Muslimedianews.com ~ Tidak ada satupun tokoh-tokoh Hizbut Tahrir maupun anggota biasa yang bisa digolongkan ahli hadis semenjak Hizbut Tahrir didirikan sampai hari ini. Taqiyyuddin An-Nabhani bukan, Abdul Qodim Zallum bukan, Atho’ Abu Ar-Rasytah apalagi.
Taqiyyuddin An-Nabhani jelas muqollid dalam hadis. Bukti utamanya adalah cukup banyak hadis dhoif yang bertebaran dalam kitab-kitab tulisan beliau. Bukan hanya dhoif, tapi juga ada hadis yang tidak ada asalnya (laa ashla lahu) seperti riwayat “syathro dahriha” yang sempat “bersemayam” di syakhshiyyah 3, lalu pada edisi revisi tiba-tiba dibuang tanpa penjelasan secara bertanggungjawab oleh editornya. Malahan saya pernah membaca dalam syakhshiyyah 2 riwayat yang jelas tergolong maudhu’, hanya saja saya belum ada kesempatan untuk melacak kembali lokasinya. Riwayat palsu ini dalam edisi revisi juga sudah dibuang, lagi-lagi tanpa keterangan. Semua ini menunjukkan Taqiyyuddin An-Nabhani bukan ahli hadis, tapi hanyalah muqollid hadis.
Memang benar Taqiyyuddin An-Nabhani menulis sejumlah kaidah ilmu-ilmu hadis dalam syakhshiyyah 1 dengan disertai tarjih pada beberapa persoalan, tetapi karya semacam itu tidak menunjukkan beliau ahli hadis, karena mengerti sejumlah kaidal ulumul hadits tidak serta merta membuat orang menjadi ahli hadis. Mirip orang yang mengerti nahwu shorof yang tidak serta merta menjadi pakar bahasa yang mengerti segala macam seluk beluk bahasa sampai seakar-akarnya.
Abdul Qodim Zallum keilmuannya jelas di bawah Taqiyyuddin An-Nabhani. Tidak ada reputasi apapun yang menunjukkan Abdul Qodim Zallum pakar atau minimal mendalami ilmu ini.
Yang paling parah adalah Atha’ Abu Ar-Rasytah.
Saya sempat berhusnuzhon bahwa level kedalaman ilmu hadis Atho’ Abu Ar-Rasytah adalah di atas rata-rata syabab Hizbut Tahrir Indonesia. Akan tetapi setelah membaca tulisan resminya, hancur leburlah husnuzhon itu dan akhirnya saya menyimpulkan bahwa “orang ini tidak terlalu mengerti sEluk beluk ilmu hadis”.
Kaget?
Mari saya buktikan.
Pada suatu hari Atho Abu Ar-Rasytah ingin membela riwayat At-Thobari yang menceritakan kisah perintah Umar membunuh Shahabat jika belum sepakat mengangkat kholifah dalam waktu tiga hari. Riwayat ini dianggap penting karena menjadi dalil utama batasan waktu penegakan khalifah maksimal 3 hari.
Tulisan Atho’ Abu Ar-Rasytah bisa dibaca di sini, https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/143243189206094/?type=3
Dalam tulisan di atas, Atho’ menegaskan bahwa Qotadah meriwayatkan DARI ABU MIKHNAF. Perhatikan tulisan Atho’ Abu Ar-Rasytah,
فإن قتادة روى عن (أبي مخنف وشهر بن حوشب)
Qotadah dalam riwayat Ath-Thobari di atas yang dimaksud adalah Qotadah bin Di’amah As-Sadusi yang lahir tahun 60 H dan wafat setelah tahun 110 H. Adapun Abu Mikhnaf, ia wafat tahun 157 H tapi tahun lahirnya tidak diketahui.
Lalu Atho Abu Ar-Rasytah mengatakan bahwa Qotadah meriwayatkan dari Abu Mikhnaf!
Coba kita pikir. Bagaimana mungkin orang yang wafat setelah tahun 110 H meriwayatkan dari orang yang wafatnya tahun 157 H?
Memang mungkin saja ada akabir meriwayatkan dari ashoghir, tapi ini juga perlu data. Tidak hanya asumsi dan kira-kira. Untuk kasus Qotadah mengambil riwayat dari Abu Mikhnaf, itu kemungkinan jauh secara logika, karena usia Abu Mikhnaf terlalu muda untuk diambil riwayatnya.
Lagipula, ulama hadis seketat Qotadah, mustahil mengambil riwayat seorang syiah rofidhi seperti Abu Mikhnaf yang disebut pakar hadis dengan ungkapan “haalik” (binasa) . Selevel Abu Hanifah saja tidak diambil riwayatnya dalam hadis oleh Al Bukhari dan pakar hadis lainnya, apalagi Abu Mikhnaf yang jauh lebih buruk dari itu.
Lagi pula, tidak ada dalam daftar guru2 Qotadah yang bernama Abu Mikhnaf. Lagi pula tidak ada satupun ahli hadis yang mengatakan Qotadah pernah meriwayatkan satu riwayatpun dari Abu Mikhnaf.
Mengapa Atho Abu Ar-Rasytah terjatuh dalam kesalahan fatal seperti ini?
Minimal ada tiga penyebabnya,
Pertama: Atho’ tidak mengenal sighat sanad dalam tarikh At-Thobari
Kedua: Atho’ tidak kenal perawi-perawi yang disebutkan dalam sanad riwayat Ath-Thobari
Ketiga; Atho tidak tahu kaidah baku dalam mensahihkan dan menghasankan hadis
Penjelasan poin pertama,
Sanad dalam riwayat Ath-Thobari itu sebenarnya ada 3 sanad yang digabungkan satu. Hanya orang yang mendalami hadis yang jeli dan tahu soal pelik seperti ini. Coba kita periksa sanadnya sebagai berikut,
حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ شبة، قال: حدثنا علي بن محمد، عن وَكِيعٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيِّ، عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عن قتادة، عن شهر بن حوشب وابى مِخْنَفٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلٍ وَمُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَيُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ الأَوْدِيِّ (تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري (4/ 227)
Dalam sanad di atas, sanad pertama adalah,
-حدثني عمر بن شبة قال حدثنا علي بن محمد عن وكيع عن الأعمش عن إبراهيم
Sanad kedua adalah,
– و (حدثني عمر بن شبة قال حدثنا) محمد بن عبدالله الأنصاري عن ابن أبي عروبة عن قتادة عن شهر بن حوشب
Sanad ketiga adalah,
– و(حدثني عمر بن شبة قال حدثنا علي بن محمد) عن أبي مخنف عن يوسف بن يزيد عن عباس بن سهل ومبارك بن فضالة عن عبيد الله بن عمر ويونس بن أبي إسحاق عن عمرو بن ميمون الأودي
Perhatikan wawu dalam deretan nama-nama di atas. Jangan dikira itu tidak ada maknanya. Wawu di situ sangat penting karena menunjukkan sanad yang berbeda yang disambung seolah satu sanad.
