Muslimedianews.com ~ Mengenai larangan untuk menghina, mencaci maki dan merendahkan derajat Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam para ulama mempergunakan hujjah dari al-Quran dan al-Hadits yang menunjukkan larangan menyakiti kepada beliau, salah satu diantaranya adalah ayat ini :
وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ رَسُولَ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ
Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah akan mendapat azab yang pedih. (Surat At-Taubah, Ayat 61)
Perbuatan tercela seperti itu hukumnya jelas Haram dan bahkan bisa menyebabkan kekafiran serta pelakunya bisa di bunuh.....
Namun tentu saja dalam masalah menetapkan hukum kufur dan vonis hukuman mati ini tidak boleh sembarangan dilakukan oleh semua orang, namun harus diputuskan oleh Qâdhî (Hakim) atau Muftî yang mengetahui dengan baik mana batas-batas kasus penghinaan atau caci maki kepada Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam yg bisa dihukumi kufur dan bisa divonis hukuman mati, karena tidak semua kasus secara muthlak dihukumi seperti ini. Termasuk yang tidak boleh dikafirkan dan tidak divonis hukuman mati adalah pelaku yang TIDAK ADA TUJUAN untuk melakukan penghinaan atau caci maki....
Keterangan seperti ini bisa kita baca di dalam kitab as-Saif al-Maslûl 'alâ man Sabba al-Rasûl shallallâhu 'alaihi wa sallam (pedang yang terhunus bagi orang yang mencaci Rasûlullâh saw) karya al-Imâm Taqiyyuddîn 'Âlî bin 'Abdul Kâfî as-Subkî :
قلت: الأذى على قسمين أذى مقصود وأذى غير مقصود، فمسطح وحمنة وحسان لم يكن مقصودهم أذى النبي صلى الله عليه وسلم، فلذلك لا يجري عليهم كفر ولا قتل، وأما ابن أبي فكان مقصوده بالأذى النبي صلى الله عليه وسلم، فلذلك يستحق القتل، ولكن الحق للنبي صلى الله عليه وسلم، فله تركه
وهذه القاعدة واعتبار القصد فيما يحصل به الأذى مما يجب التنبه له، فإن الشخص قد يفعل فعلا أو يقول قولا يحصل الآخر منه أذى لا يكون ذلك الفاعل أو القائل قصد أذاه البتة، وإنما قصد أمرا آخر ولم يحضر عنده أن ذلك يستلزم الأذى لذلك الشخص ولا كان لزومه له بينا، فهذا لا يترتب عليه حكم الإيذاء.
Saya (al-Imâm Taqiyyuddîn as-Subkî) berpendapat :
Menyakiti itu ada 2 macam :
- Menyakiti yang memang dikehendaki (disengaja) dan
- Menyakiti yang tanpa dikehendaki (disengaja).
Maka Sahabat Mishthah (Ibnu Utsâtsah al-Muthallibî, termasuk golongan Muhâjirîn yang ikut perang Badar), Hamnah (binti Jahsyin al-Asadiyyah, beliau adalah saudara Ummul Mukminîn Zainab binti Jahsyin ra) dan Hassan (bin Tsâbit, salah seorang penyair Rasûlullâh saw) [dalam kasus Hadîts Ifki -cerita kebohongan tentang kisah sayyidah 'Aisyah ra-] mereka TIDAK BERMAKSUD untuk menyakiti Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam, oleh karena itu mereka semua TIDAK DIHUKUMI KUFUR dan juga TIDAK DIVONIS HUKUM MATI, sedangkan Ibnu Ubayy (Abdullâh bin Ubayy bin Salûl, seorang gembong gerombolan munafik) dia memang bertujuan untuk menyakiti Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam, oleh karena itu dia berhak untuk dibunuh, akan tetapi hak prerogatif (untuk mengeksekusi) ada di tangan Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam, maka beliau berhak pula untuk tidak melaksanakan hukuman mati tsb.
Kaidah ini dan dipertimbangankannya "qashdu" (tujuan) pada perkara yang bisa menyakiti -yaitu perkara yang wajib diperhatikan baginya- bahwasanya seseorang terkadang melakukan sebuah perbuatan atau mengeluarkan statement yang bisa menyakiti orang lain dimana si pelaku atau orang yang mengeluarkan statemen tadi memang tidak bertujuan menyakiti orang lain sama sekali, yaitu dia bertujuan pada hal lain dan tidak terbersit pada dirinya bahwa hal tsb ternyata bisa melazimkan (menyebabkan) menyakiti orang lain dan perkara yg melazimkan tsb tidak jelas baginya, maka kasus seperti ini tidak menyebabkan vonis hukum menyakiti baginya.
______________
Jadi perbuatan atau ucapan yang memang zhahirnya itu ada indikasi penghinaan atau merendahkan derajat Rasulullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam itu tetaplah SALAH dan TIDAK BOLEH DIBELA. meski pelaku tidak sengaja maka tetap aja bersalah...
