Dua pertanyaan yang diajukan pengikut Wahhabi tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak mengenal jati diri Rasulullah Saw sekaligus tidak mengerti dalil, apa saja yang termasuk dalil dan bagaimana menggunakan dalil.
Dua pertanyaan tersebut adalah "1. siapakah yang memimpin tahlilan pada saat RASULULLAHU SAW wafat ?. 2. siapakah yang memimpin tahlilan pada saat imam syafi’i wafat ?".
Tidak hanya mengajukan dua pertanyaan, dengan kesombongannya, pengikut wahhabi juga bersumpah bila ada yang bisa menjawab akan belajar Islam kepada yang menjawab.
"nb : Demi Allahu , kalau ada yang bisa jawab pertanyaan saya maka saya akan belajar ISLAM kepada yang bisa menjawabnya.", tulisanya.
Pengikut wahhabi bernama facebook Ummu Aisyah itu mungkin berfikir bahwa pertanyaan-pertanyaannya adalah pertanyaan yang sulit dijawab atau pertanyaan yang tidak mungkin bisa dijawab, dan berfikir pertanyaannya berasal dari kepintarannya. Padahal, perlu diketahui bahwa pertanyaannya itu timbul dari ketidak mengertiannya mengenai istinbath hukum, pertanyaannya itu membuktikan bahwa dia tidak belajar mengenai hukum-hukum Islam dengan benar.
Bila ditanya siapa memimpin tahlilan pada saat Rasulullah wafat? maka jawabnya, tidak ada seorang pun karena Rasulullah tidak di-"tahlilkan" seperti format tahlilan sekarang ini. Mungkin si penanya akan mengatakan "kalau begitu tidak perlu tahlilan karena Rasulullah tidak di-tahlil-kan". Disinilah kesalahan dan ketidak mengertian si penanya mengenai dalil dan penggunaannya.
Disinilah kita harus rela terkuras tenaga kita untuk memberikan penjelasan kepada si penanya bahwa dalil itu dari al-Qur'an dan As-Sunnah (al-Hadits), bukan karena tidak ada perbuatan yang dilakukan sebelumnya oleh Nabi, sahabat, ulama salaf dan lainnya. Biasa diistilahkan dengan al-Tarku.
Disinilah kita harus memberi tahu bahwa hadits/sunnah itu tidak sebatas perbuatan Nabi atau apa yang dilakukan Nabi Saw. Hadits itu definisinya adalah semua yang berasal dari Nabi, baik berupa perbuatan atau yang dilakukan Nabi (fi'liyah), perkataan atau yang disabdakan Nabi Saw (qauliyah) dan yang tidak dilakukan oleh Nabi tetapi Nabi tidak melarangnya atau sesuatu yang mendapat ketetapan dari Nabi (taqririyah).
Disinilah kita harus memberitahukan bahwa bila suatu perkara tidak diperoleh sandaran hukumnya dengan dalil al-Qur'an dan al-Hadits, maka dilakukan dengan cara Ijtihad. Disinilah kita harus memberitahu bahwa Ijtihad itu legal didalam agama, Nabi sendiri yang memberikan legalitasnya.
Ijtihad itu memungkinkan adanya perbedaan. Perbedaan itu sudah terjadi sejak zaman Nabi, sahabat sering berbeda-beda pendapat dalam menanggapi sesuatu. Ulama salaf juga banyak berbeda-beda pendapat.
Dikarenakan dimungkinkan adanya perbedaan inilah yang menjadikan ulama berbeda-beda terkait dalil yang digunakan saat tidak diperoleh langsung dari al-Qur'an dan As-Sunnah (al-Hadits). Ada yang berdalil dengan konsep qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, amal ahlul Madinah (pengamalan penduduk Madinah), pendapat sahabat (qaul shahabi), tradisi (al-'urf), saddu dzari'ah, dan syariat para nabi sebelumnya (syar'u man qablana).
Nah, apakah tahlilan yang dilakukan umat Islam ada dalilnya?. jawabannya adalah ada. Kegiatan tahlilan dinaungi oleh dalil-dalil al-Qur'an maupun al-Hadits, serta dalil-dalil yang lain. Kegiatan tahlilan tidak melenceng dari perkara agama, sebaliknya amaliyah-amaliyahnya merupakan bagian daripada perkara agama, seperti perkumpulan dzikir, membaca al-Qur'an, membaca shalawat, membaca kalimat-kalimat thayyibah, membaca do'a arwah, menghadiahkan pahala kepada yang meninggal, shadaqah dan sebagainya. Semua ini merupakan perkara yang legal didalam agama, bukan perkara yang keluar dari agama. Dengan kata lain, bukan perkara-perkara yang tertolak.
Lalu siapa yang memimpin Tahlilan saat wafatnya Imam al-Syafi'i?. Bila yang dimaksud tahlilan seperti format tahlilan saat ini, tentu saja tidak ada. Tetapi bila yang dimaksud adalah esensi tahlilan, yaitu membacakan do'a dan membacakan al-Qur'an dan lainnya untuk Imam al-Syafi'i yang sudah wafat, maka itu dilakukan oleh kaum muslimin saat itu. Fatwa Imam al-Syafi'i sendiri melegalkan baca al-Qur'an untuk orang yang sudah meninggal.
