BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

OPINION

Opinion
Showing posts with label Fatwa. Show all posts
Showing posts with label Fatwa. Show all posts

Sunday, December 22, 2019

Kucing Memangsa Burung Tetangga, Haruskah Ganti Rugi?

Muslimedianews.com - Ini salah satu bahasan jadul dalam fikih. Kalau orang punya hewan piaraan yang sifatnya usil, mesti dijaga supaya tak merusak harta orang. Bila hewan itu merusak milik orang, ya pemiliknya harus bertanggung jawab.

(مَسْأَلَة أُخْرَى) كَذَلِك إِذا كَانَ لشخص قطة تخطف الطُّيُور وتقلب الْقُدُور فأتلفت شَيْئا ضمنه صَاحبهَا على الصَّحِيح سَوَاء أتلفت لَيْلًا أَو نَهَارا لِأَن مثل هَذِه الْهِرَّة يَنْبَغِي أَن ترْبط ويكف شَرها وَكَذَا الحكم فِي كل حَيَوَان يولع بِالتَّعَدِّي

كفاية الأخيار في حل غاية ...
- ج: ١ - ص: ٤٩١ -
"Masalah lain: Seperti itu juga apabila ada orang yang mempunyai kucing yang suka menerkam burung atau menumpahkan kendil lalu ia merusak sesuatu, maka pemiliknya harus mengganti rugi, menurut pendapat yang sahih. Baik perusakan itu siang atau malam sebab kucing yang seperti ini seharusnya diikat dan dijaga tingkah buruknya. Demikian juga hukum dalam hal seluruh hewan yang kecenderungannya merusak". (Kifayatul Akhyar)

Lalu sekarang orang pada kaget dan menolak ketika dengar pasal yang isinya begini:

"orang yang membiarkan unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman milik orang lain terancam denda sampai Rp10 juta." Lalu, pasal 279 juga mengancam "setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami, dengan pidana denda maksimal Rp10 juta (kategori II)."

Ust. Abdul Wahab Ahmad

Hukum Menabur Bunga Di Atas Kubur Menurut Fikih Islam

Muslimedianews.com ~ Menabur Bunga Di Atas Kubur

Mufti Mesir mendapat pertanyaan:

ﻧﺮﻯ ﻛﺜﻴﺮا ﻣﻦ ﺯﻭاﺭ اﻟﻘﺒﻮﺭ ﻳﻀﻌﻮﻥ ﻋﻠﻴﻬﺎ اﻟﺰﻫﻮﺭ ﻭاﻟﺠﺮﻳﺪ، ﻓﻬﻞ ﻫﺬا ﻣﺸﺮﻭﻉ؟
Kami melihat banyak peziarah kubur meletakkan bunga dan tumbuhan, apakah ini disyariatkan?

Syekh Athiyyah Shaqr menjawab:

ﻭاﻟﻌﻠﻤﺎء ﻓﻰ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺘﻪ ﻓﺮﻳﻘﺎﻥ، ﻓﺮﻳﻖ ﻳﻘﻮﻝ: ﺇﻧﻪ ﺧﺎﺹ ﺑﺎﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻟﻴﺲ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ ﻟﻐﻴﺮﻩ، ﻭﻓﺮﻳﻖ ﻳﻘﻮﻝ: ﺇﻧﻪ ﻋﺎﻡ ﻟﻜﻞ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ
Ada 2 golongan ulama berbeda pendapat soa disyaratkannya masalah ini. Golongan pertama mengatakan bahwa hal ini hanya khusus bagi Nabi shalallahu alaihi wasallam dan tidak disyariatkan bagi orang lain. Golongan lainnya mengatakan bahwa hal itu berlaku umum untuk semua orang Islam.

