BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Saturday, December 21, 2019

Bukti-Bukti Akurat Khilafah versi HT bukan Khilafah Aswaja

Muslimedianews.com ~ APAKAH KHILAFAH VERSI HIZBUT TAHRIR SAMA DENGAN KHILAFAH AHLUSSUNNAH?

Jawabannya adalah TIDAK BENAR.

Mengatakan bahwa khilafah Hizbut Tahrir sama dengan khilafah ahlussunnah adalah bentuk ketidakjujuran ilmu, pemalsuan, kedustaan, penipuan terhadap para awam, dan lebih berbau propaganda daripada kajian ilmiah yang apa adanya.

Banyak aktivis Hizbut Tahrir yang berusaha menciptakan citra bahwa khilafah Hizbut Tahrir itu sama dengan khilafah ahlussunah dengan mengutip penjelasan para fuqoha’ terkait definisi khilafah, hukum menegakkan khilafah, urgensi khilafah, fungsi khilafah, dan semisalnya.

Lalu dengan sejumlah kesamaan itu membuat kesimpulan besar bahwa khilafah Hizbut Tahrir sama dengan khilafah ahlussunah!

Ini adalah generalisasi terburu-buru, gebyah uyah, dan tidak cermat.

Adanya kesamaan pada satu sisi tidak menunjukkan kesamaan mutlak.

Si Dul suka makan pisang.
Monyet suka makan pisang.
Apakah si Dul sama dengan monyet? Tidak bukan?

Lebih obyektif dan jujur jika kita katakan begini,

“Konsepsi khilafah Hizbut Tahrir beririsan dengan konsepsi khilafah ahlussunah. Tidak sama persis. Secara umum tetap beda, bahkan pada hal-hal yang vital dan rawan”

Berkut ini saya akan menjeskan tujuh perbedaan konsepsi khilafah versi Hizbut Tahrir dengan ahlussunah. Dengan gambaran ini kita akan tahu bahwa konsepsi khilafah Hizbut Tahrir sesungguhnya sudah bisa digolongkan konsepsi ahlul bid’ah atau sehalus-halusnya adalah menyebut konsepsi syadz sehingga harus dibuang dan tidak perlu ditoleh lagi.

PERTAMA: Syarat Quraisy.

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa khalifah tidak harus Quraisy. Boleh selain Quraisy. Syarat quraisy bukan syarat in’iqod/syarat sah, tetapi hanya syarat afdholiyyah/keutamaan saja. Ini bukan konsepsi ahlussunah, karena empat mazhab, bahkan zhohiri dan syiah sekalipun sepakat bahwa Quraisy untuk khalifah adalah syarat in’iqod/syarat sah. An-Nawawi bahkan menegaskan bahwa siapapun yang berpendapat bahwa quraisy bukan syarat sah, maka dia itu ahlul bid’ah. An-Nawawi berkata,

هَذِهِ الْأَحَادِيثُ وَأَشْبَاهُهَا دَلِيلٌ ظَاهِرٌ أَنَّ الْخِلَافَةَ مُخْتَصَّةٌ بِقُرَيْشٍ لَا يَجُوزُ عَقْدُهَا لِأَحَدٍ مِنْ غَيْرِهِمْ وَعَلَى هَذَا انْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ فِي زَمَنِ الصَّحَابَةِ فَكَذَلِكَ بَعْدَهُمْ وَمَنْ خَالَفَ فِيهِ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ أَوْ عَرَّضَ بِخِلَافٍ مِنْ غَيْرِهِمْ فَهُوَ مَحْجُوجٌ بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ (شرح النووي على مسلم (12/ 200)
Artinya,
“Hadis-hadis dan semisalnya adalah dalil yang jelas bahwa Khilafah itu khusus untuk Quraisy dan tidak boleh ditegakkan untuk seorang pun selain mereka. Pendapat ini sudah menjadi ijmak sejak zaman sahabat demikian pula sesudah mereka. Siapapun yang berbeda dengan pendapat ini di kalangan ahlul bid’ah atau berpendapat berbeda dari selain mereka, maka itu semua terbantahkan dengan ijma’ sahabat, tabiin dan sesudah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih”


Jadi, berdasarkan fatwa An-Nawawi ini bisa kita katakan konsepsi khilafah Hizbut Tahrir adalah konsepsi ahlul bid’ah bukan ahlussunnah.

