BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Sunday, April 24, 2016

Jihad, Kemunafikan, dan Negara-negara Teluk

Jakarta, Muslimedianews ~ Lahirnya Daulah Islamiyah fil Iraq wa Syam (Daesh) atau yang sering disebut ISIS membuat semua orang di dunia terhantui keganasan dan kegarangan para algojo mereka yang dengan tanpa berdosa memenggal, menembak, membakar orang-orang yang tidak berdosa. Baru-baru ini, simpatisan ISIS di Filipina pimpinan Abu Sayyaf menyandera rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa dan meminta tebusan dengan nominal yang fantastis, 50 juta peso atau setara 14,3 miliar rupiah. Padahal 10 awak kapal Pandu Brahma 12 tidak sedang berperang, apalagi melawan kelompok Abu Sayyaf. Mereka sedang membawa muatan batubara milik perusahaan tambang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sejak Sabtu (26/3/2016). 
Ulah kelompok mereka ini membuat kata jihad berasosiasi negatif. Ketika terdengar kata jihad, jihadis, dsb, maka pikiran kita langsung mengarah pada terorisme. Padahal, dalam literatur keislaman, baik Alquran, Hadis, maupun Fikih, pembahasan tentang jihad menjadi diskusi panjang di kalangan ulama, dan bukan sesuatu yang tabu untuk dibahas. Oleh karena itu, kita tidak perlu takut dengan kata jihad. Namun demikian, kita tidak boleh memahami hadis tentang jihad secara tekstual tanpa merujuk pendapat ulama dan mengkontekstualisasikannya dengan tempat kita berada, dalam hal ini adalah Indonesia. 
Salah satu hadis yang seringkali dipahami secara tekstual dan tidak sesuai dengan konteks Indonesia dan dunia internasional adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah yang mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang mati dan belum pernah berperang atau paling tidak niat berperang, maka orang itu mati dalam keadaan munafik” (HR Muslim). Hadis ini diartikan secara tekstual oleh sebagian kelompok untuk pergi berjihad ke medan perang yang saat ini sedang terjadi di Suriah, Irak atau Palestina. Bila tidak memungkinkan berjihad ke negara-negara tersebut, paling tidak niat saja sudah cukup untuk melepaskan label munafik. Benarkah demikian? 
Muslim menyampaikan pendapat Abdullah bin al-Mubarak dalam menerangkan hadis tersebut. Menurut Imam al-Mubarak hadis di atas berlaku hanya pada masa Nabi saja, tidak dapat diamalkan secara umum. Pada masa Nabi, anjuran jihad merupakan “tren” yang digandrungi para sahabat. Bahkan, sahabat Abdullah bin Umar yang waktu itu masih berusia 14 tahun saja tertarik untuk ikut jihad, namun Nabi melarangnya karena dirinya belum cukup usia. Oleh karena itu, kita tidak perlu khawatir tergolong sebagai orang munafik ketika tidak ada sama sekali niatan untuk berjihad mengangkat senjata. Hadis tersebut tentu menjadi relevan dimaknai secara tekstual apabila suatu saat Indonesia diserang negara lain, dan kita diam saja tanpa melakukan perlawanan mengangkat senjata. 
Oleh karena itu, jihad dalam konteks Hadis Nabi di atas sangat tidak tepat diterapkan di Indonesia bila yang dimaksud jihad itu mengangkat senjata. Mungkin jihad melawan sistem ekonomi kapitalis yang menyebabkan banyak kemiskinan lebih tepat untuk diterapkan di Indonesia. Walaupun demikian, Nawawi dan memberlakukan hadis ini secara umum. Artinya, hadis tersebut dapat diamalkan hingga saat ini, sehingga tidak jarang para dai jihadis yang sering menggunakan hadis ini dalam mengajak para jamaahnya untuk berjihad, bukan hanya mengajak jihad dengan materi, tapi juga jihad dengan kekuatan fisik. Namun permasalahannya adalah kondisi Indonesia saat ini tidak dalam keadaan perang dan stabilitas negara sampai saat ini pun masih aman. Apakah relevan menerapkan hadis ini untuk diterapkan di Indonesia dengan mengangkat senjata? Musuh saja tidak ada, lalu apa yang harus kita perangi?  
Seandainya hadis ini digunakan untuk memotivasi umat Islam Indonesia untuk berjihad di Palestina melawan penjajah Israel pun tidak tepat. Seharusnya, yang lebih dulu membantu Palestina melawan Israel secara militer adalah negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Yordania. Negara-negara inilah yang jaraknya lebih dekat dengan Palestina dan berkewajiban membantunya secara militer. Apalagi dalam kebijakan politik luar negeri koalisi negara-negara Teluk membenarkan mencampuri urusan negara tetangganya yang terancam stabilitas kemanan negaranya akibat pemberontakan atau penjajahan bangsa lain. Buktinya, Arab Saudi bisa meminta bantuan ke negara-negara Teluk lainnya untuk menghancurkan pemberontak Houti Yaman. Faktanya, hingga saat ini belum terdengar langkah signifikan yang mereka lakukan terhadap pembebasan Palestina dari penjajah Israel.  
Sementara itu, sikap Indonesia secara tegas menolak menjalin hubungan diplomasi dengan Israel sebelum negara penjajah ini memerdekakan Palestina terlebih dulu. Bahkan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi melantik Konsul Kehormatan pertama Indonesia di Palestina, Maha Abu-Shusheh, yang berkedudukan di Ramallah pada Minggu, pada (13/03/16). Jadi siapa yang munafik? Kita atau mereka?! Wallahu a’alam.   
Oleh: Ibnu Kharis,  Peneliti Hadis di el-Bukhari Institute dan Redaktur Bincang Syariah.com
   
« PREV
NEXT »

No comments