Oleh karena Atho’ tidak mengerti pelik-pelik sanad seperti ini, maka dikiranya itu satu sanad saja sehingga membuat kesimpulan fatal bahwa Qotadah meriwayatkan dari Abu Mikhnaf!
Itu juga sama fatalnya ketika menyimpulkan Syahr bin Hausyab mengambil riwayat dari Yusuf bin Yazid.
Kalau dikupas lagi lebih dalam satu-satu perawi, akan semakin banyak kesalahan tersingkap dari Atho’ Abu Ar-Rasytah.
Penjelasan poin kedua,
Saya meyakini Atho’ Abu Ar-Rasytah tidak kenal perawi-perawi yang ada dalam sanad riwayat Ath-Thobari di atas. Yang dilakukan Atho hanyalah mencari data salah satu perawi, yang kira-kira bisa ditemukan tergolong tsiqoh, lalu kemudian menipu para awam dengan data tersebut. Buktinya coba di baca pada tulisannya. Atho’ Abu Ar-Rasytah hanya berusaha membuktikan bahwa Syahr bin Hausyab ada ulama hadis yang mentsiqohkan (seraya menyembunyikan ulama yang mendhoifkannya). Perawi-perawi lainnya Atho’ MENUTUP MATA! Padahal di situ ada Yusuf bin Yazid dan Abbas bin Sahl yang tergolong perawi majhul.
Rupanya Atho’ memang tidak tahu perawi ini majhul sehingga dikira sanad itu aman-aman saja. Padahal satu perawi majhul saja sudah cukup untuk menolak matan riwayat karena kita tidak tahu perawi tersebut pendusta atau tidak dan kita juga tidak tahu apakah perawi itu dhobith atau tidak, maka bayangkan jika ada dua perawi majhul dalam satu sanad. Perawi yang ma’lum saja masih terancam inqitho’ jika tidak bisa dibuktikan liqo’ dan atau ‘alaqohnya, maka bayangkan dengan level inqotho’nya jika perawinya majhul.
Penjelasan poin ketiga,
Saya juga yakin Atho’ Abu Ar-Rasytah tidak terlalu mengerti kaidah mensahihkan atau menghasankan hadis. Bagaimana bisa membuktikan salah stau perawi sebagai perawi tsiqoh ,yakni Syahr bin Hausyab (itupun klaim yang tidak benar karena banyak ulama yang mendhoifkannya) lalu hendak digiring menuju kesimpulan bahwa riwayatnya sahih/hasan?
Membuktikan kesahihan hadis itu ada tahap-tahapan panjangnya, dan hanya ahli hadis yang sanggup melakukannya, bukan orang-orang yang baru tahu satu-dua hal tentang ulumul hadist.
Pertama-tama; Selidiki dulu semua perawinya tsiqoh apa tidak. Jika tuntas di tahap ini, maka informasi maksimalnya hanya bisa dikatakan “ruwatuhu/rijaluhu tsiqot” (para perawinya tsiqot)
Kedua; Selidiki ketersambungan semua perawi. Cek betul masa hidup antar dua perawi mungkin ketemu apa ndak. Setelah itu cek, ada informasi liqo’ mereka ada apa tidak. Lalu cek domisilinya, apakah mungkin saling bertemu. Lalu cek juga adakah ‘alaqoh guru-murid dan seterusnya. Jika tuntas di tahap ini, maka informasi maksimalnya hanya bisa dikatakan “isnaduhu shahih/hasan”
Ketiga, selidiki apakah sudah bebas dari syadz, yakni pertentangan dengan sanad dan matan riwayat lain yang lebih kuat. Untuk mencapai level ini, maka harus punya wawasan yang sangat luas terhadap perbendaharaan hadis. Karena tidak mungkin bisa membandingkan dan meneliti jika tidak tahu hadis-hadis yang lain yang jumlahnya ratusan ribu itu.
Keempat, selidiki apakah sudah bebas dari illat baik pada sanad dan matan. Ini yang paling sulit karena lebih lembut daripada menyelidiki syadz. Zhohir sanad bisa saja “sehat”, misalnya pakai lafaz “haddatsana”, tapi jika perawi yang mengatakan itu mudallis, maka ini bermakna sanadnya berillat. Ini belum membahas perawi2 yang dikenal suka mencuri hadis dan lain-lain. Zhohir matan bisa jadi “sehat”. Tetapi dengan interaksi yang sangat intens terhadap hadis, ahli hadis bisa membedakan mana ucapan nabi dan bukan. Seperti ahli hadis yang bisa membedakan ucapan Al-Hasan Al-Bishri dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم sehingga menghukumi hadis berillat, padahal sanad dan matannya zhohirnya “sehat”.
Akhirnya, setelah melihat fakta yang terang benderang seperti ini, yakinlah saya bahwa Atho’ Abu Ar-Rasytah ini memang TIDAK TERLALU MENGERTI ILMU HADIS. Ada banyak ustaz Indonesia yang kemampuan hadisnya jauh lebih baik daripada Atho’ Abu Ar-Rasytah. Karena kasus ini pulalah, husnuzhon saya terhadap kemampuan ilmu hadis elit-elit pusat Hizbut Tahrir menjadi hancur lebur.
Awam Hizbut Tahrir saya yakin tidak akan pernah mengerti kenyataan sepedih ini, Akan tetapi bagi yang pernah belajar hadis, meski tidak sampai sangat mendalam, insya Allah akan bisa merasakan betapa informasi ini bagaikan petir menggelegar di siang bolong karena menyingkap hakikat perih tentang Amir Hizbut Tahrir yang dielu-elukan anggota Hizbut Tahrir itu.
KESIMPULAN
Jadi, di tubuh Hizbut Tahrir tidak ada ahli hadisnya sama sekali. Taqiyyuddin An-Nabhani bukan ahli hadis, Abdul Qodim Zallum bukan ahli hadis, dan yang paling parah adalah Atho’ Abu Ar-Rasytah. Yang ada di tubuh Hizbut Tahrir adalah sejumlah orang yang mempelajari sebagian ulumul hadits, tapi bukan ahli hadis.