KEDUA: Bakuisasi sistem Khilafah

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa khilafah itu adalah sistem pemerintahan yang bersifat baku. Sudah jelas organ-organnya, dan WAJIB mengikuti struktur yang dirumuskan oleh Hizbut Tahrir seperti adanya muawin tafwidh, muawin tafwidh, wulat, amirul jihad, qudhot, jihaz idari dan lain-lain.

nah ini adalah “bid’ah” baru yang diciptakan oleh Hizbut Tahrir.

Tidak pernah ulama sepanjang masa membakukan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Mereka membincangkan hukum mengangkat khilafah, syarat-syarat pemimpin dan lain-lain. Tapi tidak pernah membincangkan khilafah sebagai SISTEM PEMERINTAHAN. Ulama yang sangat serius mengupas hukum-hukum pemerintahan seperti Al-Mawardi sekalipun, dalam kitab beliau Al-Ahkam As-Sulthoniyyah, beliau tidak pernah membakukan sistem khilafah. Malah banyak fokus di kriteria pemimpin yang disebut khilafah itu. Organ-organ pemerintahan yang lain dibahas dalam kapasitas teknis yang hukumnya MUBAH, bukan WAJIB seperti doktrin Hizbut Tahrir.

KETIGA: Bombastisasi khilafah

Hizbut Tahrir membombastiskan khilafah. Membesar-besarkannya. melebaykannya dan menaikkannya ke taraf seolah-olah orang muslim pasti masuk neraka jika tidak bicara khilafah.

Ini bukan sikap ahlussunnah.

Tidak ada ulama ahlussunah sepanjang masa yang membombastiskan khilafah.
Mereka menempatkan isu khilafah secara proporsional, sangat adil, berbasis ilmu dan bashiroh yang tajam.

Saat mereka menjelaskan hukum mengangkat khalifah, mereka menjelaskan apa adanya dan tidak menyembunyikan apapun yang diduga sebagai hukum Allah.

Tetapi hidup mereka tidak dihabiskan untuk khilafah sebagaimana Hizbut Tahrir, yang tiap hari meneriakkan khilafah, men”zikir”kan khilafah, dan menteror kaum muslimin supaya mau ikut membesar-besarkan isu khilafah.

Ketika Utsmaniyyah runtuh, sejumlah ulama Al-Azhar dan berbagai ulama yang lain berusaha menegakkannya kembali dengan membuat pertemuan. Tetapi ketika mereka melihat ada ajzun (kelemahan), ketidak mampuan, kesulitan, dan tantangan yang tidak snaggup diatasi akhirnya mereka berhenti. Tidak membuat muktamar serupa setiap tahun, apalagi menghabiskan umur untuk khilafah sebagaimana jalan hidup Taqiyyuddin An-Nabhani. Mereka pun memilih aktivitas yang lebih produktif untuk umat, mengajar, mendidik dan menelurkan jutaan ulama yang akan tersebar ke seluruh dunia yang akan melanjutkan dakwah Islam di berbagai penjuru bumi. Mereka tidak mau terjebak pada sikap cengeng meratapi khilafah sebagaimana Yahudi yang meratapi kehancuran negaranya.

Sungguh bijaksana dan proporsional sekali sikap ulama-ulama al-Azhar.

Sikap senada bisa kita temukan kepada seluruh sikap ahlussunah sepanjang masa.

Lihatlah An-Nawawi. Saat membahas imamah, beliau menjelaskan dengan jujur hukumnya, tetapi saat Abbasiyyah runtuh di zamannya, tidak pernah satu hurufpun An-Nawawi menulis risalah atau seruan untuk menegakkan khilafah apalagi membombastiskannya seperti Hizbut Tahrir. Andai An-Nawawi waktunya habis untuk khilafah, pastilah tidak muncul karya-karya besar beliau yang bermanfaat sepanjang zaman dna menjadi pelita umat selama berabad-abad seperti kitab Riyadhus sholihin, Arba’in, Al-Adzkar, Al-Majmu;, roudhotu Ath-Tholibin, dan lain-lain.