Namun sesuai dengan keterangan ibarat di atas, pelaku seperti itu tidak bisa disebut menyakiti Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan tidak dihukumi kafir (murtad) serta tidak mendapatkan sangsi pidana hukum bunuh/mati.....
Jadi dalam hal ini ada 2 SIKAP LEBAI dan BODOH yg WAJIB DIHINDARI :
1. MEMBELA KESALAHAN, ini adalah bentuk kesombongan :
الكبر بطر الحق وغمط الناس
Kesombongan adalah menolak kebenaram dan meremehkan orang lain ( H.R. Muslim)
Padahal orang yang seperti ini diancam oleh Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau :
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقالُ ذرة من كبر)
Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat sebiji atom. (H.R. Muslim)
2. TASAHUL (SEMBRONO) dalam MENTAKFIR, karena konsekuensinya bisa diancam dg hadis ini :
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh" (HR Bukhari-Muslim)
Di dalam kitab al-Syifâ yang diberi syarh (penjelasan) oleh al-Mullâ 'Alî al-Qârî al-Harawî yang bermazhab Hanafi. Beliau memberi penjelasan sebagai berikut:
قال علماؤنا إذا وجد تسعة وتسعون وجها تشير إلى تكفير مسلم ووجه واحد إلى ابقائه على إسلامه فينبغي للمفتي والقاضي أن يعملا بذلك الوجه وهو مستفاد من قوله عليه السلام ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله فإن الإمام لأن يخطئ في العفو خير له من أن يخطئ في العقوبة رواه الترمذي وغيره والحاكم وصححه
Para ulama kita berkata: "Jika ditemukan 99 indikasi yg mengisyaratkan tentang kekafiran seorang Muslim, tetapi masih ada satu alasan yang menetapkan keislamannya maka hendaknya seorang Mufti dan Hakim beramal dengan satu alasan tersebut, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam : "Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum,' sebagaimana diriwayatkan al-Imâm at-Tirmidzi dan lainnya, Imam al-Hakim menshahihkan hadits tsb."
Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazâlî di dalam kitab al-Iqtishâd fil I'tiqâd:
وقال أبو حامد الغزالي : "والذي ينبغي الاحتراز منه :"التكفير" ما وجد إليه سبيلا، فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة، المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأٌ، والخطأ في ترك ألفِ كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك دمٍ لمسلم"
"Agar menjaga diri dari mengkafirkan orang lain sepanjang menemukan jalan untuk itu. Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta muslim yang shalat menghadap qiblat, yang secara jelas mengucapkan dua kalimat syahadat, itu merupakan kekeliruan. Padahal kesalahan dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa orang muslim.”
وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ رَسُولَ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ
Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah akan mendapat azab yang pedih. (Surat At-Taubah, Ayat 61)
Perbuatan tercela seperti itu hukumnya jelas Haram dan bahkan bisa menyebabkan kekafiran serta pelakunya bisa di bunuh.....
Namun tentu saja dalam masalah menetapkan hukum kufur dan vonis hukuman mati ini tidak boleh sembarangan dilakukan oleh semua orang, namun harus diputuskan oleh Qâdhî (Hakim) atau Muftî yang mengetahui dengan baik mana batas-batas kasus penghinaan atau caci maki kepada Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam yg bisa dihukumi kufur dan bisa divonis hukuman mati, karena tidak semua kasus secara muthlak dihukumi seperti ini. Termasuk yang tidak boleh dikafirkan dan tidak divonis hukuman mati adalah pelaku yang TIDAK ADA TUJUAN untuk melakukan penghinaan atau caci maki....
Keterangan seperti ini bisa kita baca di dalam kitab as-Saif al-Maslûl 'alâ man Sabba al-Rasûl shallallâhu 'alaihi wa sallam (pedang yang terhunus bagi orang yang mencaci Rasûlullâh saw) karya al-Imâm Taqiyyuddîn 'Âlî bin 'Abdul Kâfî as-Subkî :
قلت: الأذى على قسمين أذى مقصود وأذى غير مقصود، فمسطح وحمنة وحسان لم يكن مقصودهم أذى النبي صلى الله عليه وسلم، فلذلك لا يجري عليهم كفر ولا قتل، وأما ابن أبي فكان مقصوده بالأذى النبي صلى الله عليه وسلم، فلذلك يستحق القتل، ولكن الحق للنبي صلى الله عليه وسلم، فله تركه
وهذه القاعدة واعتبار القصد فيما يحصل به الأذى مما يجب التنبه له، فإن الشخص قد يفعل فعلا أو يقول قولا يحصل الآخر منه أذى لا يكون ذلك الفاعل أو القائل قصد أذاه البتة، وإنما قصد أمرا آخر ولم يحضر عنده أن ذلك يستلزم الأذى لذلك الشخص ولا كان لزومه له بينا، فهذا لا يترتب عليه حكم الإيذاء.