Tidak sekali dua kali saya menemukan anggota Hizbut Tahrir yang seolah-olah mengerti ilmu hadis, tapi ternyata masih banyak melakukan kesalahan mayor dalam menganalisis hadis. Jika kualitas ilmu hadis yang dimiliki elit-elit Hizbut Tahrir seperti itu, maka bayangkan kira-kira separah apa pengetahuan ilmu hadis yang dimiliki anggotanya.
Semoga menjadi renungan. Wallahua’lam
Sumber disini
Taqiyyuddin An-Nabhani jelas muqollid dalam hadis. Bukti utamanya adalah cukup banyak hadis dhoif yang bertebaran dalam kitab-kitab tulisan beliau. Bukan hanya dhoif, tapi juga ada hadis yang tidak ada asalnya (laa ashla lahu) seperti riwayat “syathro dahriha” yang sempat “bersemayam” di syakhshiyyah 3, lalu pada edisi revisi tiba-tiba dibuang tanpa penjelasan secara bertanggungjawab oleh editornya. Malahan saya pernah membaca dalam syakhshiyyah 2 riwayat yang jelas tergolong maudhu’, hanya saja saya belum ada kesempatan untuk melacak kembali lokasinya. Riwayat palsu ini dalam edisi revisi juga sudah dibuang, lagi-lagi tanpa keterangan. Semua ini menunjukkan Taqiyyuddin An-Nabhani bukan ahli hadis, tapi hanyalah muqollid hadis.
Memang benar Taqiyyuddin An-Nabhani menulis sejumlah kaidah ilmu-ilmu hadis dalam syakhshiyyah 1 dengan disertai tarjih pada beberapa persoalan, tetapi karya semacam itu tidak menunjukkan beliau ahli hadis, karena mengerti sejumlah kaidal ulumul hadits tidak serta merta membuat orang menjadi ahli hadis. Mirip orang yang mengerti nahwu shorof yang tidak serta merta menjadi pakar bahasa yang mengerti segala macam seluk beluk bahasa sampai seakar-akarnya.
Abdul Qodim Zallum keilmuannya jelas di bawah Taqiyyuddin An-Nabhani. Tidak ada reputasi apapun yang menunjukkan Abdul Qodim Zallum pakar atau minimal mendalami ilmu ini.
Yang paling parah adalah Atha’ Abu Ar-Rasytah.
Saya sempat berhusnuzhon bahwa level kedalaman ilmu hadis Atho’ Abu Ar-Rasytah adalah di atas rata-rata syabab Hizbut Tahrir Indonesia. Akan tetapi setelah membaca tulisan resminya, hancur leburlah husnuzhon itu dan akhirnya saya menyimpulkan bahwa “orang ini tidak terlalu mengerti sEluk beluk ilmu hadis”.
Kaget?
Mari saya buktikan.
Pada suatu hari Atho Abu Ar-Rasytah ingin membela riwayat At-Thobari yang menceritakan kisah perintah Umar membunuh Shahabat jika belum sepakat mengangkat kholifah dalam waktu tiga hari. Riwayat ini dianggap penting karena menjadi dalil utama batasan waktu penegakan khalifah maksimal 3 hari.
Tulisan Atho’ Abu Ar-Rasytah bisa dibaca di sini, https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/143243189206094/?type=3
عطاء بن خليل أبو الرشتة ata abu al-rashta
بسم الله الرحمن الرحيم
جواب سؤال:حول المدة التي يمهل فيها المسلمون لإقامة الخلافة
إلى Muafa Abu Haura
السؤال: جزاك الله على ردك... وهل يمكن أن تكون المناقشات مفتوحة حتى يستفيد المسلمون من مضمونها ويعرفوا إخلاص حزب التحرير وأميره في قبول الحق بعد أن ظهر ضعف الرأي فيما بعد؟
الفكرة الأولى التي نريد أن نناقشها هي المدة التي يمهل فيها المسلمون لإقامة الخلافة.
كتب أخ لي واسمه Aang Yulius هذه المقالة:
هل تصح الرواية التي استدل بها حزب التحرير في تعيين المدة التي يمهل فيها المسلمون لإقامة الخلافة؟
من أفكار حزب التحرير المتبناة نصب الخليفة لجميع المسلمين. وقالوا أنه لا يجوز خلو المسلمين من وجود خليفة أكثر من ثلاثة أيام. وإن مضت ثلاثة أيام ولم ينصب أحد خليفة للمسلمين أصبحوا آثمين. فبعد انهيار الخلافة العثمانية إلى يومنا هذا عاش المسلمون في مدة أكثر من ثمانين سنة ليس في أعناقهم بيعة. فصار كل من لا يشترك في محاولة إقامة الخلافة آثماً. واستدل حزب التحرير ﻓﻲ كون المدة التي يمهل فيها المسلمون لإقامة الخلافة ثلاثة أيام بإجماع الصحابة وهو رواية قول عمر بن الخطاب رضي الله عنه الشهير. فقد روي أنه بعد أن طعن وأشرف على الموت رشح ستة من كبار الصحابة ليكون أحد منهم خليفة بعده بطريقة الشورى بينهم. وأوصاهم وصية تهديدية بقتل أي منهم من يخالف أمرهم في آخر اليوم الثالث. وأمر خمسين من الصحابة أن يطبقوا وصيته هذه. وعلم الصحابة الكبار هذه الوصية ولا أحد منهم من أنكر مع أنه مما ينكر. فدل ذلك على إجماعهم على تحديد المدة القصوى لإقامة الخلافة بثلاثة أيام. وأصل هذه الفكرة ما روي في تاريخ الطبيري ما نصه:
"فإن اجتمع خمسة ورضوا رجلا وأبى واحد فاشدخ رأسه أو اضرب رأسه بالسيف وإن اتفق أربعة فرضوا رجل منهم وأبى اثنان فاضرب رؤوسهما...". هذه فكرة رسمية عند حزب التحرير مكتوبة في كتبه المتبناة ونشرها الشباب باسم الحزب أو باسمهم الشخصي. هذه الفكرة مكتوبة في كتاب أجهزة دولة الخلافة باب المدة التي يمهل فيها المسلمون لإقامة الخلافة ص 53, وفي كتاب نظام الحكم في الإسلام باب طريق نصب الخليفة, وغيرهما.
والمشكلة هي ضعف الرواية لأن في سندها أبا مخنف وكان شيعيا رافضيا. وصفه ابن معين بأنه"ليس بثقة."...
وفي الإسناد أيضا رواة مجهولون... وفي الإسناد رواة مدلسون رووا بصيغة العنعنة...
