Memang benar apa yang dikatakan Henry Miller bahwa celah di antara dua paha itu sepele, ilusi belaka. Hanyalah ruang kosong yang tidak ada apa – apanya. Seks sebagai ekspresi paling dangkal bagi manusia sudah umum diketahui manusia. Walaupun menurut Henry Miller seks itu hal yang sepele, namun dapat kita rasakan sendiri bahwa ambisi keinginan untuk seks itulah yang tiada tara dihindarkan.
Perihal seks memang hal sepele, namun yang harus menjadi perhatian penuh adalah keteguhan batin manusia atau iman. Pergulatan antara hasrat seks dengan iman terkadang tidak selalu paten kemenangan yang diraih salah satu diantara keduanya. Sebab Nurcholish Madjid mengatakan bahwa iman itu bukan bersifat statis yang akan terus pada posisinya, tetapi iman itu bersifat dinamis yang kadang kala meningkat dan menurun drastis tergantung kondisi yang kita hadapi. Karena manusia diberi hawa nafsu, maka tugas kita adalah memanejemennya, bukan malah menuhankan hawa nafsu.
“Berciuman” antara mudi – mudi yang berpacaran atau bersenggama dengan kekasih itu sudah menjadi rahasia umum dikalangan pemuda, atau sudah lumrah juga dalam pandangan anak-anak “zaman” yang terkontaminasi “ideologi kelamin”. Kalau paham free sex di dalam kebudayaan liberal hal demikian memang bukanlah penyimpangan seks. Tetapi paham seperti ini mesti dicegah agar tidak mengekspansi di dalam kebudayaan Indonesia.
Fakta lapangan menerangkan kecenderungan bahwa tidak menutup kemungkinan budaya Indonesia akan seperti paham liberal itu. anak – anak usia dini yang sudah “main asmara palsu”, muda – mudi yang berpacaran dengan dalih berta’aruf, yang konsep ta’aruf bagi mereka adalah saling mengenal dan mengetahui. Mengetahui lekukan pinggulnya, ukuran payudaranya, seberapa lembutnya kulit sang kekasih dan hal – hal yang “cinta buta”, karena buta maka merabahlah.
Memang kita muda - mudi modern sangat dipengaruhi oleh ilusi-ilusi kosong tak bernilai. Yang lebih berbahaya adalah jika kita mampu mempengaruhi orang lain untuk memeluk-dalam bahasa Cak Nun- “ideologi orgasme”.
Serangan nafsu dari internal diri dan serangan “kebudayaan modern” dari eksternal nampaknya menjadi penyebab. Kalau sudah begitu, tinggalah menunggu siapa yang menang dalam pergulatann nafsu dengan hati nurani.
Penyimpangan seks bersama orang lain atau “diri sendiri” itu bisa saja melembaga di kehidupan kita. Menjadi hal lumrah atau bahkan menjadi hal pertama yang dipikirkan ketika kejumudan datang. Membuka cabang yang mewadahinya seperti indekos, losmen, dan berbagai tempat lainnya. Itu bukanlah solusi pembebasan kesenangan yang bersifat negatif-sementara.
Menjadi budak keiginan negatif seperti itu sama dengan tidak mampunya kita dalam “menyutradarai” kehidupan kita. Dalam satu kisah Cak Nun pernah melakukan KB alami dengan cara mengendalikan ekor binatang seks itu. Namun dokter mengkritik hal tersebut dengan alasan tidak baik bagi kesehatan dan psikis. Dengan sangat subtansial Cak Nun menjawab hal itu memang tidak sehat jika kita dipimpin oleh gelombang seks. Tetapi jika sebaliknya, maka pengendalian seks itu sama saja dengan memanejemen urusan hidup yang memang masih menyangkut terkait psikologis.
Bagi manusia yang hidup dalam belenggu hasrat seks yang memang menjadi candu yang kuat, maka Cak Nun menganggap bahwa seks hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan diri kita. Ia juga menjelaskan bahwa salah satu bakat yang paling besar dari diri manusia adalah nafsu binatang. Makhluk tingkat ketiga setelah benda dan tumbuhan. Namun manusia menurut Al Ghazali ialah hayyawanunatiq atau hewan yang berpikir, maka berpikirlah sebelum bertindak.
Konklusi yang didapat dari penjelasan di atas bahwa seks adalah sebagian kecil dari kesuluruhan diri kita. Jika keseluruhan diri kita hanya untuk memenuhi hasrat bersenggama, maka kita termasuk pecinta kebudayaan yang dangkal dan berada dalam golongan makhluk tingkat ketiga. Hewan yang berpikir dengan jernih tidak akan memprioritaskan seluruh hidupnya hanya untuk memenuhi hasrat seks.
Oleh karena itu kita perlu melakukan kontrol moral, lingkungan sosial dan transformasi paham liberal yang disebutkan di atas secara continue. Sebab kesenangan sementara yang kita rasakan hanyalah fatamorgana dan kesenangan lahiriah. Sedang manusia memerlukan kebahagiaan yang sejati. Dan perlawanan paling sulit adalah perlawanan terhadap diri sendiri. Hadis Nabi menyatakan: “Jihad paling besar adalah menahan hawa nafsu”.
Oleh : Yusril Mohammad*Wakil Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah UIN Syahid dan Pegiat Forum Diskus KOPI MD