Cara dakwah Hizbut Tahrir yang membombastiskan khilafah itu bukan hanya berbahaya bagi awam tapi juga merusak potensi orang-orang yang cerdas dan berguna bagi umat. Bagi yang awam, belasan tahun aktif di Hizbut Tahrir akan membuatnya awet dalam kebodohan, karena yang ditahu selama bertahun-tahun tidak pernah beranjak dari seputar wajibnya khilafah dan haramnya demokrasi. Bagi para intelektual, aktif di Hizbut Tahrir juga akan membuat tumpul potensi, karena semua kemampuan diarahkan untuk “menghamba” pada Hizbut Tahrir dan membela Hizbut Tahrir sekuat tenaga. Karena itu, setengah abad lebih Hizbut Tahrir ada, tidak ada satupun orang Hizbut Tahrir yang naik menjadi ulama internasional. Tokoh Hizbut Tahrir hanya laku di kalangan internalnya sendiri. Di luar Hizbut Tahrir ilmunya tidak dianggap.

KEEMPAT: Membesarkan isu khilafah

Sudah diketahui bahwa gerakan Hizbut Tahrir semenjak berdirinya sampai hari ini sangat berambisi untuk membesarkan isu khilafah. Mereka mentarget bahwa khilafah harus dibicarakan semua orang. Ulama atau bukan. Intelektual maupun jelata. Petani maupun pejabat. Mereka merasa bahwa tindakan mereka benar, bijaksana dan bentuk perjuangan memenangkan Islam.

Itu salah. Membesarkan isu khilafah adalah salah satu contoh kesalahan terbesar Hizbut Tahrir.

Gara-gara Hizbut Tahrir membesarkan isu khilafah secara tidak cerdas, maka akhirnya hari ini banyak umat yang salah faham dengan istilah khilafah. Lihatlah betapa banyaknya orang Islam sendiri yang alergi dengan kata khilafah. Ini sama bodohnya dengan orang yang tidak cerdas menggunakan istilah sunah (melabeli semua hal dengan sunah untuk mensortir kaum muslimin agar masuk kelompoknya), sehingga membuat banyak orang Islam sendiri alergi terhadap istilah sunah.

Bukankah ini menjadi beban tambahan bagi dai-dai di luar Hizbut Tahrir? Yah. benar. Nambahi pekerjaan saja. Jadi, dalam hal ini Hizbut Tahrir itu adalah kelompok trouble maker, bukan solusi bagi umat.

Membesarkan isu khilafah adalah “bid’ah” yang diciptakan Hizbut Tahrir yang tidak pernah direkomendasikan ulama-ulama ahlussunah sepanjang masa. Kalau kita lacak sikap ulama- terkait isu khilafah ini, justru ulama-ulama yang cerdas, berpengetahuan luas, bijak sana dan memiliki mata batin yang tajam semuanya merekomendasikan untuk TIDAK MEMPERBESAR ISU KHILAFAH, karena bahayanya jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Saya kutipkan beberapa contoh nasihat mereka.

Perhatikan ucapan Al-Amidi berikut ini. Al-Amidi berkata bahwa soal khilafah itu bukan perkara akidah dan bukan perkara yang harus diketahui setiap mukallaf. Malahan, orang yang menghindar membahasnya lebih bisa diharapkan selamat daripada yang terjun membahasnya. Pembahasan topik ini bisa menimbulkan ashobiyyah, diikutinya hawa nafsu, munculnya fitnah, kebencian, dan menduga yang tidak-tidak seraya mengejek terkait para imam dan generasi salaf. Seburuk ini kondisi yang terjadi pada orang yang membahas soal khilafah dengan level tahqiq dan penelitian serius, lalu bagaimana dahsyatnya keburukan jika yang membahas soal ini adalah para muqollid buta yang tidak paham betul pelik-pelik persoalan ini? Al-Amidi berkata,

