BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Tuesday, April 26, 2016

Kajian Kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain Karya Imam Hakim al-Naisaburi (321-405 H)

Jakarta, Muslimedianews ~ Keberadaan al-kutub al-sittah, kitab yang ditulis oleh enam orang ulama hadis abad ke-3 hijriah -Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah-, tampaknya belum dapat merangkum semua hadis Nabi, baik secara kualitas, kuantitas, maupun kelengkapan sanad dan matannya. Karena itu ulama hadis pada abad berikutnya -abad ke-4 dan bahkan abad ke-5 hijriah- masih berlomba-lomba mengumpulkan dan memilah-milah hadis melalui berbagai cara yang dianggapnya paling tepat dan sesuai dengan kebutuhan pada masa itu.

Sependek penelitian penulis, jumlah kitab hadis yang ditulis pada abad ini berkisar lebih dari 80 kitab dengan metode dan sistematika penulisan yang cukup beragam. Sebagiannya ada yang sudah dicetak dan sebagian lagi ada yang masih dalam bentuk manuskrip. Hal ini membuktikan bahwa dunia hadis pada masa ini masih menjadi wacana global yang menarik untuk dikaji dan dikembangkan lebih lanjut sebagaimana yang terjadi pada dua abad sebelumnya.

Sebagian muhaddits abad ini ada yang mengikuti metode para ulama sebelumnya sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibn Khuzaimah (w 311 H) lewat karyanya Shahih Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban (w. 316 H) dengan karya Shahih Ibn Hibban, al-Daraquthni (w 385 H) lewat karyanya Sunan al-Daraquthni dan lain-lain. Sebagian yang lain ada juga yang menyusun kitab al-Mustakhraj sebagaimana yang dilakukan oleh Abu ‘Awanah (w 316 H) lewat karyanya Mustakhraj Abi ‘Awanah dan Abu Nu’aim al-Ishbahani (w 430 H) dalam kitabnya al-Musnad al-Mustakhraj ‘ala Shahih al-Imam Muslim dan lain-lain.

Di samping itu, ada pula ulama yang melakukan kritik terhadap hadis-hadis yang dihimpun oleh ulama sebelumnya, baik kritik sanad maupun matan. Kenyataan ini semakin menyemarakkan perkembangan penulisan kitab hadis pada abad ini. Di antara tokohnya adalah Imam al-Daraquthni (w 385 H), Abu Ja’far al-Thahawi (w 321 H) lewat karyanya Musykilah al-Atsar, Ma’ani al-Atsar dan lain-lain. Selain itu ada juga yang menambahkan karya lain berupa kumpulan hadis yang belum terhimpun dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dengan menyusun kitab yang disebut dengan kitab Mustadrak karya Imam Hakim al-Naisaburi. 

Karya yang terakhir ini merupakan satu-satunya kitab yang ditulis dengan nama Mustadrak. Terdiri dari lima jilid besar dengan jumlah halaman lebih kurang 3175 halaman. Babnya berjumlah kurang lebih 50 bab dengan jumlah hadis lebih kurang 8864 hadis. Kalau dilihat kandungan kitabnya maka al-Mustadrak tergolong kitab al-Jami’, yaitu kitab yang menghimpun berbagai tema seperti akidah, hukum, perjalanan Nabi, biografi para Nabi, biografi para sahabat, tafsir, sejarah masa silam, dan perperangan. Kitab ini ditulis oleh al-Hakim menjelang usia tua, yaitu sekitar tahun 373 H, ketika ia berusia lebih kurang 52 tahun. Sejak itulah ia mendiktekan hadis-hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak hingga ia meninggal dunia.

Al-Hakim al-Naisaburi; Pejuang Hadis Sejak Kecil

Dia adalah al-Hafidz Muhammad ibn Abdillah ibn Hamdawih ibn Na’im ibn  Hakim Abu Abdillah al-Dhobi al-Thahmani al-Naisaburi al-Syafi’i yang terkenal dengan sebutan Ibn al-Bayyi’. Ia dilahirkan pada Hari Senin, 3 Rabiul Awwal tahun 321 H di sebuah daerah yang bernama Naisabur dan wafat pada Bulan Safar 405 H. Ayahnya bernama Abdullah ibn Hammad ibn Hamdun, seorang pejuang, dermawan, ahli ibadah, dan sangat loyal kepada penguasa Bani Saman. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ayahnya dekat dengan penguasa dan seringkali membela berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh penguasa Bani Saman.

