Apalagi manusia seperti kita, manusia yang fanatik dengan agama ‘warisan’nya. Anehnya, jika ada orang yang membawa-bawa dalil agama lalu ditunjang dengan penampilannya yang ‘agamis’, tanpa kita kenal sekalipun akan kita takdimi dan muliakan. Tanpa kita tahu bagaimana sosok aslinya, entah garang, preman, penyabar, atau apa? Sunggu benar-benar delusi yang terpedaya.
Karena kita Islam, maka kita identikkan Islam dengan Arab (karena Arab tempat diturunkannya Islam), maka Arab adalah sebaik-baiknya ajaran Islam. Islam diluar Arab dipandang salah, karena kiblatnya ada di sana. Padahal Islam dan Arab sangatlah berbeda. Untuk mengetahui perbedaannya, tanya saja pada mereka, yang selama ini kau agung-agungkan itu, semoga saja mereka tahu.
Dampaknya, orang yang kearab-araban dianggapnya sebagai orang yang paling paham agama. Dialah ‘sebenar-benarnya wakil Tuhan’ yang memahami ajaran agama. Pandangan ini membentuk paradigma holistika, dimana semua yang dilakukannya adalah ‘sah’.
Saking awamnya kita, hal ini dimanfaatkan oleh sebagian orang—saya sebut ‘preman bersorban’ saja—yang secara implisit untuk dijadikan gerombolan-gerombolan pasukannya, atau dijadikan sebagai pelindungnya jikalau suatu saat dia terbuka sosok aslinya (baca: aib).
Entahlah, berapa banyak orang yang terpesona dengan penampilan, karena berjubah yang panjang, sorban yang melilit di kepala seperti ban kendaraan, jenggot panjang; saking panjangnya sampai ‘kera’ bisa memanjatnya, dahi yang hitam karena fluktuasi gesekan karpet, atau pula karena gelar darah biru yang mengiringi namanya. Dan seterusnya... dan seterusnya.
Kita sudah betul-betul tak bisa berpikir waras. Sekalipun ‘preman sorban’ berbuat kemungkaran, atau keburukan atau terbuka aibnya, maka akan kau carikan alasan, beribu-ribu alasan. Bahwa yang dilakukannya benar dan sesuai ‘dalil’. Sebaliknya, jika ‘lawan’nya yang berkata benar sekalipun, maka kau akan carikan ‘dalil’ kesalahan, hingga kau bongkar aib-aibnya.
Padahal, kata orang bijak, “Aku dipandang saleh bukan karena betul-betul saleh, tapi Tuhan menutupi aibku.” Jika kamu terus-terus mencari aib kawanmu, rekanmu, lawan politikmu, maka Allah akan umbar juga aib-aibmu yang justru lebih parah dari keaiban saudaramu itu.
Seandainya saja Allah membuka aib ‘preman sorban’ itu, apakah kau akan tetap menjunjunginya, apakah kau akan tetap bela mati-matian untuk melindungi dari keaibannya? Maka, “Berbahagialah seseorang yang sibuk dengan aibnya sendiri, sehingga dia tak sempat memperhatikan aib orang lain” (HR Bazzar).
***
Kawan, cobalah kita berpikir waras, merenung sesekali saja, benarkah apa yang selama ini kau lakukan dengan ber-taqlid buta pada seseorang karena pernak-pernik yang dipakainya?
Pernak-pernik itu bukanlah jaminan bahwa dia betul-betul saleh. Mungkin karena otak yang ‘terlalu mahal’ (maksudnya kosong, tanpa isi jika dijual berharga mahal karena masih enreyen) hingga kau tak bisa ‘mencerna’ dengan baik apa yang kau lihat, dengar, dan rasakan. Padahal kata Allah, pandangan kita bukan pada baju gamisnya, tapi libasut taqwa (pakaian ketaqwaan).
Orang yang punya libasut taqwa, meraka yang tak pernah minta untuk dihormati, tak pernah mencari perlindungan dari massa, dia hanya berlindung kepada Allah. Tutur katanya yang adem ayem, wajahnya yang memancarkan kesejukan, titahnya yang selalu mengajak kebaikan, tak suka mengkafirkan, hidup toleran, dan memahami relatifitas kebenaran. Orang-orang seperti ini yang luput dari pandangan kita selama ini.
Kawan, sadarlah.! Sorban, gamis, jubah, jenggot, dan pernak-pernik kearab-araban itu bukanlah jaminan bahwa mereka betul-betul pantas dijadikan panutan. Tak ada jaminan bagi mereka terlepas dari dosa dan kesalahan. Maka, janganlah kau mati-matian membela keburukannya. Jika dia salah, bertindaklah kita sebagaimana menghadapi orang salah. Dan sebaliknya, jika tidak salah, maka bertindaklah tetap bijak. Tanpa harus membabi buta akal sehat kita.
Kalau sorban bisa menjamin kesalehan seseorang, maka akan saya pakai sorban itu bukan hanya di kepala, tapi disekujur tubuh. Agar tak hanya kepala yang menjadi ‘nilai’ jual, tapi semua bagian....
Penulis : Thoriq Aziz Jayana