Bacaan Informatif: Orientasi Masyarakat Muslim dalam Membaca al-Qur’an
Jakarta, Muslimedianews ~ Sebagai wahyu ilahi terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, Al-Qur’an - sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazali - akan senantiasa menjadi wahyu terakhir yang berlaku sepanjang zaman. Abu Zahra, dalam hal ini memberikan komentar “penurunan wahyu memang telah terhenti, namun turunan (interpretasi) dari wahyu itu sendiri belum terhenti”. Pendapat inilah yang menjadi salah satu landasan bahwa al-Qur’an akan selalu relevan dengan segala perubahan kondisi.
Salah satu maqalat Arab mengungkapkan likulli ra’sin ra’yun, yang berarti setiap kepala memiliki pola fikirnya tersendiri. Hal inilah yang juga menjadi faktor fundamental pada terbentuknya banyak madzhab dalam Islam. Meskipun demikian, keragaman itu telah menjadi suatu fitrah dan keniscayaan yang tak terelakkan. Di sisilain, terdapat wajah miris yang timbul dari fenomena keragaman ini. Atas dasar tingkatan penalaran dan pemahaman yang berbeda, dewasa ini terjadi salah-menyalahkan di tengah masyarakat Muslim dengan mengatasnamakan hujjah al-Qur’an dan hadith. Walhasil, keberagaman yang semestinya menjadi fitrah dalam bingkai persatuan, malah berujung pada perceraiberaian yang telah terang larangannya dalam al-Qur’an (Q.S. Ali-Imran: 103). Maka, dengan mengenal lebih dekat pola pembacaan masyarakat Muslim pada al-Qur’an, diharapkan dapat menjadi secercah titik terang untuk melihat perbedaan pandangan dan tingkat pemahaman dalam menelusuri kandungan al-Qur’an.
Sebagai sebuah refleksi, Mortimer J. Adler bersama Charles Van Doren, 70an tahun silam lamanya, telah menulis suatu karya berjudul how to read a book. Di dalamnya, Mortimer dan Charles, diantaranya, memperkenalkan reading for information and reading for understanding as the goals of reading, yaitu pembacaan informatif dan pembacaan pemahaman sebagai dua tujuan aktifitas membaca. Teori diatas, dalam tulisan yang singkat ini, akan menjadi parameter dasar untuk menelisik sedikit lebih dalam terkait fenomena masyarakat Muslim dalam membaca al-Qur’an dewasa ini.
Sebagai sebuah aktifitas, tujuan membaca dapat dikategorikan menjadi dua: untuk memperoleh informasi, dan untuk memperoleh pemahaman. Seseorang yang telah mendapat informasi dari suatu teks, belum tentu dapat memahaminya. Namun, hal ini berlaku sebaliknya. Seseorang yang tengah membaca koran ataupun majalah, dapat memenuhi kapasitas informasinya, tapi belum tentu meningkatkan pemahamannya. Artinya, pada tingkat bacaan informatif, seseorang hanya mengetahui teks sebagai fakta, atau suatu fakta apa adanya (something is the fact). Namun, pemahaman sebagai suatu tujuan membaca adalah untuk mencapai “pencerahan” (to be enlightened).
Pencerahan (enlightenment) hanya dapat diperoleh dengan menjawab pertanyaan “what is it all about” (mengenai apa ini semua?); kenapa suatu hal terjadi; apa hubungan hal ini dengan variabel lainnya; apa persamaan dan perbedaan hal tersebut; serta sejumlah pengajuan pentanyaan lain yang menghimpun suatu informasi. Alhasil, jawaban-jawaban atas pertanyaan itu secara gradual memberikan “pencerahan” yang lebih dalam atas suatu informasi. Karenanya, proses belajar dari aktifitas membaca yang dimaksudkan disini adalah untuk memahami lebih, bukan untuk mengingat lebih. Dengan demikian, kesuksesan seseorang dalam membaca ditentukan oleh sejauh mana dia menerima segala hal yang dimaksudkan penulis melalui tulisannya.
Al-Qur’an, sebagai petunjuk hidup sepanjang masa (long-life guidance), dan hadith, sebagai penjelas al-Qur’an (quranic explanation), merupakan dua pusaka yang sudah barang tentu sarat makna yang dalam nan-agung, serta sangat jauh dari teks informatif yang minim makna, khususnya al-Qur’an. Dalam membernarkan hal ini, sayyidina ‘Ali pernah berkata “dikisahkan pada masa Nabi Musa –‘alaihissalam, penjelasan kitabnya (taurat) sebanyak empat puluh beban unta. Sekiranya Allah mengizinkanku untuk menguraikan penjelasan makna-makna surat al-fatihah, niscaya aku akan melakukannya mencapai jumlah seperti itu”. Teks al-Qur’an yang pada mulanya bersifat informatif – sebagai teks yang dapat dibaca - bertransformasi menjadi teks pemahaman yang luas. Pada tahapan ini, pembaca tengah berupaya untuk mencapai kesetaraan dalam pemahaman (equality in understanding) dengan pemahaman penulis teks karena pada bacaan yang berorientasi pada pemahaman, penulis – dalam hal ini Allah SWT secara mutlak - memiliki superioritas dalam pemahaman. Untuk mencapai tingkat pemahaman dengan menjawab pertanyaan what is it all about, maka, dalam studi al-Qur’an, pembaca diharuskan memiliki sejumlah piranti khusus yang dijelaskan lebih dalam pada disiplin ilmu ulum al-Qur’an.