قال الشافعي والأصحاب: يُستحبّ أن يقرؤوا عنده شيئاً من القرآن، قالوا: فإن ختموا القرآن كلَّه كان حسناً
"Imam al-Syafi'i beserta Ashhab, Ashhab itu maksudnya ulama Syafi'iyah lainnya, mengatakan, dianjurkan membaca ayat atau surah al-Qur'an disisi qubur. Mereka juga berkata, apabila mengkhatamkan al-Qur'an seluruhnya maka itu hasan, bagus. (Imam al-Nawawi, al-Adzkar)
قال الحافظ أبو أحمد بن عدي، قرأت على قبر محمد بن إدريس الشافعي، بمصر على لوحين من حجارة، أحدهما عند رأسه، والآخر عند رجليه، نسبته إلى إبراهيم الخليل، صلى الله عليه وعلى نبينا وسلم، هذا قبر محمد بن إدريس، الشافعي، وهو يشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة حق، وأن النار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن صلاته، ونسكه، ومحياه، ومماته لله رب العالمين، لا شريك له، وبذلك أمر، وهو من المسلمين، عليه حيّ، وعليه مات، وعليه يبعث حيا، إن شاء الله، وتوفي أبو عبد الله ليوم بقي من رجب سنة أربع ومائتين.
al-Hafidz Abu Ahmad bin 'Adi berkata: "saya membaca pada kubur Imam Syafi'i di Mesir pada 2 papan yang terbuat dari batu (nisan), satu disisi kepala beliau dan yang lain berada disisi kedua kaki beliau, nasab beliau bersambung pada Nabi Ibrohim al-Kholil Shallallahu 'alahi wa 'ala Nabiyyina wa Sallam, ini adalah kubur Muhammad bin Idris al-Syafii, dan beliau bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah, yang Tunggal/Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan sesungguhnya surga itu haq (benar adanya), dan neraka itu haq, dan sesungguhnya saat (hari kiamat) itu (pasti) datang tidak ada keraguan lagi, dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan orang yang ada di kubur, dan sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan wafat beliau itu karena Allah Tuhan alam semesta, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan hal itulah beliau diperintah sedang beliau termasuk orang-orang muslimin (yang berserah diri), pada demikian itu beliau hidup, pada demikian itu beliau wafat, dan pada demikian itu beliau dibangkitkan dalam keadaan hidup, Insyaallah". dan beliau wafat pada sisa hari dari bulan rajab tahun 204 hijriyah. (Ibnu Katsir, Thabaqat al-Syafi'iyyin (1/46) )
Imam al-Syafi'i wafat pada tahun 204 Hijriyah. Wafatnya Imam al-Syafi'i membawa kegembaran sekaligus kedukaan mendalam bagi kaum muslimin. Mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah di atas pundak. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk Imam al-Syafi'i (do'a untuk Imam al-Syafi'i). Disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.
قال الربيع: توفي الشافعي ليلة الجمعة بعد العشاء الآخرة بعد ما صلى المغرب، آخر يوم في رجب، ودفناه يوم الجمعة، وانصرفنا، فرأينا هلال شعبان سنة أربع ومائتين، وهكذا قال غير واحد في تاريخ وفاته، أنه سنه أربع ومائتين، وقد تقدم أنه ولد سنة خمسين ومائة فيكون عمره يوم مات أربعا وخمسين سنة، رحمه الله، ورضي عنه
"Imam al-Rabi' berkata: Imam al-Syafii wafat pada malam Jum'at setelah Isya' akhir setelah beliau melaksanakan shalat Maghrib, akhir hari dari bulan Rajab, kami memakamkan di hari Jum'at (setelah 'Ashar), dan kami pergi. Kemudian kami melihat hilal bulan Sya'ban tahun 204 hijriyah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa beliau dilahirkan tahun 150 hijriyah, maka umur beliau dihari wafatnya adalah 54 tahun. Semoga Allah Ta'ala merahmati dan meridlai beliau". (Ibnu Katsir, Thabaqat al-Syafi'iyyin (1/46) )
Mengenai dua pertanyaan orang Wahabi tersebut tidak lain berasal dari pada ketidak mengertiannya terhadap dalil. Mereka mengira dalil itu hanya perbuatan Nabi (fi'liyah) semata. Disamping itu, mereka juga tidak mengerti bagaimana menggunakan dalil. Itu karena mereka adalah orang-orang yang terjebak pada pemikiran tekstualis, semuanya harus serba ada teksnya langsung. Kalau tidak ada teksnya langsung langsung berarti tertolak. Orang semacam ini bukan tafaqqun fiddin tetapi orang yang sering membaca terjemahan semata, tidak ada usaha untuk menggali hukum. Lah?! bagaimana mau berusaha menggali hukum suatu persoalan, caranya saja tidak mengerti.
Kalau menuruti keinginan mereka yang tidak mengerti dalil, maka bukan tidak mungkin pertayaan berikutnya yang muncul adalah siapa yang memimpin tahlilan saat Sayyidah Khadijah, siapa yang yang memimpin tahlilan saat Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthallib wafat, saat para syuhada' Badar dan Uhud wafat, siapa yang mimpin tahlilannya Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdulah bin 'Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Ma'sud, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, Umar bin 'Abdul 'Aziz, Ibnu Abdil Barr, Sufyan al-Tsauri dan sebagainya.
Ibnu 'L Rabassa
No comments
Post a Comment