وَاعْلَم أَن الْكَلَام فى الْإِمَامَة لَيْسَ من أصُول الديانَات وَلَا من الْأُمُور اللا بديات بِحَيْثُ لَا يسمع الْمُكَلف الْإِعْرَاض عَنْهَا وَالْجهل بهَا بل لعمرى إِن المعرض عَنْهَا لأرجى حَالا من الواغل فِيهَا فَإِنَّهَا قَلما تنفك عَن التعصب والأهواء وإثارة الْفِتَن والشحناء وَالرَّجم بِالْغَيْبِ فى حق الائمة وَالسَّلَف بالإزراء وَهَذَا مَعَ كَون الخائض فِيهَا سالكا سَبِيل التَّحْقِيق فَكيف إِذا كَانَ خَارِجا عَن سَوَاء الطَّرِيق (غاية المرام في علم الكلام (ص: 363)
“Ketahuilah bahwasanya membicarakan imamah/Khilafah itu tidak termasuk perkara akidah, dan bukan termasuk perkara yang harus dibahas yang mana seorang mukallaf tidak boleh mengabaikannya atau tidak mengetahuinya. Malahan, sungguh orang yang menghindar untuk membahasnya lebih bisa diharapkan selamat daripada orang yang masuk dalam pembahasan tersebut. Sebab, pembicaraan khilafah itu jarang sekali terbebas dari sikap ta’asshub/fanatisme, hawa nafsu, berkobarnya fitnah, kebencian (permusuhan) dan menduga-duga terkait hak Kholifah dan generasi salaf dengan cara mengejek. Ini yang terjadi pada orang yang masuk pada isu tersebut dengan kualitas peneliti (ahli tahqiq). Bagaimana coba kondisi orang yang keluar dari jalan yang lurus? (Ghoyatu Al-Marom Fi ‘Ilmi Al-Kalam, hlm 363)

Perhatikan juga nasihat Al-Ghozzali berikut ini. Kata Al-Ghozzali, pembahasan khilafah/imamah itu bukan persoalan akidah. Pembahasan ini bisa memicu ashobiyyah (terbukti sangat banyak terjadi di lapangan betapa orang ketika membahas soal kepemimpinan politik ini, banyak yang berjuang memenangkan dan membela kelompoknya dan afiliasinya dengan cara-cara yang sangat jauh dari etika dan akhlak islami. Akibatnya yang terjadi adalah ketegangan, buruk sangka, caci maki, permusuhan, dan perpecahan). Menghindar untuk membahas khilafah lebih selamat daripada terjun membahasnya, bahkan meski pembahasan tersebut benar! Jika seperti ini bahayanya orang membahas khilafah dengan benar, bagaimana dengan orang yang sampai keliru menjelaskan masalah ini?! Al-Ghozzali berkata,

النظر في الإمامة أيضاً ليس من المهمات، وليس أيضاً من فن المعقولات فيها من الفقهيات، ثم إنها مثار للتعصبات والمعرض عن الخوض فيها أسلم من الخائض بل وإن أصاب، فكيف إذا أخطأ (الاقتصاد في الاعتقاد للغزالي (ص: 127)
“Mengkaji imamah/khilafah bukan termasuk pembahasan akidah. Ia juga bukan termasuk bidang ma’qulat (kajian rasional). Ia lebih tepat digolongkan pembahasan fikih. Kemudian, ia bisa memicu sikap ta’asshub/fanatisme. Orang yang menghindar membahasnya lebih selamat daripada orang yang terjun mengupasnya meski dia benar. Bagimana jika dia salah, coba?” (Al-Iqtishod fi Al-I’tiqod, hlm 127)
Perhatikan juga nasihat Al-Juwaini ini. Kata Al-Juwaini, pembahasan khilafah itu bukan pembahasan akidah. Bahaya yang timbul pada orang yang tergelincir dalam pembahasan ini lebih besar daripada bahaya pada orang yang jahil terhadap dasar-dasarnya. Al-Juwaini berkata,

الكلام في هذا الباب ليس من اصول الاعتقاد والخطر على من يزل فيه يُربي على الخطر على من يجهل أصله
“Pembicaraan tentang topik ini (Khilafah/Imamah) bukan termasuk pembahasan dasar-dasar akidah. Bahaya bagi orang yang tergelincir dalam bahasan itu melebihi bahaya bagi orang yang tidak mengerti dasar pembahasannya” (“Al-Irsyad fi Ushul Al-I’tiqod”, hlm 316)

