yang menjadi dominion Inggris, secara hukum dan
tata negara, memiliki indenpendensi sendiri terlepas dari negara induk.
***
Penulis
melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan penyimpangan-penyimpangan
seperti itu. Umpamanya saja, seperti di tunjukan oleh Oswald Spengler
dalam “Die Untergang des Abendlandes"(The Decline Of The West). Buku
yang menggambarkan kejayaan peradaban Barat dalam abad ke 20 ini
ternyata mulai mengalami keruntuhan (untergang). Filosof
Spanyol kenamaan, Ortega Y Gasset, justru menunjuk kepada tantangan dari
massa rakyat kebanyakan dalam peradaban modern terhadap karya-karya dan
produk kaum elite, seperti tertuang dalam bukunya yang sangat terkenal
“Rebellion of the Masses” (Pemberontakan Rakyat Kebanyakan).
Kemudian
itu semua, disederhanakan oleh Arnold Jacob Toynbee dalam karya
momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, “A Study of History”. Toynbee
mengemukakan sebuah mekanisme sejarah dalam peradaban manusia, yaitu
tantangan (challenges) dan jawaban (responses). Kalau tantangan
terlalu berat, seperti tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti
yang dialami bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban
memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya, kalau
tantangan harus dapat diatasi dengan kreatifitas, seperti tantangan
banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemudian membawa
kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk masa selanjutnya, akan
melahirkan peradaban tepi sungai yang sangat besar, seperti di tepian
Nil, Tigris, Eupharat, Gangga, Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi dan
Brantas. Lahirnya Pusat-pusat peradaban dunia ditepian sungai-sungai
itu, merupakan bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.
Jan
Romein, seorang sejarawan Belanda, menulis bukunya “Aera Eropa” ia
menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusiaan Umum pertama, Eerste Algemeene menselijk Patron).
PKU I itu, menurut karya Romein tersebut memperlihatkan diri dalam
tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaan-kerajaan
besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi kuat dibawah
kekuasaan raja yang moralitas yang sama di mana-mana. Dalam abad ke-6
sebelum masehi, terjadi krisis moral besar-besaran yang ditandai dengan
munculnya nama-nama Lao Tze dan Konghucu, Budha Gautama, Zarathustra di
Persia dan Akhnaton di Mesir. Mereka para moralis hebat ini
mengembalikan dunia kepada tradisionalismenya, karena memperkuat
“keseimbangan”.
Sebaliknya, para filsuf Yunani Kuno, membuat
penimpangan pertama terhadap PKU kesatu itu, dengan mengemukakan
rasionalitas sebagai ukuran perbuatan manusia yang terbaik.
Penyimpangan-penyimpangan PKU I ini di ikuti oleh
penyimpangan-penyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan hukum
Romawi (Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Renaissance (Abad
kebangkitan), Abad pencerahan (Aufklarung), Abad Industri dan Abad
Ideologi. Dengan adanya penyimpangan itu, Eropa memaksa dunia untuk
menemukan PKU II (Tweede Algemeene menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk finalnya.
***
Nah,
kita menolak Theokrasi (negara agama) dan Sekularisme, dengan
mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila. Kompromi politik yang
dikembangkan kemudian (dan sampai sekarang belum juga berhasil) sebagai
ideologi bangsa, menolak dominasi Agama maupun kekuasaan Anti Agama
dalam kehidupan bernegara kita. Karena sekularisme di pandang sebagai
penolakan kepada agama -dan bukannya sebagai pemisahan agama dari
negara-, maka kita merasakan perlunya mempercayai Pancasila yang
menggabungkan Sila pertama (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa),
dan sila-sila lain yang oleh banyak penulis dianggap sebagai penolakan
atas agama.
Buku yang ditinjau penulis ini, sebenarnya adalah
upaya dari jenis yang berupaya menyatukan “kebenaran Agama” dan illmu
pengetahuan sekuler (dirumuskan sebagai kemerdekaan berpikir oleh
pengarangnya). Jelas yang dimaksudkan adalah sebuah sintensa baru yang
terbaik bagi kita dari dua hal yang saling bertentangan. Apakah ini
merupakan sesuatu yang berharga, ataukah hanya berujung kepada sebuah
masyarakat (dan negara) “ yang bukan-bukan”. Sederhana saja masalahnya,
bukan?
Penulis : KH. Abdurrahman Wahid (Gus dur)
*) Tulisan ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, 09 Oktober 2002. via nu.or.id
Wednesday, February 11, 2015
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Most Reading
-
Muslimedianews.com ~ Daftar Pustaka adalah tulisan yang tersusun di akhir sebuah karya ilmiah yang berisi nama penulis, judul tulisan, pe...
-
Muslimedianews.com ~ Dalam salah satu tulisannya yang membahas mengenai melihat gambar porno atau melihat gambar aurat wanita, DPP Hizbu...
-
Muslimedianews ~ KH. Ahmad Dahlan dan Kh. Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits d...
-
Muslimedianews.com ~ Seorang polisi, seharusnya memiliki sikap yang bijak dan memiliki jiwa pengayom masyarakat, serta memahami sejarah ne...
-
Muslimedianews.com ~ Kitab Fathul Izar adalah karya ulama Nusantara, KH. Abdullah Fauzi Pasuruan. Menerangkan tentang perihal nikah dan...
-
Muslimedianews.com ~ Muharram merupakan bulan pertama dalam tahun Islam (Hijrah). Sebelum Hijrah Rasulallah dari Mekah ke Yathrib kiraan...
-
Muslimedianews.com ~ Footnote atau Catatan Kaki adalah daftar keterangan khusus yang ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau akhir bab...
-
Muslimedianews.com ~ TRADISI 4 DAN 7 BULANAN KEHAMILAN Ngapati atau Ngupati adalah upacara selamatan ketika kehamilan menginjak pada us...
-
Muslimedianews.com ~ Menjadi orang tua bagi anak-anak sangat gampang. Ia boleh menunggu saja anak-anak keluar dari rahim istrinya atau m...
No comments
Post a Comment