وهناك رواية أخرى في معنى رواية الطبري. ولكنها ضعيفة أيضا لانقطاع السند. فقد روى ابن سعد في الطبقات الكبرى رواية مشابهة فيه سماك بن حرب الذهلي البكري الذي وصفه الخفاظ بأنه "صدوق وقد تغير" ولا يمكن له أن يلتقى بعمر فكانت منقطعة
ومن جهة المعنى نجد ما لا يمكن أن يصدق من رواية الطبري وروايات أمثالها لأنها تخالف الروايات الصحيحة. فلننظر النقاط الآتية:كيف يمكن أن يأمر عمر بقتل كبار الصحابة... وكيف يقول عمر رضي الله عنه هذا وهو يعلم أنهم هم الصفوة من أصحاب رسول الله...
وعلى هذا ظهر جليا أن هذه الرواية ضعيفة... فحينئذ سقط الاستدلال بها للقول بأن المدة التي يمهل فيها المسلمون لإقامة الخلافة ثلاثة أيام. وبطل أيضا قول من يعظم الخلافة حيث قال: "إن عمر أمر بقتل من يأبى نصب الخليفة.".
فما رأيك؟ ننتظر جوابا شافيا
الجواب:
لقد لفت نظري في بداية سؤالك أمور أشير إليها قبل الجواب:
أ- السؤال باسم (Muafa Abu Haura)، ولكن المقالة التي استعملتها في السؤال باسم (Aang Yulius)!
ب- تقول (وهل يمكن أن تكون المناقشات مفتوحة حتى يستفيد المسلمون من مضمونها ويعرفوا إخلاص حزب التحرير وأميره في قبول الحق بعد أن ظهر ضعف الرأي فيما بعد؟)، فكيف تريد نقاشاً وتقرر (بعد أن ظهر ضعف الرأي)؟ ألا تنتظر نهاية النقاش لترى ضعف الرأي من قوته، فإنه لا يحسن أن تقرر ضعف الرأي إلا بعد انتهاء النقاش ما دمت تريد نقاشاً، أليس كذلك؟
ج- إنك لم تسلَّم علينا، فلم تقل السلام عليكم، ومع ذلك فقد دعوت... ولا ندري أهي دعوة لنا أم علينا، فإنك قلت "جزاك الله على ردِّك..."، ولم تبين نوع الجزاء أيكون خيراً أم شرا! فقد ختمت الدعاء بالنقاط وجعلتها في بطن الشاعر!
ومع كل هذا وذاك، فإني سأفترض حسن النية في تأويل النقاط السابقة، وأجيب على مقالة صاحبك، وبالله التوفيق:
1- إن حزب التحرير وأميره لا يرفض النقاش الهادف لبيان الحق بقصد اتباعه، والعمل بناء عليه لاستنئناف الحياة الإسلامية بإقامة الخلافة الراشدة، الفرض العظيم، الذي لا يجوز للمسلمين أن يقعدوا عن إيجاد الخليفة بعد شغور مركز الخلافة فوق ثلاث، وإلا أثم كل قادر على العمل ولا يتلبس به...
2- إن صاحب المقالة تناول رواية الطبري التي فيها "أبو مخنف"، ونقل أنه "ليس ثقة"، ثم ذكر رجالا في الرواية قال إنهم مجهولون، وذكر رجالاً آخرين قال إنهم يروون بصيغة العنعنة...
ثم ذكر إحدى الروايات في طبقات ابن سعد وذكر أن في سندها "سماك بن حرب" وقال عنه إنه "صدوق وقد تغير" وأنه لم يلتق عمر رضي الله عنه...
3- إن صاحب المقالة تناول مسألة مهمة ولكن من رواية واحدة، مع أن هذه القضية "الإمهال ثلاثة أيام وقتل المخالف" لم تكن سراً بل كانت على ملأ من الصحابة، وفيها روايات عدة... ثم إن قوله عن بعض رجال الرواية إنهم مجهولون ليس بحجةٍ إنْ جَهِلهم هو وعلمهم آخرون أقوى حفظاً منه! وكذلك فاحتجاجه على الرواية بالعنعنة دليل جهل بعلم مصطلح الحديث لأن روايات العنعنة تُقبل ما دامت مستوفية شروط السند.
4- إن قبول الحديث أو ردّه يحتاج إلى علم وفقه وفهم لعلوم مصطلح الحديث، أصوله وفروعه، وسأذكر شيئاً من ذلك قبل الرد على مقالة صاحبك لعله يتذكرها إن كان من أهل هذا العلم:
هنالك رواة يُعتبرون ثقة عند بعض المحدثين، ويُعتبرون غير ثقة عند البعض، أو يعتبرون من المجهولين عند بعض المحدثين، ومن المعروفين عند البعض الآخر. وهناك أحاديث لم تصح من طريق وصحت من طريق أخرى. وهنالك طرق لم تصح عند البعض وصحت عند آخرين. وهناك أحاديث لم تعتبر عند بعض المحدثين وطعنوا بها، واعتبرها محدثون آخرون واحتجوا بها. وهناك أحاديث طعن بها بعض أهل الحديث، وقبلها عامة الفقهاء واحتجوا بها. فإلزام الناس باعتبار الحديث صحيحاً أو حسناً برأي من الآراء أو بجميع الآراء هو إلزام غير صحيح، ومخالف لواقع الأحاديث... ومن اطلع على اجتهادات الفقهاء المعتبرين يجد هذا يحتج بحديث لا يأخذ به ذاك، لأنه صح عند الأول، ولم يصح عند الثاني، وترى ذاك عند الأحناف والمالكية والشافعية والحنابلة وغيرهم... فيجب التأني والتفكير في الحديث قبل الإقدام على الطعن فيه أو رده. والمتتبع للرواة وللأحاديث يجد الاختلاف في ذلك بين المحدثين كثيراً، والأمثلة على ذلك كثيرة جداً:
فمثلاً: روى أبو داود عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ. يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ، وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ يَرُدُّ مُشِدُّهُمْ عَلَى مُضْعِفِهِمْ، وَمُتَسَرِّيهِمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ...» فراوي هذا الحديث عمرو بن شعيب، وعمرو بن شعيب عن أبيه عن جده فيه مقال مشهور، ومع ذلك فقد احتج بحديثه كثيرون ورفضه آخرون...
ومثلاً في الدارقطني عن الحسن عن عبادة وأنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «مَا وُزِنَ مِثْلٌ بِمِثْلٍ إِذَا كَانَ نَوْعًا وَاحِدًا وَمَا كَيْلَ فَمِثْلُ ذَلِكَ، فَإِذَا اخْتَلَفَ النَّوْعَانِ فَلَا بَأْسَ بِهِ». هذا الحديث في إسناده الربيع بن صبيح وثقه أبو زرعة وضعفه جماعة... فإذا استدل أحد بهذا الحديث أو بحديث في إسناده الربيع بن صبيح، يكون قد استدل بدليل شرعي...
