BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Tuesday, July 03, 2018

Alasan Tidak Memasukkan Anak ke SD Islam Terpadu (SDIT)

Muslimedianews.com ~ Umumnya jenjang sekolah dasar yang dikenal adalah SD (Sekolah Dasar), baik negeri (SDN) maupun SD swasta. Unit pendidikan yang setara dengan SD adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI). Apa beda SD dan MI ?. Perbedaan keduanya terletak pada kurikulum atau mata pelajaran yang diajarkan didalamnya yaitu mata pelajaran agama.

SD hanya ada satu mata pelajaran yang mengajarkan keagamaan, sedangkan MI memiliki banyak mata pelajaran agama Islam. Madrasah Ibtidaiyah berada dibawah naungan Kementerian Agama (Kemenag), sedangkan SD berada dibawah naungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Belakangan muncul istilah baru di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan itu SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), yaitu sekolah dasar yang memberikan tambahan jam pelajaran agama, maupun kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan. Beragam istilah lain muncul juga, misalnya SD Islam Plus, MI Plus, dan lain sebagainya.

Munculnya SDIT merupakan sesuatu yang janggal karena Pertama, untuk tingkat pendidikan yang sama sudah ada Madrasah Ibtidaiyah yang memang memberikan pelajaran agama sangat komplek. Kedua, disinyalir adanya upaya mempersempit ruang Madrasah Ibtidaiyah yang notabene lebih banyak dimiliki oleh kelompok muslim mayoritas, Ketiga, SDIT ternyata kebanyakan dikelola oleh kelompok-kelompok Islam tertentu yang berbeda dengan muslim mayoritas.

Dalam perkembangannya, SDIT sudah mulai beragam, tidak lagi mencerminkan suatu kelompok ideologi tertentu karena beberapa sekolah SDIT nampaknya juga ada yang didirikan oleh kalangan muslim mayoritas dengan alasan-alasan tertentu. Sehingga tidak semua SDIT mencerminkan kelompok PKS (misalnya).

Tetapi ada baiknya menyimak alasan kenapa beberapa orang tidak memilih memasukkan anaknya ke SDIT. SDIT yang dimaksud disini adalah SDIT yang dikelola oleh kalangan PKS yang beberapa hari lalu memecat seorang guru karena alasan beda politik, alias tidak memilih calon yang diusung oleh PKS. 

Seorang kompasiane, Doni (2013) mengungkapkan alasannya sebagai berikut:
***
Saya tak tertarik untuk ikut-ikutan memasukkan anak saya untuk sekolah di SDIT manapun, mengapa?
1. Politisasi pendidikan
Sulit mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara JSIT ( SDIT dan SMPIT) dengan PKS. Silahkan cek sendiri mulai dari para pengurus JSIT, pengurus Yayasan di tiap sekolah, hingga para guru dan karyawannya. Bila sudah begini jangan heran bila PKS punya hajat untuk mengerahkan massa maka sekolah-sekolah ini akan mengerahkan baladnya untuk ikut terjun ke lapangan walau di saat jam kerja sekalipun! Padahal isyu yang diangkat banyak yang tidak berhubungan dengan dunia pendidikan, seperti pengerahan massa untuk pilkada, direct selling (istilah untuk menarik massa pemilih dengan cara door to door), Palestina, anti Amerika, dan lain-lain. Stiker, spanduk, baliho calon yang dukung dalam pilkadapun terkadang dapat ditemukan dengan mudah di dalam maupun di sekitar area sekolah. Sampai-sampai ada sebuah SDIT yang taglinenya kelewat maksa dengan mengambil kepanjangan dari PKS menjadi Pintar, Kreatif, Soleh. Luar biasa….kalau sudah begini saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
2. Mahal tapi tak sebanding dengan kesejahteraan karyawan
Mahal itu subjektif, tapi bila harus merogoh kocek di atas 10hingga 25 juta untuk uang pangkal dan SPP mendekati 1 jutaan per bulannya maka bagi sebagan besar masyarakat Indonesia harga tersebut jelaslah mahal. PKS boleh menyatakan sebagai partai yang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Tapi di lapangan, terutama di dunia pendidikan yang dikelola oleh para kader-kadernya hal tersebut jelaslah hanya sebuah ungkapan manis tanpa makna, alias sampah tak berguna. Sebab pada kenyataannya kerja keras guru dan karyawannya yang harus bekerja di atas 8 jam, bahkan harus ikut-ikutan pengerahan massa di arena pilkada segala tidak sebanding dengan gaji yang diterima. Dengan uang masuk dan SPP seperti di atas rata-rata gaji guru-guru SDIT hanya berkisar 1 hingga 2 juta an saja. Oleh karenanya tak heran bila di SDIT lalu lalang guru yang keluar masuk sangat tinggi. Dengan kondisi demikian bisa dibayangkan suasana belajar yang dirasakan oleh para siswa yang sering gonta ganti guru seperti itu.
3. Jadi kendaraan politik
Banyak para pemilik/pengurus yayasan yang menaungi SDIT ini menjadi politisi berkat limpahan uang dari penyelenggaraan pendidikan ala SDIT ini. Tak semuanya memang. Namun ulah oknum-oknum seperti ini ibarat orang yang menari di atas bangkai saudaranya sendiri. Di saat karyawan dan guru sedang kesusahan mereka malah bergelimang kemewahan.

4. Eklusif dan homogen
Alasan ke-4 ini sangat subjektif. Bagi saya anak harus diajarkan menghargai perbedaan sedari kecil. Oleh karenanya biarkan anak berinteraksi dengan ingkungan yang plural, lintas suku, agama warna kulitstrata sosial dan lain-lain. Hal ini tidak akan ditemui di SDIT, karena semua serba eklusif dan homogen (Muslim, menengahatas, perkotaan). Seandainya anak-anak ini telah menamatkan SD dan telah masuk ke jenjang SMP/SMA maka banyak yang “kaget”hingga mereka menjadi sulit berbeda, manja, dan cenderung ingin lepas bebas. Tak jarang alumni SDIT yang begitu memasuki usia remaja malah menjadi anak yang sulit diatur, bandel dan lepas kendali. Mungkin karena terlalu terkekang sewaktu kecilnya.
~Kompasiana/Ibnu Manshur~
« PREV
NEXT »

No comments