Di sisilain, dialektika pembaca terhadap teks al-Qur’an tidak terjadi pada bacaan sebagian masyarakat Muslim. Akhir-akhir ini, kita dapat mendengar jargon “kembali pada al-Qur’an dan hadith” didengungkan oleh sebagian kelompok Muslim. Pada hakikatnya, mereka hanya mengutip ulang apa yang dikemukakan oleh teks al-Qur’an. Yang mereka dapati hanya sebatas fakta teks, dan jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri, apalagi tercerahkan (to be enlightened) oleh teks al-Qur’an. Hal ini terjadi – secara disadari ataupun tidak - karena pembaca hanya melakukan bacaan pada al-Qur’an tanpa berusaha menelaah dan mengkaji pertanyaan what is it all about di setiap surat, ayat, bahkan huruf. Alih-alih mengagungkan al-Qur’an melalui aktifitas bacaan informatif pada teks al-Qur’an, pembacaan seperti ini justru menjadi suatu bentuk pengkerdilan atas al-Qur’an. Kenapa hal tersebut dapat terjadi? Karena, pada bacaan informatif, pemahaman pembaca dan penulis berada pada level kesetaraan (equal). Maka apakah al-Qur’an yang relevan sepanjang masa, yang bersumber dari kalam ilahi, dapat disetarakan dengan bacaan teks yang bersifat informatif saja, yang setara dengan pemahaman awal pembaca yang dangkal? Tentu saja hal itu mustahil terjadi.
Ayat 44 dalam surat al-Maidah akan menjadi contoh sederhana bagaimana dua jenis pembacaan diterapkan. Allah berfirman : “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. Sebagian masyarakat Muslim yang secara dangkal dalam memahami ayat ini, dengan ektrem menganggap siapa saja yang tidak menjadikan seluruh ayat al-Qur’an sebagai landasan, maka mereka dihukumi dengan label ‘kafir’. Lebih parah lagi jika pemahaman tersebut, berujung pada tindak kezaliman. Alangkah meruginya, ketika umpatan kata kafir tersebut justru menjadikan sang pengucap menjadi orang kafir itu sendiri karena mengingkari makna hakiki yang dimaksud dari ayat tersebut. Sebagaimana yang telah disampaikan, untuk menggapai makna – setidaknya menuju yang terdekat - sejumlah piranti perlu dipergunakan.
Generalisasi yang terjadi pada pemaknaan ayat di atas, menurut Fakhruddin al-Razi dalam al-Tafsir al-Kabir, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena pendapatnya lemah. Hal itu karena tatkala ayat tersebut bersifat umum, analisa al-Razi menyatakan bahwa ancaman dalam ayat tersebut tidak berlaku pada sebagian kasus; ayat ini berlaku pada saat orang-orang Yahudi mengingkari peristiwa rajam, dan bukan mengingkari hukumnya. Adapun, pendapat sahih dalam analisa al-Razi adalah pandangan ‘Ikrimah. Dalam pandangannya, apa yang dimaksud dengan tidak memutuskan berdasarkan al-Qur’an adalah ketika terdapat bentuk pengingkaran dalam hati, yang disertai dusta dalam kata. Sementara, ketika seseorang mengakui dengan hatinya, serta lisannya juga menetapkan bahwa sesuatu adalah hukum Allah, dia tidak termasuk dalam konteks ayat ini sekalipun dia meninggalkan hukum tersebut atau perilakunya bersebrangan dengan hukum tersebut.
Hal yang patut disayangkan adalah ketika pembacaan informatif pada teks al-Qur’an dianggap mewakilkan makna hakiki dari kandungan ayatnya. Apalagi jika klaim tersebut dibarengi dengan tindakan ektrem yang merugikan. Hal ini, tentunya, sama sekali tidak dapat dibenarkan karena selain terjadi penyalahgunaan makna ayat al-Qur’an, lebih jauh lagi pembacaan model tersebut menjadi suatu bentuk penistaan al-Qur’an itu sendiri. Dalam artian, dengan mengklaim kebenaran ayat al-Qur’an dalam bentuk informasi, secara tidak langsung menyetarakan pemahaman pembaca awam (al-makhluq) dengan penulis (al-khaliq), yang mustahil terjadi. Seyogyanya, mereka yang memiliki bentuk bacaan pada al-Qur’an dengan tipe seperti ini, mulai menyadari bahwa cara yang mereka lakukan untuk membaca (baca: memahami) al-Qur’an belumlah tepat. Maka, sebagai suatu tawaran, model pendekatan bacaan melalui penggunaan pengetahuan klasik oleh para ulama dan pengapdosian pengetahuan positif kemodernenan oleh para ilmuan dapat menjadi salah satu alternatif kerangka metode berfikir yang diharapkan mampu mendekatkan pembaca untuk mencapai makna terdekat atas teks al-Qur’an yang ingin dikomunikasikan oleh penulis (Allah) kepada para pembaca (manusia).
Oleh: Rijal, Alumni Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
No comments
Post a Comment