Al-Hakim dikenal sebagai seorang ilmuan yang kuat ingatannya serta seorang muhaddits. Dia mulai berkenalan dengan dunia hadis melalui metode sama’ (mendengar langsung dari penjelasan syekh) sejak tahun 330 H atau ketika ia berumur 9 tahun. Dia belajar kepada banyak guru dan berkeliling ke daerah-daerah dengan tujuan tak lain dan tak bukan untuk memperkaya ilmu pengetahuannya. Puncaknya ia bisa mengarang beberapa kitab, baik kecil maupun yang besar seperti al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, ‘Ulum al-Hadits wa al-Iklil, Tarekh Naisabur, al-Muzakkina li Ruwah al-Akhbar, al-Takhshis, Madzahib al-Muhadditsin, dan masih banyak yang lain.

Imam Hakim al-Naisaburi mempunyai guru lebih dari seribu orang yang tersebar sejak dari Transoxiana hingga ke daerah-daerah lainnya. Sebagian dari guru-gurunya adalah Muhammad ibn Ali Mudzakkir, Muhammad ibn Ya’qub al-Syaibani, Abi Barr Ahmad ibn Ishak al-Shabaghi, Imam al-Daruquthni, Ibn Abi al-Fawaris, Ibn Hibban dan masih banyak yang lain. Namun dari sekian banyak gurunya maka Imam Daraquthni, Ibn Hibban, dan Abu Ali al-Naisaburi lah yang mempunyai kedudukan tersendiri sehingga sering dipuji oleh al-Hakim. Bahkan setelah selesai menulis Mustadrak, draftnya terlebih dahulu diperlihatkannya kepada Imam Daraquthni.

Al-Hakim dalam Sorotan

Sebagai manusia biasa, tentu seorang al-Hakim tidak akan terlepas dari orang yang memuji atau pun yang mengkritiknya. Hal seperti itu merupakan perkara yang lazim terjadi dalam tradisi ulama hadis dalam ilmu jarh wa ta’dil mereka. Hal ini dibenarkan karena bertujuan untuk menjaga dasar-dasar dan pondasi agama dari rongrongan para pendusta dan perusak agama. Pujian yang diberikan kepada al-Hakim dipandang dari sudut kemampuan ilmiahnya, terbukti dengan banyaknya gelar-gelar yang dinisbatkan oleh para ulama untuknya seperti al-Hakim, al-Hafidz al-Kabir, al-Naqid dan Syakh al-Muhadditsin.

Sedangkan sebagian kritikus hadis lain mengklaim bahwa al-Hakim adalah seorang yang lemah hafalannya. Kritikan itu terbukti lewat perkataannya sendiri sebagaimana yang termaktub dalam Tadzkirah al-Huffadz karya al-Dzahabi. Ketika ditanya oleh seseorang, lalu Imam Hakim menjawab, ”Apabila aku menghafalkan salah satu dari bab (hadits) maka aku harus mengulang-ulangnya, karena umurku yang sudah semakin tua”. Kemudian beliau juga sangat terkenal sebagai orang yang tasahul (mudah) dalam memberikan derajat sahih terhadap sebuah hadis, sehingga banyak kecaman-kecaman dari ulama hadis terhadap sikap ke-tasahul-an tersebut.

Sebagian ulama lain seperti Imam al-Khathib al-Baghdadi mengatakan bahwa Imam Hakim cendrung berakidah Syiah. Khatib dengan sanad yang muttashil kepada Abu Ishak Ibrahim ibn Muhammad al-Armawi menyatakan bahwa Imam al-Hakim telah mengumpulkan beberapa hadis yang dia anggap sahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim, termasuk di antaranya hadis yang mengatakan bahwa “Barangsiapa yang aku (Nabi Muhammad) pemimpinnya, maka secara otomatis Ali juga pemimpinnya”. Padahal banyak di antara ahli hadis mengingkari kevalidan hadis tersebut.

Hal serupa juga disebutkan oleh al-Dzahabi dalam beberapa karyanya, sebagaimana yang ia kutip dari perkataan Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad al-Harawi ketika ditanya oleh Ibn Thahir tentang perihal Imam Hakim bahwa dia adalah seorang yang kredibel (tsiqah) dalam bidang hadis, namun seorang Syiah Rafidhoh. Namun Imam al-Dzahabi berkata setelah itu, “Dia bukan Rafidhoh, akan tetapi hanya orang yang cendrung kepada Syiah”. Begitu juga dalam kitabnya yang lain al-Dzahabi berkata, ”Sesungguhnya Allah menyukai sikap pertengahan, al-Hakim bukanlah seorang Rafidhoh, namun ia hanya seorang yang cendrung Syiah.





Oleh : Yunal Isra, Peneliti Hadis di el-Bukhari Institute dan Redaktur Bincang Syariah.com

« PREV
NEXT »

No comments