ومثلاً: روى أحمد قال حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ، مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي عَيَّاشٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ، فَقَالَ: «أَلَيْسَ يَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ» قَالُوا: بَلَى. «فَكَرِهَهُ». ورواه أبو داود بلفظ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ، أَنَّ زَيْدًا أَبَا عَيَّاشٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاص قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ عَنْ شِرَاءِ التَّمْرِ بِالرُّطَبِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟ قَالُوا نَعَمْ، فَنَهَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ».
هذا الحديث صححه الترمذي، وأعله جماعة، منهم الطحاوي والطبري وابن حزم وعبد الحق، بأن في إسناده زيداً أبا عياش وهو مجهول. قال في التلخيص والجواب أن الدارقطني قال إنه ثقة ثبت (يعني زيداً أبا عياش) وقال المنذري: قد روى عنه اثنان ثقتان وقد اعتمده مالك مع شدة نقده. فإذا جعل أحد هذا الحديث دليلاً شرعياً أو استدل بحديث فيه زيد أبو عياش، فإنه يكون قد استدل بدليل شرعي.
وعليه فإن استنباط الحكم لا يأتي من رواية واحدة دون الروايات الأخرى، ولا يكفي الجرح والتعديل من جهة واحدة دون النظر في الجهات المختلفة، بل تدرس المسألة من جميع جوانبها...
5- والآن سأناقش بعض الجوانب التي جهلها أو تجاهلها صاحب المقالة:
في تعليقه على رواية الطبري ركز على أبي مخنف، ولكنه ترك شريك أبي مخنف في السند، فإن رواية الطبري تقول:
"حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ شبة، قال: حدثنا علي بن محمد، عن وَكِيعٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيِّ، عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عن قتادة، عن "شهر بن حوشب وابى مِخْنَفٍ"، عَنْ يُوسُفَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلٍ وَمُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَيُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ الأَوْدِيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّاب لَمَّا طُعِنَ... فَقَالَ..." انتهى
فصاحب المقالة ركز على أبي مخنف وذكر أنه ضعيف، وترك شهر بن حوشب شريك أبي مخنف في الرواية عن يوسف بن يزيد، فإن قتادة روى عن (أبي مخنف وشهر بن حوشب) وهما رويا عن يوسف بن يزيد، ولكنه لم يذكر إلا أبا مخنف وذلك لأن شهر بن حوشب قد وثقه جماعة:
قال العجلي (المتوفى: 261هـ) في كتابه الثقات: (شهر بن حوشب: "شامي"، تابعي، ثقة.)
وقال الهيثمي (المتوفى: 807هـ) عن شهر بن حوشب في مجمع الزوائد ومنبع الفوائد في أكثر من موضع:
(شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ، وَقَدْ وُثِّقَ)، (شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ، وَقَدِ اخْتَلَفُوا فِيهِ، وَلَكِنَّهُ وَثَّقَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَعِينٍ وَأَبُو زُرْعَةَ وَيَعْقُوبُ بْنُ شَيْبَةَ)، (شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ وَفِيهِ بَعْضُ كَلَامٍ وَقَدْ وَثَّقَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ)، (شَهْرُ بْنُ حَوْشَبٍ وَفِيهِ كَلَامٌ وَوَثَّقَهُ جَمَاعَةٌ)
وقال ابن شاهين (المتوفى: 385هـ) في كتابه تاريخ أسماء الثقات: (وَقَالَ يحيى شهر بن حَوْشَب ثَبت وَفِي رِوَايَة أُخْرَى عَنهُ شَامي نزل الْبَصْرَة وَكَانَ من الْأَشْعَرِيين من أنفَسِهم وَهُوَ ثِقَة).
ولذلك فإن قتادة روى عن أبي مخنف وشهر بن حوشب، وليس فقط عن أبي مخنف، ولكن صاحب المقالة أغفل شهر بن حوشب لأنه قد وُثِّق من أكثر من واحد.
هذا عن رواية الطبري.
• بالنسبة لرواية ابن سعد في الطبقات:
لقد ذكر صاحب المقالة إحدى روايات الطبقات وهي التي فيها سماك، وهذا سند هذه الرواية:
"قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَكْرٍ السَّهْمِيُّ قَالَ: أَخْبَرَنَا حَاتِمُ بْنُ أَبِي صَغِيرَةَ عَنْ سِمَاكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ لَمَّا حُضِرَ قَالَ إِنْ أَسْتَخْلِفْ فَسُنَّةٌ وَإِلا أَسْتَخْلِفْ فَسُنَّةٌ. تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ولم يَسْتَخْلِفْ. وَتُوُفِّيَ أَبُو بَكْرٍ فَاسْتَخْلَفَ..."، وقد ذكر صاحب المقالة أن سماك الذي وُصف "بالصدوق وقد تغير" لا يمكن اتصاله بعمر...
ولكن ورد في كتاب الثقات لابن حبان (المتوفى: 354هـ) عن سماك بن حرب ما يلي:
(سماك بْن حَرْب الْبكْرِيّ من أهل الْكُوفَة... روى عَنهُ الثَّوْريّ وَشعْبَة كَانَ حَمَّاد بن سَلمَة يَقُول سَمِعت سماك بْن حَرْب يَقُول أدْركْت ثَمَانِينَ من أَصْحَاب النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَات فِي آخر ولَايَة هِشَام بْن عَبْد الْملك حِين ولى يُوسُف بْن عمر على الْعرَاق وَهُوَ سماك بْن حَرْب بْن أَوْس بْن خَالِد بْن نزار بْن مُعَاوِيَة بْن عَامر بن ذهل)
وكذلك ورد في كتاب تاريخ أسماء الثقات لابن شاهين ما يلي:
(وَقَالَ سماك بن حَرْب ثِقَة نَا عبد الله بن مُحَمَّد الْبَغَوِيّ قَالَ نَا مُحَمَّد بن غيلَان قَالَ نَا مُؤَمل عَن حَمَّاد بن سَلمَة عَن سماك بن حَرْب قَالَ أدْركْت ثَمَانِينَ من أَصْحَاب النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم)
وهذا يدل على أن سماك أدرك ثمانين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وهو عدد لا بأس به يجعله إن لم يدرك عمر فقد أدرك صحابياً نقل عن عمر، وسقوط الصحابي لا يؤثر في صحة السند.
