BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Monday, April 04, 2016

Imam Muslim dan kitab Shahih Muslim

Gambar: republika.co.id
Jakarta, Muslimedianews ~ Nama lengkap Imam Muslim adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Lahir pada tahun 206 H di Naisabur, salah satu kota di Khurasan, Iran. 

Naisabur dalam sejarah Islam, merupakan salah satu kota yaang diperhitungkan sebagai pusat ilmu pengetahuan, politik, dan perekonomian selama hampir 150 tahun dibawah kekuasaan dinasti Samaniyah –yang pemimpinnya disebut Amir dibawah kekuasaan khalifah al-Makmun Harun al-Rasyid dari dinasti Abbasiyah-.
 
Salah seorang sejarawan Islam, Imam Dzahabi, menyebutkan dalam kitabnya al-Amshar dzawatu al-Atsar, bahwa Khurasan adalah tempat berputarnya hadis dan berkumpulnya orang-orang mulia. karena di sana salah satu tempat diperolehnya sanad ‘ali (hadis dengan jalur periwayat yang pendek).

Sejarah mengisahkan bahwa Imam Muslim merupakan orang yang sangat cermat dalam meneliti keotentikan sebuah hadis. Sepanjang hidupnya bahkan sampai detik terakhir ia akan menghembuskan nafas, seluruh waktunya tercurah untuk mengkaji hadis. Seperti diceritakan al-Hakim, bahwa Imam Muslim ditemukan meninggal dalam kamar kerjanya saat sedang meneliti kualitas sanad hadis yang ditanyakan kepadanya saat sedang mengajar. Ia wafat pada tahun 261 H di usianya yang ke 55.

Perjalanannya dalam mengumpulkan hadis terekam dan dibukukan dalam berlembar-lembar buku sejarah. Diketahui dari catatan al-Dzahabi dalam al-A’lam al-Nubala, Imam Muslim pertama kali menerima (sima’) hadis dari gurunya pada tahun 218 H, saat itu ia umur 12 tahun. Tak berhenti sampai disana, untuk mendapatkan hadis yang valid dan autentik, Imam Muslim pergi ke berbagai daerah, di antaranya; Hijaz, Mesir, Syam, Iraq, dan lain-lain, untuk mendengar dan belajar hadis langsung dari gurunya.

Berdasarkan catatan al-Mizzi, salah ulama Ilmu Hadis, dalam Tahdzib al-Kamal, setidaknya ada sekitar 218 orang yang pernah menjadi guru Imam Muslim. Di antaranya; Yahya ibn Yahya al-Tamimi al-Naisaburi, al-Qa’nabi, Ishaq bin Rahawih, Qutaibah bin Said, Imam al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abu Syaibah, Ismail bin Abi Uwais dan lain-lain.

Tak hanya itu, sejarah juga mencatat bahwa Imam Muslim adalah tokoh yang selektif dalam memilih hadis, sekaligus tokoh yang dijadikan referensi untuk penilaian jarh wa ta’dil oleh ulama semasanya dan sampai sekarang. 

Hal itu bisa dilihat dari kekayaan intelektualnya yang telah diwariskan kepada kita berupa kitab Shahih Muslim. Sebagaimana Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Usul al-Hadis mengungkapkan bahwa kitab Shahih Muslim adalah kitab hadis tershahih setelah Shahih Bukhari, di dalamnya terdapat 3033 hadis. Jumlah tersebut adalah hasil seleksi selama kurang lebih 15 tahun dari 300 ribu hadis yang ia kumpulkan dengan cara mendengar langsung.

“Seandainya para ahli hadis menulis hadis selama 200 tahun, maka poros mereka adalah musnad ini.” Kata Subhi al-Shalih, salah satu pujian yang dikutip oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam al-Nubala’.

Sampai saat ini belum ada yang mampu menyaingi kitab Shahih Muslim dari sisi kesistematisan penetapan hadis-hadis, hingga tidak terjadi pengulangan  di sana sini. Yaitu dengan cara merangkum sanad yang banyak menjadi satu. Salah satunya dengan metode at-tahwil. Sehingga hal ini memudahkan para pembaca hadis dalam melihat jalur periwayatan sebuah hadis.

Mengenai hal tersebut diungkapkan oleh Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi’, salah seorang peneliti yang men-tahqiq kitab Shahih Muslim mengatakan, “Kitab Shahih Muslim adalah sebuah kitab yang belum ada yang menyainginya dari sisi sistematika; merangkum jalur hadis tanpa penambahan atau menguranginya, serta menjaga perpindahan sanad yang dapat disatukan tanpa ada penambahan sedikitpun dan beliau selalu berhati-hati dalam menjaga kesalahan lafaz dalam periwayatan hadis baik dari segi matan maupun sanad walaupun hanya sehuruf.”

Kapasitas Imam Muslim sebagai seorang pakar dalam bidang hadis dari segi sanad maupun matan membuatnya selalu ditanyai orang seputar hadis. Seperti soal men-jarah dan men-ta’dil para periwayat, al-Mizzi dalam catatannya mengisahkan bahwa Imam Muslim pernah didatangi orang-orang sekelas Abu Zuhrah dan Abu Hatim yang dikenal sebagai kritikus hadis untuk menanyakan kualitas para periwayat hadis yang hidup sezaman dengannya.

Mengenai ketelitiannya dalam ilmu jarh dan ta’dil, Imam Muslim bahkan memaparkan mengenai pengklasifikasian para periwayat dari jalur sanad yang ia riwayatkan hadisnya. Pengklasifikasian itu memiliki relefansi jika dilihat dari konteks sejarah pada masanya. Sehingga hal itu bisa memudahkan jika ingin mengklarifikasi mengenai hadis-hadis palsu yang berisikan tentang keutamaan suatu kelompok tertentu yang kini banyak tersebar di internet.

Karena kehati-hatiannya pula, setelah menyusun kitab Shahih-nya, Imam Muslim membawa kumpulan catatannya itu ke beberapa ulama hadis terkemuka, di antaranya Abu Zur’ah. Hal ini seperti persaksian Makki bin ‘Abidin yang dikutip al-Mizzi dalam Tahdzib-nya, bahwa ia pernah mendengar Muslim berkata, “Saya pernah perlihatkan kitab Musnad-ku (Shahih Muslim) kepada Abu Zur’ah, maka setiap yang ia isyaratkan kepada saya dalam kitab ini (terdapat hadis-hadis) yang memiliki cacat dan sebab-sebab tertentu maka saya tinggalkan.”  
Oleh karena itu, kita dapati dalam literatur islam banyak sekali pakar Ilmu Hadis yang memuji keluasan ilmu Imam Musim. Seperti Al-Dzahabi dalam kitab Siyar-nya memberikan gelar kepada Imam Muslim dengan banyak gelar. Dia berkata, “Muslim adalah seorang al-imam al-kabir, al-Hafiz, al-Mujawwid, al-Hujjah dan al-Sadiq.” Sedangkan dalam Taqrib al-Tahdzib, Ibnu Hajar mengatakan dia adalah imamnya para penulis (dalam bidang hadis). 





Oleh: Neneng Maghfirah, Peneliti Hadis di El-Bukhari Institute dan Redaktur Bincang Syariah.com

« PREV
NEXT »

No comments