Saya (al-Imâm Taqiyyuddîn as-Subkî) berpendapat :
Menyakiti itu ada 2 macam :
- Menyakiti yang memang dikehendaki (disengaja) dan
- Menyakiti yang tanpa dikehendaki (disengaja).
Maka Sahabat Mishthah (Ibnu Utsâtsah al-Muthallibî, termasuk golongan Muhâjirîn yang ikut perang Badar), Hamnah (binti Jahsyin al-Asadiyyah, beliau adalah saudara Ummul Mukminîn Zainab binti Jahsyin ra) dan Hassan (bin Tsâbit, salah seorang penyair Rasûlullâh saw) [dalam kasus Hadîts Ifki -cerita kebohongan tentang kisah sayyidah 'Aisyah ra-] mereka TIDAK BERMAKSUD untuk menyakiti Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam, oleh karena itu mereka semua TIDAK DIHUKUMI KUFUR dan juga TIDAK DIVONIS HUKUM MATI, sedangkan Ibnu Ubayy (Abdullâh bin Ubayy bin Salûl, seorang gembong gerombolan munafik) dia memang bertujuan untuk menyakiti Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam, oleh karena itu dia berhak untuk dibunuh, akan tetapi hak prerogatif (untuk mengeksekusi) ada di tangan Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam, maka beliau berhak pula untuk tidak melaksanakan hukuman mati tsb.
Kaidah ini dan dipertimbangankannya "qashdu" (tujuan) pada perkara yang bisa menyakiti -yaitu perkara yang wajib diperhatikan baginya- bahwasanya seseorang terkadang melakukan sebuah perbuatan atau mengeluarkan statement yang bisa menyakiti orang lain dimana si pelaku atau orang yang mengeluarkan statemen tadi memang tidak bertujuan menyakiti orang lain sama sekali, yaitu dia bertujuan pada hal lain dan tidak terbersit pada dirinya bahwa hal tsb ternyata bisa melazimkan (menyebabkan) menyakiti orang lain dan perkara yg melazimkan tsb tidak jelas baginya, maka kasus seperti ini tidak menyebabkan vonis hukum menyakiti baginya.
______________
Jadi perbuatan atau ucapan yang memang zhahirnya itu ada indikasi penghinaan atau merendahkan derajat Rasulullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam itu tetaplah SALAH dan TIDAK BOLEH DIBELA. meski pelaku tidak sengaja maka tetap aja bersalah...
Namun sesuai dengan keterangan ibarat di atas, pelaku seperti itu tidak bisa disebut menyakiti Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dan tidak dihukumi kafir (murtad) serta tidak mendapatkan sangsi pidana hukum bunuh/mati.....
Jadi dalam hal ini ada 2 SIKAP LEBAI dan BODOH yg WAJIB DIHINDARI :
1. MEMBELA KESALAHAN, ini adalah bentuk kesombongan :
الكبر بطر الحق وغمط الناس
Kesombongan adalah menolak kebenaram dan meremehkan orang lain ( H.R. Muslim)
Padahal orang yang seperti ini diancam oleh Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam dengan sabda beliau :
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقالُ ذرة من كبر)
Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat sebiji atom. (H.R. Muslim)
2. TASAHUL (SEMBRONO) dalam MENTAKFIR, karena konsekuensinya bisa diancam dg hadis ini :
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh" (HR Bukhari-Muslim)
Di dalam kitab al-Syifâ yang diberi syarh (penjelasan) oleh al-Mullâ 'Alî al-Qârî al-Harawî yang bermazhab Hanafi. Beliau memberi penjelasan sebagai berikut:
قال علماؤنا إذا وجد تسعة وتسعون وجها تشير إلى تكفير مسلم ووجه واحد إلى ابقائه على إسلامه فينبغي للمفتي والقاضي أن يعملا بذلك الوجه وهو مستفاد من قوله عليه السلام ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله فإن الإمام لأن يخطئ في العفو خير له من أن يخطئ في العقوبة رواه الترمذي وغيره والحاكم وصححه
Para ulama kita berkata: "Jika ditemukan 99 indikasi yg mengisyaratkan tentang kekafiran seorang Muslim, tetapi masih ada satu alasan yang menetapkan keislamannya maka hendaknya seorang Mufti dan Hakim beramal dengan satu alasan tersebut, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam : "Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum,' sebagaimana diriwayatkan al-Imâm at-Tirmidzi dan lainnya, Imam al-Hakim menshahihkan hadits tsb."
Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazâlî di dalam kitab al-Iqtishâd fil I'tiqâd:
وقال أبو حامد الغزالي : "والذي ينبغي الاحتراز منه :"التكفير" ما وجد إليه سبيلا، فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة، المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأٌ، والخطأ في ترك ألفِ كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك دمٍ لمسلم"
"Agar menjaga diri dari mengkafirkan orang lain sepanjang menemukan jalan untuk itu. Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta muslim yang shalat menghadap qiblat, yang secara jelas mengucapkan dua kalimat syahadat, itu merupakan kekeliruan. Padahal kesalahan dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa orang muslim.”
No comments
Post a Comment