• ومع ذلك فإن ابن سعد أورد في المسألة روايات أخرى ليس فيها سماك، ومنها:
- قَالَ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْرَائِيلَ بْنِ يُونُسَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ: شَهِدْتُ عُمَرَ يَوْمَ طُعِنَ... ثُمَّ قَالَ: ادْعُوا لِي عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَسَعْدًا.. ثُمَّ قَالَ: ادْعُوا لِي صُهَيْبًا. فَدُعِيَ فَقَالَ: صَلِّ بِالنَّاسِ ثَلاثًا وَلْيَخْلُ هَؤُلاءِ الْقَوْمُ فِي بَيْتٍ فَإِذَا اجْتَمَعُوا عَلَى رَجُلٍ فَمَنْ خَالَفَهُمْ فَاضْرِبُوا رَأْسَهُ...
وعمرو بن ميمون الأودي كان قَدْ أسلم فِي زمان النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وحج مائة حجة، وقيل: سبعين حجة، وأدى صدقته إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ... كما جاء في أسد الغابة، ولذلك فهو شهد عمر رضي الله عنه يوم طُعن.
- قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: أَرْسَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى أَبِي طَلْحَةَ الأَنْصَارِيِّ قُبَيْلَ أَنْ يَمُوتَ بِسَاعَةٍ فَقَالَ: يَا أبا طلحة كن في خمسين من قومك مِنَ الأَنْصَارِ مَعَ هَؤُلاءِ النَّفَرِ أَصْحَابِ الشُّورَى فَإِنَّهُمْ فِيمَا أَحْسِبُ سَيَجْتَمِعُونَ فِي بَيْتِ أَحَدِهِمْ. فَقُمْ عَلَى ذَلِكَ الْبَابِ بِأَصْحَابِكَ فَلا تَتْرُكْ أَحَدًا يَدْخُلُ عَلَيْهِمْ وَلا تَتْرُكْهُمْ يمضي اليوم الثالث حتى يؤمروا أحدهم. اللهم أَنْتَ خَلِيفَتِي عَلَيْهِمْ.
- قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ يَعْقُوبَ عَنْ أَبِي الْحُوَيْرِثِ قَالَ: قَالَ عُمَرُ فِيمَا أَوْصَى بِهِ: فَإِنْ قُبِضْتُ فَلْيُصَلِّ لَكُمْ صُهَيْبٌ. ثَلاثًا. ثُمَّ أَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ فَبَايِعُوا أَحَدَكُمْ....
وواضح أن ابن سعد له أكثر من رواية لكن صاحب المقالة تمسك بشبهة وجدها في رواية واحدة فيها سماك، وترك غيرها، ما يدل على أنه لا يتحرى الوصول إلى الحق بل يريد التشويش على أهل الحق، وأنّى له ذلك!
• ومع كل هذا وذاك فهناك روايات أخرى أثبتها ابن شبَّة في كتابه تاريخ المدينة وأنقل هنا ثلاث روايات:
- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْعُلَيْمِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، قَالَ: حَدَّثَنِي مَوْلًى لِآلِ ابْنِ عَفَّانَ: أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَمَرَ صُهَيْبًا أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلَاثًا، وَقَالَ: «لَا يَأْتِينَّ عَلَيْكُمْ ثَالِثَةٌ، أَوْ لَا يَخْلُوَنَّ عَلَيْكُمْ ثَالِثَةٌ حَتَّى تُبَايِعُوا لِأَحَدِكُمْ، يَعْنِي أَهْلَ الشُّورَى، ثُمَّ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكِمْ، وَلَا تُشَاقُّوا وَلَا تُنَازِعُوا وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْأَمِيرَ»...
- حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ بِشْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ، عَنْ عِيسَى بْنِ طَلْحَةَ، وَعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَا قَالَ: عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حِينَ طُعِنَ: «لِيُصَلِّ بِكُمْ صُهَيْبٌ ثَلَاثًا، وَلْتُنْظِرُوا طَلْحَةَ، فَإِنْ جَاءَ إِلَى ذَلِكَ، وَإِلَّا فَانْظُرُوا فِي أَمْرِكُمْ، فَإِنَّ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُتْرَكُ فَوْقَ ثَلَاثٍ سُدًى،»
- وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا نَافِعٌ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ غُسِّلَ وَكُفِّنَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ، وَكَانَ شَهِيدًا، وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «إِذَا مِتُّ فَتَرَبَّصُوا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ صُهَيْبٌ، وَلَا يَأْتِيَنَّ الْيَوْمُ الرَّابِعُ إِلَّا وَعَلَيْكُمْ أَمِيرٌ مِنْكُمْ، وَيَحْضُرُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ مُشِيرًا، وَلَا شَيْءَ لَهُ فِي الْأَمْرِ، وَطَلْحَةُ شَرِيكُكُمْ فِي الْأَمْرِ، فَإِنْ قَدِمَ فِي الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ فَأَحْضِرُوهُ أَمْرَكُمْ، وَإِنْ مَضَتِ الْأَيَّامُ الثَّلَاثَةُ قَبْلَ قُدُومِهِ فَاقْضُوا أَمْرَكُمْ...»... وَقَالَ لِلْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ: «إِذَا وَضَعْتُمُونِي فِي حُفْرَتِي فَاجْمَعْ هَؤُلَاءِ الرَّهْطَ فِي بَيْتٍ حَتَّى يَخْتَارُوا رَجُلًا مِنْهُمْ» ، وَقَالَ لِصُهَيْبٍ: «صَلِّ بِالنَّاسِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَأَدْخِلْ عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَطَلْحَةَ إِنْ قَدِمَ، وَأَحْضِرْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، وَلَا شَيْءَ لَهُ مِنَ الْأَمْرِ، وَقُمْ عَلَى رُءُوسِهِمْ، فَإِنِ اجْتَمَعَ خَمْسَةٌ وَرَضُوا رَجُلًا وَأَبَى وَاحِدٌ فَاشْدَخْ رَأْسَهُ أَوِ اضْرِبْ رَأْسَهُ بِالسَّيْفِ، وَإِنِ اتَّفَقَ أَرْبَعَةٌ فَرَضُوا رَجُلًا مِنْهُمْ وَأَبَى اثْنَانِ فَاضْرِبْ رُءُوسُهُمَا، فَإِنْ رَضِيَ ثَلَاثَةٌ رَجُلًا مِنْهُمْ وَثَلَاثَةٌ رَجُلًا مِنْهُمْ فَحَكِّمُوا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ حَكَمَ لَهُ فَلْيَخْتَارُوا رَجُلًا مِنْهُمْ، فَإِنْ لَمْ يَرْضَوْا بِحُكْمِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَكُونُوا مَعَ الَّذِينَ فِيهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَاقْتُلُوا الْبَاقِينَ إِنْ رَغِبُوا عَمَّا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ النَّاسُ»...
