Perihal Hukum Membunuh dan Kebebasan Bependapat
Jakarta, Muslimedianews ~ Perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah belaka dalam Islam. Hal itu terjadi bahkan sejak berabad lampau. Hari ini, beda pandangan misalnya tampak pada silang wacana di sejumlah media Islam di internet. Soal boleh tidaknya memilih pemimpin non-muslim contohnya. Terdapat media-media yang getol menyurakan larangan memilih pemimpin non-muslim. Ada pula yang mengatakan bahwa memilih pemimpin non-muslim dibolehkan, selama ia dapat berlaku amanah, jujur, adil, dan membela rakyat kecil. Silang pendapat juga terdapat dalam perkara boleh tidak mengucapkan selamat natal, hukum selfie dan lain-lain.
Sudut pandang yang berseberangan menjadi hal biasa mengingat tafsir atas ajaran Islam tidak hanya satu. Dan siapapun tentu berhak bersuara dan mengutarakan pandangannya di media siber. Termasuk kelompok-kelompok yang memandang Islam secara kaku. Hanya saja menjadi tidak sederhana jika menyangkut penghilangan nyawa orang lain. Belum lama saya mendapati sebuah tulisan di nahimunkar.com berjudul Perintah Membunuh Penghina Allah dan Rasul-Nya. Tulisan itu bersumber dari buku Hartono Ahmad Jaiz yang bertajuk Menangkal Bahaya JIL dan FLA. Inti dari artikel itu: orang-orang yang menghina Allah dan rasul halal darahnya.
Saya tidak ingin menyoroti tulisan itu dari sudut pandang fiqih, menyoal boleh tidaknya membunuh seorang penghina Allah dan rasul. Saya justru ingin memposisikan diri sebagai orang awam yang membaca tulisan tersebut. Apa tanggapan orang-orang awam mendapati tulisan semacam itu? Kira-kira ada dua kemungkinan reaksi: bergidik ngeri sambil membayangkan betapa seramnya Islam dan bingung (atau bahkan salah paham) dengan istilah penghina Allah dan Rasul-Nya.
Sukar membayangkan orang-orang awam membaca hadis yang dikutip dan termaktub dalam tulisan itu: Dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang buta mempunyai ummul walad (budak perempuan yang dipakai tuannya lalu beranak) yang memaki-maki dan mencela Nabi. Ia telah melarang ummul walad tersebut, namun dia tidak mau berhenti. Maka pada suatu malam ia ambil pacul yang tajam sebelah, lalu ia taruh di perutnya dan ia duduki, dan dengan itu ia bunuh dia. Sampai yang demikian kepada Nabi, maka sabdanya: Saksikanlah bahwa darahnya itu hadar.
Mereka yang gegabah bisa jadi dengan sembrono melabeli orang-orang tertentu dengan ‘penghina Allah dan Rasulnya’. Kepada orang-orang yang mereka anggap liberal misalnya. Lantaran pandangan-pandangan yang tidak bisa diterima, mereka menuduh orang-orang JIL sebagai penghina Allah dan Rasul-Nya. Dan karena telah menghina Allah dan Rasul-Nya, orang-orang JIL halal darahnya. Mengerikan sekali jika muncul anggapan serupa itu. Mungkin kekhawatiran saya berlebihan. Tapi tidak menutup kemungkinan bisa terjadi.
Menjelaskan hukum membunuh penghina Allah dan Nabi tentu tidak akan tuntas dalam beberapa paragraf saja. Mereka yang memiliki kedalaman ilmu agama kiranya akan berhati-hati betul mendedah tema membunuh dalam Islam. Menjadi masalah jika terdapat orang-orang yang ‘belajar Islam’ di internet dan membaca artikel serupa itu, tanpa ada bimbingan dari seorang alim. Para pengelola media Islam semestinya lebih arif lagi dalam memilah dan memilih konten. Sebab, alih-alih mencerahkan dan informatif, sebuah tulian justru menyesatkan dan destruktif.
Itulah yang diresahkan oleh banyak orang. Salah satunya oleh Savic Ali, aktivis muda NU. Ketika ramai pemblokiran media Islam radikal, Savic melempar kritik. Menurutnya pemerintah masih kebingungan membedakan prinsip kebebasan berpendapat dari prinsip ujaran kebencian. Savic membuat misal, jika ada orang yang memiliki keyakinan atau pandangan bahwa seseorang boleh dibunuh, halal darahnya, dan ia mengungkapkannya di media sosial, apakah ia dilindungi prinsip kebebasan berpendapat? Bagi Savic, kebebasan berpendapat perlu dipejalas.
Savic mendukung pemblokiran media jika media tersebut bisa dibuktikan memiliki pesan-pesan yang punya intensi untuk mencelakakan atau menyatakan sesuatu yang bisa membuat orang lain celaka. Sebab provokasi sosial dampaknya bisa tidak terkontrol dan harga nyawa jauh lebih mahal. Mengenai apakah pemblokiran itu efektif atau tidak, bagi Savic, itu soal lain. Yang terpenting, ketika ada pelanggaran mesti ada hukuman. Pendapat Savic ini penting perlu kita renungkan kembali.