Oleh: Faisol Ramdhoni*
Kata ”ied” berarti ”hari raya”, sedangkan fitr artinya ”kesucian”, penggabungan dua makna tersebut membuahkan makna kesuksesan, keagungan, dan kesucian. Idul Fitri selain sebagai momentum mengumandangkan kalimat takbir dan salat Idul Fitri berjamaah di masjid, juga sebagai aktivitas solidaritas yang berbarengan dengan aktivitas berbagi makan-makanan, silaturahmi, dan saling memaafkan sehingga kesalahan yang lusa yang telah dilakukan bisa kembali menjadi suci kembali. Itu semua sudah cocok dengan budaya Indonesia yakni, ”gotong-royong” dan Bineka Tunggal Ika.
Nilai sosial Idul Fitri pun menuai titik temu dengan nilai-nilai kebersamaan, kebebasan dan kesejahteraan. Namun itu semua masih jauh panggang dari api. Di mana akhir-akhir ini banyak yang mengatasnamakan agama sebagai alasan untuk melakukan kekerasan dan penyesatan antar sesama. Ini berakibat pada nilai-nilai religius seseorang akan luntur dan mengakibatkan perpecahan antarsesama agama. Masih kuat di ingatan, sebelum ramadhan tiba kecemasan demi kecemasan akan terkoyaknya merah putih bersembunyi di segenap hati dan pikiran anak bangsa. Kegaduhan politik yang dibungkus sentimen agama hampir saja meluluhlantakan bangunan kebhinekaan yang ada. Caci maki, hujatan dan ujaran kebencian memenuhi ruang-ruang publik semakin menambah kekwatiran pada perang yang tak berkesudahan.
Namun dikala ramadhan berada di ujung perjalanan dan berada di hari yang fitri, generasi bangsa seperti menemukan oase di gurun yang tandus dan panas. Rasa haus akan sikap saling menghormati dan saling menghargai sedikit terobati. bumi. Perbedaan yang selama ini dipandang sebagai ancaman berubah menjadi sebuah semangat baru yang menguatkan optimisme bahwa merah putih terjaga dari robekan. Hal ini dikarenakan munculnya kembali rajutan persudaraan dan semangat kebhinnekaan di pelbagai daerah di hari yang Fitri.
Mulai dari aksi ratusan pencalang yang menjaga pelaksanaan Sholat Idul Fitri di Denpasar- Bali, Gereja Katedral yang menyediakan lokasi parkir bagi para jamaah Shalat Id di Masjid Istiqlal Jakarta, aksi Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang yang menuliskan surat selamat hari raya Idul Fitri 1438 Hijriah, Meliburkan misa di hari Minggu yang dilakukan oleh Gereja Katolik Maria Ratu Para Rasul Pamekasan dan termasuk kabar adanya rajutan silaturrahmi dan halal bihalal diantara para warga yang selama ini terpisah akibat konflik agama di salah satu kabupaten di Pulau Madura. Kini mereka sudah saling berjumpa, bertegur sapa dan saling memaafkan satu sama yang lain sehingga bisa menjadi modal untuk menguatkan proses proses penciptaan rekonsiliasi yang sedang berlangsung.
Di hari Fitri, publik juga dikejutkan dengan pertemuan segenap jajaran pengurus GNPF MUI dibawah komando Bachtiar Nasir dengan Jokowi di Istana Negara. Sebuah pertemuan yang rasanya tidak mungkin terjadi mengingat sangat kerasnya perkelahian politik yang terjadi sebelumnya. Bahkan cap sebagai kafir dan pembela kafir menjadi menu utama yang disajikan oleh kelompok GNPF MUI yang dikomandani oleh Bachtiar Nasir ini ke Pemerintahan Jokowi. Namun di Hari yang Fitri, caci maki berubah menjadi canda tawa, hujatan berubah jadi pujaan dan kebencian berubah menjadi keakraban.
Di hari Fitri pula, orang orang yang selama ini jarang saling berjumpa karena merantau dipertemukan dalam trasisi mudik dan halal bihalal. Sanak keluarga yang saling berjauhan kembali disatukan dalam nuansa kebahagiaan. Teman dan tetangga yang mungkin selama ini jarang saling berkunjung, di hari yang fitri diajak untuk saling duduk bersilaturrahmi sembari saling mencicipi makanan buatan masing masing.
Tidak hanya itu, makam-makam leluhur,orang tua dan sanak keluarga yang biasanya sepi dan tanpa perawatan kini kembali ramai, bersih dan bertabur bunga. Tempat tempat pemakaman umum penuh sesak oleh para penziarah kubur tanpa harus takut dicap sebagai ahli bid'ah.
Inilah kekuatan hari Fitri yang hanya ada di Indonesia, salah satu Kekuatan Tuhan di nusantara yang mampu menyatukan setiap insan dan mengencangkan kembali kibaran sang Saka Merah Putih di persada Nusantara.
*Penulis adalah Ketua Lakpesdam NU Sampang