• ثم إن إمهال الأيام الثلاثة مذكورة في الروايات مجملة دون ذكر قتل المخالف مثل "يصلي بالناس ثلاثا"، "لا يأتين عليكم ثالثة"، "لا يخلون عليكم ثالثا حتى تبايعوا لأحدكم"، "ليصلي بكم صهيب ثلاثا"، "ولا تتركهم يمض اليوم الثالث حتى يؤمروا أحدهم"، "فليصل لكم صهيب ثلاثا ثم أجمعوا أمركم فبايعوا أحدكم"... وهناك روايات مفصلة في قتل المخالف: "صل بالناس ثلاثا... فإذا اجتمعوا على رجل فمن خالفهم فاضربوا رأسه"... وهكذا.
أي أن مدة الأيام الثلاثة مذكورة في الروايات مجملة دون ذكر تفصيل الإجراء الذي يتخذ مع المخالف، ومذكورة في روايات أخرى بتفصيل الإجراء مع المخالف وهو قتله، فلماذا ركّز صاحب المقالة على روايات قتل المخالف وترك روايات إمهال الأيام الثلاثة التي ليس فيها قتل المخالف؟ إنه أراد أن يبرز موضوع القتل ليجد قبولاً مشاعرياً لرأيه مع أن قول عمر على ملأ من الناس بقتل المخالف هو دليل على أن الأيام الثلاثة أمر بالغ الأهمية.
• وعليه فإن صاحب المقالة وأمثاله وأشياعه كما يبدو ليس قصدهم تحري الحق بقدر ما هو التشويش على أهل الحق، وإيجاد المبررات لقعودهم وجبنهم عن أداء هذا الفرض العظيم الذي قدّمه الصحابة على دفن رسول الله صلى الله عليه وسلم .
أما ما ذكره صاحب المقالة في آخر مقالته بقوله: "كيف يمكن أن يأمر عمر بقتل كبار الصحابة... وكيف يقول عمر رضي الله عنه هذا وهو يعلم أنهم هم الصفوة من أصحاب رسول الله..." انتهى
فالأحكام الشرعية تؤخذ من أدلتها، ولا تؤخذ بالهوى والافتراضات...
وهكذا فإن من تدبر ما أوردناه، وعقله ووعاه، فإنه يهتدي إلى الحق بإذن الله، ومن أخذته العزة بالإثم وكتب مقالته وهو مصر على عدم الفهم، فلا ينفعه جواب، بل أمره إلى الله سبحانه، فهو جلّ وعلا الهادي إلى سواء السبيل.
أخوكم عطاء بن خليل أبو الرشتة
15 شعبان 1434هـ
24 حزيران 2013 م
http://www.hizb-ut-tahrir.org/index.php/AR/tshow/1791
Dalam tulisan di atas, Atho’ menegaskan bahwa Qotadah meriwayatkan DARI ABU MIKHNAF. Perhatikan tulisan Atho’ Abu Ar-Rasytah,
فإن قتادة روى عن (أبي مخنف وشهر بن حوشب)
Qotadah dalam riwayat Ath-Thobari di atas yang dimaksud adalah Qotadah bin Di’amah As-Sadusi yang lahir tahun 60 H dan wafat setelah tahun 110 H. Adapun Abu Mikhnaf, ia wafat tahun 157 H tapi tahun lahirnya tidak diketahui.
Lalu Atho Abu Ar-Rasytah mengatakan bahwa Qotadah meriwayatkan dari Abu Mikhnaf!
Coba kita pikir. Bagaimana mungkin orang yang wafat setelah tahun 110 H meriwayatkan dari orang yang wafatnya tahun 157 H?
Memang mungkin saja ada akabir meriwayatkan dari ashoghir, tapi ini juga perlu data. Tidak hanya asumsi dan kira-kira. Untuk kasus Qotadah mengambil riwayat dari Abu Mikhnaf, itu kemungkinan jauh secara logika, karena usia Abu Mikhnaf terlalu muda untuk diambil riwayatnya.
Lagipula, ulama hadis seketat Qotadah, mustahil mengambil riwayat seorang syiah rofidhi seperti Abu Mikhnaf yang disebut pakar hadis dengan ungkapan “haalik” (binasa) . Selevel Abu Hanifah saja tidak diambil riwayatnya dalam hadis oleh Al Bukhari dan pakar hadis lainnya, apalagi Abu Mikhnaf yang jauh lebih buruk dari itu.
Lagi pula, tidak ada dalam daftar guru2 Qotadah yang bernama Abu Mikhnaf. Lagi pula tidak ada satupun ahli hadis yang mengatakan Qotadah pernah meriwayatkan satu riwayatpun dari Abu Mikhnaf.
Mengapa Atho Abu Ar-Rasytah terjatuh dalam kesalahan fatal seperti ini?
Minimal ada tiga penyebabnya,
Pertama: Atho’ tidak mengenal sighat sanad dalam tarikh At-Thobari
Kedua: Atho’ tidak kenal perawi-perawi yang disebutkan dalam sanad riwayat Ath-Thobari
Ketiga; Atho tidak tahu kaidah baku dalam mensahihkan dan menghasankan hadis
Penjelasan poin pertama,
Sanad dalam riwayat Ath-Thobari itu sebenarnya ada 3 sanad yang digabungkan satu. Hanya orang yang mendalami hadis yang jeli dan tahu soal pelik seperti ini. Coba kita periksa sanadnya sebagai berikut,
حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ شبة، قال: حدثنا علي بن محمد، عن وَكِيعٍ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيِّ، عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عن قتادة، عن شهر بن حوشب وابى مِخْنَفٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبَّاسِ بْنِ سَهْلٍ وَمُبَارَكُ بْنُ فَضَالَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَيُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ الأَوْدِيِّ (تاريخ الطبري = تاريخ الرسل والملوك، وصلة تاريخ الطبري (4/ 227)
Dalam sanad di atas, sanad pertama adalah,
-حدثني عمر بن شبة قال حدثنا علي بن محمد عن وكيع عن الأعمش عن إبراهيم
Sanad kedua adalah,
– و (حدثني عمر بن شبة قال حدثنا) محمد بن عبدالله الأنصاري عن ابن أبي عروبة عن قتادة عن شهر بن حوشب
Sanad ketiga adalah,
– و(حدثني عمر بن شبة قال حدثنا علي بن محمد) عن أبي مخنف عن يوسف بن يزيد عن عباس بن سهل ومبارك بن فضالة عن عبيد الله بن عمر ويونس بن أبي إسحاق عن عمرو بن ميمون الأودي
Perhatikan wawu dalam deretan nama-nama di atas. Jangan dikira itu tidak ada maknanya. Wawu di situ sangat penting karena menunjukkan sanad yang berbeda yang disambung seolah satu sanad.