Perhatikan juga nasihat Asy-Syahrostani ini. Senada dari Al-Juwaini, Asy-Syahrostani juga menasihatkan bahwa khilafah itu bukan soal akidah. Tidak mungkin mencapai keyakinan dalam pembahasan ini. Bahaya orang yang terjun dalam topik ini melebihi bahaya orang yang tidak tahu dasar-dasar pembahasan ini. Seringkali orang ceroboh saat membahas topik ini karena banyak mengikuti hawa nafsunya. Akibatnya, orang jadi susah bersikap inshaf/adil dalam membahasnya. Asy-Syahrostani berkata,

اعلم أن الإمامة ليست من أصول الاعتقاد بحيث يفضي النظر فيها إلى قطع ويقين بالتعين ولكن الخطر على من يخطي فيها يزيد على الخطر على من يجهل أصلها والتعسف الصادر عن الأهواء المضلة مانع من الإنصاف فيها (نهاية الإقدام في علم الكلام (ص: 168،)
“Ketahuilah bahwasanya Imamah/Khilafah itu bukan persoalan akidah, yang mana kajian terhadap itu ini akan mengantarkan pada kesimpulan yang qoth’i dan yakin secara pasti. Malahan, bahaya bagi orang yang melakukan kesalahan dalam topik ini melebihi bahaya orang tidak tahu topik ini sama sekali. Kecerobohan yang muncul dari hawa nafsu yang menyesatkan menghalangi untuk bersikap inshof/adil dalam topik ini” (Nihayatu Al-Iqdam fi ‘Ilmi Al-Kalam hlm 168)

Membesarkan isu khilafah itu tidak bijaksana. Potensi pertumpahannya sangat besar. Membuat berdosa karena bisa mencaci generasi salaf (salah satu bukti besarnya adalah cacian Taqiyyuddin An-Nabhani terhadap Mu’awiyah). Membuat orang fanatik nan ashobiyyah, dan lain-lain. Isu khilafah itu tidak boleh dibesarkan. Awam dilarang ikut bicara. Cukup ulama-ulama di forum khusus saja. Kalau awam dibiarkan bicara khilafah seperti hari ini, maka umat makin gaduh dan musuh-musuh Islam punya senjata kuat untuk merusak persatuan umat secara sistematis.

KELIMA: Kejumudan menerapkan khilafah

Sudah diketahui jika Hizbut Tahrir keras kepala soala khilafah ini. Pokoknya khilafah dan harus khilafah. Semua selain khilafah dijelek-jelakkan dan dibatil-batilkan serta dikufur-kufurkan. Saudi Arabia dan Brunei Darussalam yang jelas berasas Al-Qur’an dan hadis sekalipun tidak ampun disebut negeri kufur!

Dalam definisi mereka, selain khilafah adalah negeri kufur.

Ini adalah sikap kepala batu, tidak solutif, bukan sikap ahlussunah, dan dalm kasus tertentu akan sangat merugikan umat Islam.

Coba bayangkan, tahun 1945 Indonesia ada kesempatan merdeka, kemudian Hizbut Tahrir hadir di zaman itu. Apa kira-kira yang diteriakkan Hizbut Tahrir?

Jelas, Hizbut Tahrir akan meneriakan nasionalisme haram, tegakkan khilafah! Apakah kelihatan kekonyolannya? Anda bisa membayangkan bahwa Hizbut Tahrir di zmaan itu akan menajdi elemen umat Islam yang paling buruk sikapnya karena menjegal perjuangan para ulama indonesia. Belandapun pasti akan senang dan orang-orang seperti Hizbut Tahrir ini pasti akan dipelihara penjajah, karena menguntungkan penjajahan!

