Oleh Ach. Fitri*
Berbekal buku Keluarga Jawa garapan Hildred Geertz (1983) dan buku Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami? garapan Islah Gusmian (2007). Aku berangkat dari Colomadu ke kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Berharap bisa mengikuti bedah buku “Poligami Boleh Lebih Empat Istri? Mata Rantai Sejarah Yang Terlupakan” Garapan Tabrani Syabirion, Lc. MA. Yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Aqidah (HMJIA). pada, 16 Maret 2016.
Ketertarikanku mengikuti bedah buku bukan karena ingin berpoligami, tapi karena ada unsur godaan mendapatkan buku gratis dan mengerti “sejarah poligami”, yang dalam dugaanku masih jarang ulama atau akademisi dari Indonesia atau luar negeri yang secara serius membahas poligami baik dari sisi sejarah, sosial, pilitik dan ekonomi. Apalagi dalam konteks ke Indonesian.
Dalam buku Hildred Geertz, kita juga tidak menemukan keterangan atau ulasan tentang keluarga jawa yang berpoligami. Keinganan mengerti sejarah semakin bersarang di otakku dan menjelma berbagai pertanyaan, salah satunya sejak kapan poligami masuk dan ada di Indonesia, Apakah ada sejak Islam datang? Atau sudah ada sejak masuknya agam Hindu? mengingat sejarah kerajaan (raja) di Jawa sudah ada istilah “selir”.
Menurut Islah Gusmian dalam hazanah bahasa Indonesia, kita sudah menemukan istilah “madu” ketika kita menyebut istri kedua. Madu dijadikan simbol. Ada kecendrungan proses pemerasan, (seperti madu tawon) atas perempuan untuk memperoleh kekuatan dan vitalitas (kaum lakilaki).
Dalam konteks kejawaan ada istilah “maru”, yang berkonotasi dari daun waru yang hijau, segar dan menggairahkan. Hal itu untuk menunjukkan praktek poligini. Istri kedua atau ketiga itu lebih hijau, lebih ranum dan lebih muda.
Jam menunjukan 09.00, sepeda motor segera dihidupkan agar tak terlambat mengikuti acara. Aku bergerak menuju kampus, 10 menit berlalu aku sampai di kampus dan langsung menuju gedung Graha IAIN Surakarta. Aku bersyukur acara terlambat dimulai, jadi masih bisa mengikuti dari
Acara dimulai, Ketua Jurusan Ilmu Aqidah Hj. Nur Laili memberi sambutan. Dalam sambutannya beliau menyampaikan apresiasi atas agenda HMJIA yang mengadakan agenda bedah buku. “Bedah buku sebagai bagian dari mimbar akademik dan juga dapat menyesesuaikan dengan etika
Acara dilanjutkan, Nur Hafid menjadi moderator. Ia menggoda kita untuk mengerti poligami dari bahasa. Nur Hafid mengatakan, “bahwa dalam kamus bahasa Indonesia, kata “poligami” itu mengarah kepada pengertian lakilaki atau perempuan yang beristri atau bersuami lebih dari satu, jika lakilaki beristri lebih dari satu disebut poligini dan kalau perempuan itu bersuami lebih dari saru itu disebut poliandri”.
Aku sebenarnya sudah mengerti istilah tersebut dari buku Islah Gusmian; poligami, poliandri dan poligini merupakan bahasa dan istilah dari kebudayan Yunani; Poligami (poly, apolus = banyak; gamos, gami= perkawinan) poliandri (poly = banyak; Andros = pria) dan poligini (poly = banyak; gini = perempuan). Kita bisa menduga bahwa poligami sudah ada sejak abad ke5 sebelum masehi.
Namun, Tabrani Syabirion waktu memaparkan latar belakang penulisan buku berdalih dan bahwa ia sudah benar menggunakan istilah poligami untuk lakilaki yang beristri lebih dari satu. Menurut Tabrani bahasa poligami sudah jamak digunakan dalam bahasa keseharian kita, Indonesia. “Bahwa bahasa poligami digunakan untuk menunjukkan lakilaki yang beristri lebih dari satu”.
Aku tak terima, ingin menggugah dan ingin mengatakan, “Jika bapak memang mau melihat poligami dari sejarah, sudah seharusnya istilah itu diperjelas dahulu, bagaimana mau melihat sejarah poligami jika bahasa atau istilahnya saja sudah rancu dan tidak mencoba mengarahkan pembaca terhadap bahasa yang dugunakan sejak lama.
Tapi sayang, tak ada kesempatan untuk menggugat meskipun aku sudah angkat tangan lebih duluan. Waktu Tanyajawab terlalu pendek, pertanyaan (bukan gugatan) cuma diberikan untuk empat orang. Ditambah lagi jawaban dari penulis buku yang menjawab pertanyaan mahasiswa terlalu lama dan melebar menjauh dari yang dipertanyakan.
Sebenarnya ada tafsiran kritis yang dilakukan oleh pembanding pertama, Syamsul Bakri. Beliau mengatakan, “bahwa permasalahan poligami itu sudah selesai sejak lama”, walaupun ada beberapa organiasai atau aktivis yang mengbrolkan dan mempermasalahkan kembali, seperti aktivis feminis dan gender”. Menurut Syamsul juga bahwa ada tiga tipe masyarakat dalam memandang poligami, yang pertama, meyakini dan melakukan, kedua, meyakini takut melakukan, dan ketiga, menolak.
Lebih lanjut, Moh Abdul Kholiq Hasan selaku pembanding kedua memaparkan tentang beberapa kesalahan dalam kepenulisan buku yang diterbitkan Teras Publising Jakarta (2016) tersebut, salah
satunya refrensi, menurut Hasan, “bahwa refresnisnya terlalu sedikit, dan kita akan mengalamikesulitan mengetahui sumbersumber dari bacaan penulis buku.” Dan lagi menurut Kholiq Hasan bahwa tidak ada ayat AlQur’an atau Hadis yang secara spesifik memperbolehkan lelaki beristr lebih dari empat atau diperbolehkan istrinya cuman empat saja.
Suasana di Graha semakin panas, obrolan semakin terasa jauh. Aku tetap tak dapat menyampaika kegelisahan untuk mengetahui sejarah poligami. Karena buku yang dibedah sulit untuk aku yakin sebagai mata rantai sejarah yang terlupakan tentang poligami.
Aku pun menyerah, dan keluar lebih dulu sebelum acara ditutup. Buku tidak sudi di koleksi walau dibagi secara gratis. Aku sadar, seminar memang selalu berwaktu dan terbatas walau hanya untuk
*Ach. Fitri
Mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat di Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
No comments
Post a Comment