Oleh karena Atho’ tidak mengerti pelik-pelik sanad seperti ini, maka dikiranya itu satu sanad saja sehingga membuat kesimpulan fatal bahwa Qotadah meriwayatkan dari Abu Mikhnaf!
Itu juga sama fatalnya ketika menyimpulkan Syahr bin Hausyab mengambil riwayat dari Yusuf bin Yazid.
Kalau dikupas lagi lebih dalam satu-satu perawi, akan semakin banyak kesalahan tersingkap dari Atho’ Abu Ar-Rasytah.
Penjelasan poin kedua,
Saya meyakini Atho’ Abu Ar-Rasytah tidak kenal perawi-perawi yang ada dalam sanad riwayat Ath-Thobari di atas. Yang dilakukan Atho hanyalah mencari data salah satu perawi, yang kira-kira bisa ditemukan tergolong tsiqoh, lalu kemudian menipu para awam dengan data tersebut. Buktinya coba di baca pada tulisannya. Atho’ Abu Ar-Rasytah hanya berusaha membuktikan bahwa Syahr bin Hausyab ada ulama hadis yang mentsiqohkan (seraya menyembunyikan ulama yang mendhoifkannya). Perawi-perawi lainnya Atho’ MENUTUP MATA! Padahal di situ ada Yusuf bin Yazid dan Abbas bin Sahl yang tergolong perawi majhul.
Rupanya Atho’ memang tidak tahu perawi ini majhul sehingga dikira sanad itu aman-aman saja. Padahal satu perawi majhul saja sudah cukup untuk menolak matan riwayat karena kita tidak tahu perawi tersebut pendusta atau tidak dan kita juga tidak tahu apakah perawi itu dhobith atau tidak, maka bayangkan jika ada dua perawi majhul dalam satu sanad. Perawi yang ma’lum saja masih terancam inqitho’ jika tidak bisa dibuktikan liqo’ dan atau ‘alaqohnya, maka bayangkan dengan level inqotho’nya jika perawinya majhul.
Penjelasan poin ketiga,
Saya juga yakin Atho’ Abu Ar-Rasytah tidak terlalu mengerti kaidah mensahihkan atau menghasankan hadis. Bagaimana bisa membuktikan salah stau perawi sebagai perawi tsiqoh ,yakni Syahr bin Hausyab (itupun klaim yang tidak benar karena banyak ulama yang mendhoifkannya) lalu hendak digiring menuju kesimpulan bahwa riwayatnya sahih/hasan?
Membuktikan kesahihan hadis itu ada tahap-tahapan panjangnya, dan hanya ahli hadis yang sanggup melakukannya, bukan orang-orang yang baru tahu satu-dua hal tentang ulumul hadist.
Pertama-tama; Selidiki dulu semua perawinya tsiqoh apa tidak. Jika tuntas di tahap ini, maka informasi maksimalnya hanya bisa dikatakan “ruwatuhu/rijaluhu tsiqot” (para perawinya tsiqot)
Kedua; Selidiki ketersambungan semua perawi. Cek betul masa hidup antar dua perawi mungkin ketemu apa ndak. Setelah itu cek, ada informasi liqo’ mereka ada apa tidak. Lalu cek domisilinya, apakah mungkin saling bertemu. Lalu cek juga adakah ‘alaqoh guru-murid dan seterusnya. Jika tuntas di tahap ini, maka informasi maksimalnya hanya bisa dikatakan “isnaduhu shahih/hasan”
Ketiga, selidiki apakah sudah bebas dari syadz, yakni pertentangan dengan sanad dan matan riwayat lain yang lebih kuat. Untuk mencapai level ini, maka harus punya wawasan yang sangat luas terhadap perbendaharaan hadis. Karena tidak mungkin bisa membandingkan dan meneliti jika tidak tahu hadis-hadis yang lain yang jumlahnya ratusan ribu itu.
Keempat, selidiki apakah sudah bebas dari illat baik pada sanad dan matan. Ini yang paling sulit karena lebih lembut daripada menyelidiki syadz. Zhohir sanad bisa saja “sehat”, misalnya pakai lafaz “haddatsana”, tapi jika perawi yang mengatakan itu mudallis, maka ini bermakna sanadnya berillat. Ini belum membahas perawi2 yang dikenal suka mencuri hadis dan lain-lain. Zhohir matan bisa jadi “sehat”. Tetapi dengan interaksi yang sangat intens terhadap hadis, ahli hadis bisa membedakan mana ucapan nabi dan bukan. Seperti ahli hadis yang bisa membedakan ucapan Al-Hasan Al-Bishri dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم sehingga menghukumi hadis berillat, padahal sanad dan matannya zhohirnya “sehat”.
Akhirnya, setelah melihat fakta yang terang benderang seperti ini, yakinlah saya bahwa Atho’ Abu Ar-Rasytah ini memang TIDAK TERLALU MENGERTI ILMU HADIS. Ada banyak ustaz Indonesia yang kemampuan hadisnya jauh lebih baik daripada Atho’ Abu Ar-Rasytah. Karena kasus ini pulalah, husnuzhon saya terhadap kemampuan ilmu hadis elit-elit pusat Hizbut Tahrir menjadi hancur lebur.
Awam Hizbut Tahrir saya yakin tidak akan pernah mengerti kenyataan sepedih ini, Akan tetapi bagi yang pernah belajar hadis, meski tidak sampai sangat mendalam, insya Allah akan bisa merasakan betapa informasi ini bagaikan petir menggelegar di siang bolong karena menyingkap hakikat perih tentang Amir Hizbut Tahrir yang dielu-elukan anggota Hizbut Tahrir itu.
KESIMPULAN
Jadi, di tubuh Hizbut Tahrir tidak ada ahli hadisnya sama sekali. Taqiyyuddin An-Nabhani bukan ahli hadis, Abdul Qodim Zallum bukan ahli hadis, dan yang paling parah adalah Atho’ Abu Ar-Rasytah. Yang ada di tubuh Hizbut Tahrir adalah sejumlah orang yang mempelajari sebagian ulumul hadits, tapi bukan ahli hadis.
Tidak sekali dua kali saya menemukan anggota Hizbut Tahrir yang seolah-olah mengerti ilmu hadis, tapi ternyata masih banyak melakukan kesalahan mayor dalam menganalisis hadis. Jika kualitas ilmu hadis yang dimiliki elit-elit Hizbut Tahrir seperti itu, maka bayangkan kira-kira separah apa pengetahuan ilmu hadis yang dimiliki anggotanya.
Semoga menjadi renungan. Wallahua’lam
Sumber disini
No comments
Post a Comment