BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Monday, December 07, 2015

Ketika Santri Langitan Berdakwah Menjadi Putra Cendrawasih Papua

Papua, Muslimedianews ~ Menjadi santri adalah sebuah pilihan tepat untuk selanjutnya berusaha menjadi khair an-naas anfa’uhum li an-naas. Jadi, nyantri adalah batu loncatan pertama yang harus ditempuh jika seseorang ingin dirinya dapat memberikan peran bagi masyarakat, terutama agamanya. Dan hal tersebut jugalah yang saat ini ditempuh oleh Hamam Nasiruddin, salah satu alumni pondok pesantren Langitan yang sekarang berjuang menyuarakan Islam di tanah Papua.

Kisah Awal Sebelum Berangkat ke Papua

Adalah Hamam, begitu dia akrab disapa teman sejawat dan para guru. Menimba ilmu di pondok pesantren Langitan sejak tahun 2001 sampai tahun 2010. Masa yang tidak sebentar untuk menuntut ilmu. Setelah tahun kepulangannya, Hamam pun mengajar ngaji di Taman Pendidikan al-Qur’an yang ada di sekitar rumahnya, di desa Manding, Temu, Kanor, Bojonegoro jawa Timur.

Semasa mondok Hamam dikenal sebagai sosok yang humoris tapi multitalenta. Tercatat, Hamam termasuk santri yang berprestasi, baik akademis ataupun non akademis, terutama jika hal-hal itu berbau skill, ketrampilan berbicara, khitabah (pidato), MC atau presenter pembaca berita, qari’, shalawat dan masih banyak lagi, meski itu masih tingkat pondok.

Mungkin karena talentanya yang bisa dibilang ‘lengkap’, Hamam pun akhirnya mendapat tawaran dari KH. Yamin Mu’allim, pengasuh PP. Al Barokah, Gilang, Babat (salah satu tenaga pengajar senior di Langitan) untuk diterjunkan berdakwah di Papua. Bayangan seorang Hamam, Papua itu yang seperti dia tahu selama ini, orangnya hitam-hitam, di tengah hutan, primitif dan jauh dari jangkauan. Tapi bayangan abu-abu Hamam tak menyurutkan semangatnya untuk mengiyakan tawaran tersebut, tentunya setelah melalui berbagai pertimbangan selama kurang lebih satu bulan.

Awalnya orang tua belum merestui, karena tidak sampai hati harus berpisah sejauh itu dari putranya, apa lagi tempat dakwahnya adalah Papua yang seperti bayangannya. Namun setelah sowan kepada Mbah Yai Abdullah Faqih, Hamam pun mendapat restu dari ayah dan ibunya. Jadilah Hamam diterbangkan ke kota Cendrawasih.

Tantangan Berdakwah di Papua

Di luar dugaan. Ternyata Papua yang dihadapi Hamam adalah di pinggiran kota Jayapura, bukan di tengah hutan belantara. Perbedaan adat-istiadat merupakan salah satu tantangan tersendiri bagi Hamam untuk menyesuaikan diri. Hamam diberi amanat untuk mengurus dan tinggal di sebuah masjid di Kota Raja, Abepura, Jayapura.

Tantangan pertama, ta’mir masjid setempat adalah dari orang yang bersebrangan pemahaman islamnya, atau lebih jelasnya bukan berhaluan ahlussunah wal jama’ah. Namun, mereka tidak otoriter, Hamam masih diberi ruang gerak.

Awalnya masyarakat setempat tidak tahu bahwa Hamam adalah seorang da’i dari Jawa. Dan Hamam juga tak mungkin berkoar mendeklarasikan dirinya sebagai da’i. Gerakanya dimulai dengan mengajari pemuda-pemuda sekitar rebana, hadrah shalawat. Lalu setelah latihan terbangan itu berlangsung cukup lama, datang permintaan dari dua warga setempat untuk mengajari anak-anaknya mengaji. Karena kepiawainnya, ia berhasil merangkul berbagai suku di papua termasuk Jawa tentunya untuk ikut mengaji atau berjamaah.

Lambat laun, nilai plus yang ada dalam diri Hamam pun tercium juga oleh masyarakat sekitar, mulai adzan, qira’ah, sampai khutbah Jumat, Hamam turut mengisinya. Selain itu, masyarakat merasa nyaman dan cocok dengan pribadi Hamam yang ibarat toko serba ada, apa yang dibutuhkan masyarakat, terjawab sudah oleh Hamam.

Menjadi Muballigh di TV Papua

Ternyata apa yang dulu Hamam kembangkan di pondok, baru terasa manfaatnya sekarang di tengah masyarakat. Dia yang dulu aktif dalam ekstrakulikuler Mubalighiin (Pelatihan pidato dan ceramah) di Langitan, kini menuai buahnya. Hamam sempat ditunjuk untuk mewakili Papua di ajang perlombaan Taushiyah Nasional. Pasca mengikuti lomba dan mengharumkan nama Papua, Hamam pun didapuk untuk mengisi salah satu acara kerohaniahan Islam di salah satu televisi lokal, Papua TV. Dari sini, Hamam pun semakin melebarkan sayap dakwahnya, namanya sekarang sering diundang di beberapa tempat untuk memberi ceramah agama kepada masyarakat.

Hamam, yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan formal (hanya Langitan), justru masyarakat menyematkan title pendidikan strata kepadanya tanpa diminta.

Hingga sekarang, Hamam terus berusaha mengembangkan aktifitas keagamaan bernafas Aswaja yang berpusat di masjid. Kegiatan-kegiatan itu juga diadopsi Hamam dari apa yang dulu ia dapat di Langitan. Bagi Hamam, yang terpenting sebagai bekal dakwah, adalah sikap menghargai. Sebisa mungkin kita untuk tidak menyinggung apa lagi sampai terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan kita. Adab di atas segalanya. Lagi, kita harus memiliki kelebihan melebihi kelebihan yang mereka miliki, dengan itu potensi kita untuk berdakwah akan bisa lebih kuat.

#Foto Ust Hamam bersama Abdul Wahab Kordinator Aktifis NU Papua

-MPL
« PREV
NEXT »

No comments