BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Friday, April 26, 2019

Hukum Makruh Tidak Berarti Dibenci Oleh Allah SWT

Muslimedianews.com ~ Salah satu yang sering dilebih-lebihkan oleh beberapa ustadz zaman now adalah mengartikan status hukum makruh sebagai "dibenci Allah". Ini arti yang sangat lebay. Yang tepat, makruh adalah himbauan untuk tidak dilakukan tetapi tak mengapa apabila tetap dilakukan.

Apakah Allah membenci hal makruh? Tentu saja tidak, hanya saja pelakunya tak diberi pahala ekstra. Kalau dia meninggalkan hal itu, maka pahala ekstra akan dia dapatkan. Sesimpel itu.

Menaikkan level makruh menjadi "dibenci Allah" yang konotasinya adalah haram, akan membuat amburadul strata hukum taklifi dan akan membuat Rasulullah terlihat melakukan hal yang haram-haram (dibenci Allah). Makan-minum berdiri, kencing berdiri, dan banyak hal lain adalah makruh tetapi Rasulullah pernah melakukannya atau setidaknya mengakui tindakan sahabat yang melakukannya, supaya kita-kita jadi paham bahwa larangan yang ada tidak sampai pada level haram. Ketika kita menaikkan level halal dalam kemakruhan menjadi haram, itu sama saja dengan membuat syariat baru atau merasa lebih hebat dari Rasul.

Perhatikan respon Rasul pada lelaki yang jelas-jelas melakukan kemakruhan besar berupa membatasi diri dengan yang wajib-wajib saja dan meninggalkan seluruh amaliyah sunnah berikut:

أَنَّ رَجُلا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ صَلَّيْتُ الْمَكْتُوبَاتِ وَصُمْتُ رَمَضَانَ وَأَحْلَلْتُ الْحَلالَ وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ لَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَزِيدُ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا (مُسْلِمٌ) 
"Sesungguhnya ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah: Bagaimana pendapat anda apabila Saya salat wajib, puasa Ramadhan, melakukan hal yang halal-halal dan menghindari hal yang haram-haram tanpa sedikitpun saya menambahi hal itu (dengan perbuatan sunnah), apakah saya bisa masuk surga? Rasulullah berkata: ya. Orang itu lalu berkata: Demi allah saya tidak akan menambah sedikitpun dari itu." (HR. Muslim)

Kenapa Rasul tak menegurnya? Ya karena memang tindakan itu tak dosa. Jadi mengapa sebagian dari kita berlebih-lebihan soal hukum makruh padahal Sang Pembawa Syariat santai saja? Dalam riwayat lain, Rasulullah malah mengomentari orang itu demikian: "Siapa yang suka melihat salah satu ahli surga, maka lihatlah lelaki ini". Nah sudah jelas bukan?

Tapi, memang ada beberapa kasus di mana keharaman diredaksikan beberapa ulama dengan istilah "makruh". Kasus-kasus spesial ini biasanya dikenal dengan istilah "makruh tahrim", yakni ungkapan lain dari haram. Inilah makruh yang dibenci Allah itu sebab memang haram. Yang melakukannya bukan hanya tak dapat pahala ekstra tetapi berdosa. Misalnya: Shalat sunnah tanpa sebab pada waktu sehabis subuh sebelum matahari terbit setinggi tombak, beberapa ulama menyebutnya sebagai tindakan makruh, tapi makruh tahrim alias haram.

Apabila kata makruh dimutlakkan, maka arahnya ke makruh yang halal atau biasa dikenal juga dengan istilah makruh tanzih. Makruh hanya bisa dimaknai sebagai makruh tahrim apabila ada keterangan dari ulama yang menyatakan itu bahwa pelakunya diancam dengan dosa atau siksa neraka.

Ada juga kalangan yang mengidentikkan makruh tanzih dengan haram supaya dia dan murid-muridnya meninggalkan itu. Mereka adalah kalangan Shufi yang memang bertujuan menyucikan diri dari segala yang negatif (takhliyah) dan menghiasi diri dengan amal kebaikan (tahliyah). Namun mereka biasanya tak sampai mengharamkan, hanya tak mau saja (berpantang) melakukan itu supaya level spiritualnya cepat naik.

Adagium terkenal kaum Shufi adalah: "Kemakruhan bagi orang awam adalah keharaman bagi orang-orang khusus". Namun, lagi-lagi "keharaman" di sini harus diberi tanda kutip sebab maknanya hanya pantangan pribadi, bukan haram dalam arti dosa. Karena itu, ada ulama Shufi yang membaca shalawat ribuan kali sambil menangis sedih sebab lupa saat keluar dari masjid dia memakai kaki kanan terlebih dahulu. Dia merasa sudah melakukan hal yang sangat tercela, meskipun bagi standar orang awam hal itu biasa.

 Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Intinya: Yuk sebisa mungkin hindari hal makruh supaya dapat pahala ekstra, tapi tak perlu kita menganggapnya dosa atau haram sebab itu terlarang.
« PREV
NEXT »

No comments