Jakarta, Muslimedianews ~ Bom bunuh diri mengguncang Bandara Ataturk, Turki, pada Selasa (28/6/2016) pukul 21.50. Serangan teroris itu menewaskan 36 orang, dan sekitar 147 lainnya terluka. Perdana Menteri Turki mengatakan pelaku bom bunuh diri kemungkinan adalah militan ISIS. Jika benar ISIS pelakunya, tentu umat Islam akan kembali disorot. Meski berkali-kali dikatan terorisme-tak-punya-agama dan ISIS bukan (mewakili keseluruhan) Islam, namun citra Islam yang melekat pada ISIS sukar dihapus.
Melihat sepak terjang ISIS dan kelompok teroris berlabel Islam lainnya, beberapa orang awam bertanya-tanya, apa benar Islam mengajarkan teror? Bagaimana konsep jihad dipahami oleh orang Islam? Lebih luas, ada yang lantas mempertanyakan satu hal mendasar: benarkah agama sumber bencana? Karena memang pelaku teror tidak berasal dari Islam saja, tapi nyaris di semua agama ada. Pertanyaan-pertanyaan serupa itu senantiasa hadir selepas tragedi teror dan seolah tak menemukan jawab.
Charles Kimball, Direktur Religious Studies di University of Oklahoma yang juga seorang pendeta menulis buku berjudul Kala Agama Jadi Bencana. Kimball menengarai setidaknya ada lima hal yang membuat agama jadi busuk dan korup, berubah dari sumber selamat menjadi sumber bencana. Pertama, bila agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, ketaatan buta terhadap pemimpin keagamaan. Ketiga, agama mulai merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke zaman sekarang. Keempat, ketika agama membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang membenarkan cara”. Kelima, manakala agama tak segan menyerukan perang suci.
Apa yang disampaikan Kimball tentang “agama jadi bencana” tentu meresahkan kita. Nahasnya, ciri-ciri itu mudah kita temui belakangan ini. Mereka yang menganut paham takfiri selalu merasa benar dan kerap bertindak di luar batas. Mereka mungkin saja berjubah dan berserban, tapi dengan mudah melarang ini itu dan menghancurkan apa saja yang mereka anggap salah dan haram. Belum lagi mereka yang mengusung semangat kembali ke zaman “keemasan Islam” (yang barangkali tak mereka pahami betul) dengan cara ingin memurnikan segala hal. Parahnya, jika mereka telah berani menghilangkan nyawa orang lain dengan dalih jihad atau apapun.
Soal jihad, menurut Kimball, sebetulnya memiliki makna literal “berusaha” atau “berjuang di jalan Allah”. Sayangnya, ada sejumlah ektremis di kalangan Muslim yang menyerukan dan melakukan tindakan tercela di bawah panji jihad, mereka sebenarnya hanya minoritas kecil dalam tubuh umat Islam. Namun, media massa cenderung tertarik pada peristiwa yang dramatis dan sensasional. Akibatnya, sebagian orang menafsirkan tradisi agama yang besar ini melalui kacamata perilaku kaum ektremis yang sempit. Jihad pun disalahpahami, baik oleh sebagian orang Islam dan mereka yang di luar Islam.
Meski demikian, di tengah dunia yang gelap lantaran teror demi teror, terdapat sedikit terang manakala kita membaca pengakuan para ektrimis yang “bertorbat” di Associated Press. Pengakuan Joko Purwanto misalnya. Lelaki yang menggunakan nama alias Handzollah itu ditangkap dalam serangan tahun 2010 di kamp pelatihan Bashir. Setelah bebas ia berkeyakinan bahwa jihad dengan cara kekerasan tidak dibenarkan di Indonesia, karena umat Islam tidak diserang. Ia juga mencela ISIS yang membunuh dengan brutal dan ngawur.
Handzollah membuat pengakuan: Apa yang saya lakukan di masa lalu adalah sebuah kesalahan. Banyak ajaran Islam dilanggar untuk melakukan jihad, dengan melakukan serangan pemboman di tempat-tempat yang damai seperti hotel, pasar atau tempat umum lainnya yang menewaskan orang yang tidak bersalah.
Mendengar pengakuan Handzollah kita tentu berharap banyak kaum ekstrimis yang terbuka matanya. Mungkin ini klise, tapi kerja-kerja deradikalisasi pada akhirnya tidak hanya jadi tanggung jawab pemerintah belaka. Harus ada peran serta dari masyarakat, mulai dari ulama, ormas Islam, LSM sampai dari mantan ekstrimis. Mereka mesti bahu membahu dan bertungkus lumus agar agama tidak jadi bencana lantaran teror dan teror.
Sumber: Abraham Zakky.
No comments
Post a Comment