Ulama-ulama ahlussunah lebih lembut, proporsional, luwes, tidak jumud dan tidak kaku terhadap khilafah. Mereka mengakui bahwa imam a’zhom itu kondisi ideal. Tapi kalau tidak mampu ya ndak usah dipaksakan. Semampunya saja. Apalagi jika pendirian itu menumpahkan darah, maka sedapat mungkin pasti akan dihindari. Oleh karena itu ketika Abbasiyyah runtuh dan muncul negara Mamalik, para ulama ya slow-slow saja, tidak mengkufur-kufurkan Mamalik gara-gara tidak mendirikan khilafah. Ketika di Turki muncul Daulah Utsmaniyyah (sebelum ngaku khilafah), mereka ya slow-slow saja, tidak mengkufurkan Turki Utsmani. Ketika tumbuh banyak kerajaan Islam di Indonesia dengan kekuasaan masing-masing, para ulama juga tidak menyinyiri apalagi mengkufurkan mereka. Itulah kenapa saat terbentuk negara Indonsia, ulama-ulama salih bisa menerimannya. Misalnya HAMKA. Bahkan beliau bersedia menjadi ketua MUI. A. Hassan yang demikian keras sikapnya terhadap nasionalisme juga melunak. Demikian pula ulama-ulama NU maupun Muhammadiyyah.

ini menunjukkan bahwa sikap jumud khilafah ini adalah sikap Hizbut Tahrir, tidak mewakili ulama-ulama ahlussunah dan bersifat merusak.

KEENAM; Wajib menegakkan khilafah dengan 3 tahapan

Hizbut Tahrir berpendapat bahwa menegakkan khilafah itu wajib menempuh tiga tahapan,
1.Tatsqif (pembinaan)
2.Tafa’ul (interaksi)
3.Istilamul hukmi (menerima kekuasaan)

Namanya wajib, jika tidak dilakukan maka berdosa, dan tentunya masuk neraka.

Ini juga contoh lain “bid’ah” yang diproduksi Hizbut Tahrir yang tidak pernah diucapkan ulama ahlussunah manapun sepanjang masa. Coba teliti mulai zaman Rasulullah ﷺ sampai tahun 2019 ini, adakah ulama ahlussunah yang berpendapat seperti Hizbut Tahrir?

Pendapat Hizbut Tahrir ini ngeri menurut saya. Karena secara implisit me-NERAKA-kan semua orang tua dan kakek-kakek kita di Indonesia yang tidak bergabung dengan Hizbut Tahrir. Bahkan menerakakan HAMKA. K.H.Hasyim Asy’ari, K.H.Ahmad Dahlan dan lain-lain.! Semua masuk neraka kecuali Hizbut Tahrir!

KETUJUH: Wajib membentuk parpol untuk tegakkan khilafah dan mengawasi khilafah

Hizbut Tahrir berpendapat fardu kifayah hukumnya membentuk partai politik Islam berdasarkan Surah Ali Imrah: 104. Kata Hizbut Tahrir tugas parpol ini sebelum ada khilafah adalah menegakkannya sementara jika sudah ada khilafah tugasnya adalah mengontrol khilafah secara politik.

Ini juga termasuk pendapat “bid’ah Hizbut Tahrir.

Tidak ada ulama ahlussunah yang berpendapat seperti ini. Silakan baca seluruh tafsir dan sebutkan satu saja ulama ahlussunah yang berpendapat lugas bahwa mendirikan partai politik Islam itu wajib seperti pikiran Taqiyyuddin An-Nabhani dan Hizbut Tahrir. Tentu tidak ada.

KESIMPULAN
khilafah Hizbut Tahrir berbeda dengan khilafah ahlussunah. Upaya apapun menyama-nyamakan keduanya adalah bentuk ketidakjujuran ilmu, pemalsuan, kedustaan, penipuan terhadap para awam, dan lebih berbau propaganda daripada kajian ilmiah yang apa adanya.

Oleh karena itu, saya saya mengingatkan kepada aktivis jelata Hizbut Tahrir. berhati-hatilah dengan elit-elit Hizbut Tahrir, sebab mayoritas dari mereka bukan orang-orang yang jujur dalam ilmu dan dien.

Wallahua’lam

Ust. Mu'afa


https://web.facebook.com/anwar.roy.562/posts/169763890909525?comment_id=169811327571448&notif_id=1576809391441673&notif_t=feedback_reaction_generic
« PREV
NEXT »

No comments