Bagi yang mengatakan khusus bagi Nabi adalah dalil:

(اﻧﻰ ﻣﺮﺭﺕ ﺑﻘﺒﺮﻳﻦ ﻳﻌﺬﺑﺎﻥ ﻓﺎﺣﺒﺒﺖ ﺑﺸﻔﺎﻋﺘﻰ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻌﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻣﺎ ﺩاﻡ اﻟﻐﺼﻨﺎﻥ ﺭﻃﺒﻴﻦ)
Saya lewat berjumpa dengan 2 kuburan yang sedang disiksa. Maka dengan syafaat saya, saya menginginkan agar siksa itu diangkat darinya selama pelepah kurma masih basah (HR Muslim)

ﻭاﻟﻔﺮﻳﻖ اﻟﻤﺠﻴﺰ ﻟﻮﺿﻊ اﻟﺠﺮﻳﺪ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﺒﺮ ﻟﻌﺎﻣﺔ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻗﺎﻝ: ﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺧﺼﻮﺻﻴﺔ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ، ﻓﻴﺒﻘﻰ ﻓﻌﻠﻪ ﻋﺎﻣﺎ ﻟﻪ ﻭﻷﻣﺘﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺄﺳﻰ ﺑﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﺨﺺ ﺑﻪ
Bagi golongan yang membolehkan meletakkan tumbuhan di atas makam bagi setiap Muslim, mereka berkata: "Tidak ada hadis yang mengkhususkan bagi Nabi saja. Maka boleh dikerjakan secara luas bagi Nabi atau umatnya"

ﻭﻗﻴﻞ: ﺇﻥ اﻟﻐﺼﻦ ﻳﺴﺒﺢ ﻣﺎ ﺩاﻡ ﺭﻃﺒﺎ ﻓﻴﺤﺼﻞ اﻟﺘﺨﻔﻴﻒ ﺑﺒﺮﻛﺔ اﻟﺘﺴﺒﻴﺢ، ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬا ﻓﻬﻮ ﻣﻄﺮﺩ ﻓﻰ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﺭﻃﻮﺑﺔ ﻣﻦ اﻷﺷﺠﺎﺭ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ
Ada yang mengatakan bahwa selama tumbuhan itu basah maka dapat meringankan siksa kubur karena berkah dzikir. Dari sini tetap berlaku bagi setiap tumbuhan yang basah seperti pohon dan lainnya

ﻫﺬﻩ ﻫﻰ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺠﻴﺰﻳﻦ ﻭاﻟﻤﺎﻧﻌﻴﻦ، ﻭﺃﺭﻯ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻨﻊ
Inilah permasalahan antara yang membolehkan dan melarang. Menurut saya (Mufti Mesir) tidak ada dalil yang melarangnya (Fatawa Al-Azhar 8/279)

Ust. Muhammad Ma'ruf Khozin

Makan Sambil Bercengkrama Itu Boleh Bahkan Disunnahkan

Muslimedianews.com ~ Makan bersama sangat lumrah di masyarakat, namun didalam terdapat hal yang diperbolehkan, bahkan disunnahkan untuk dilakukan yaitu sambil bercengkrama.

Bercengkrama (berbincang-bincang) sambil makan merupakan perkara yang mubah, bahkan ulama mengatakan sunnah bercengkrama saat makna untuk menambah suasana menyenangkan diantara orang-orang yang sedang menikmati makanan.



فتوى بعنوان: الكلام أثناء تناول الطعام والسؤال هو: ما حكم الكلام أثناء تناول الطعام؟
والإجابةهى: الكلام على الطعام مباح، بل قال العلماء باستحباب الحديث على الطعام تأنيسًا للآكلين؛ فعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رضي الله عنهما أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ سَأَلَ أَهْلَهُ الْأُدُمَ، فَقَالُوا: مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ، فَدَعَا بِهِ، فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ: «نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ، نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ» رواه مسلم.
قال الإمام النووي في "شرحه على صحيح مسلم" (14/ 7) عند شرح هذا الحديث: [وَفِيهِ: اسْتِحْبَابُ الْحَدِيثِ عَلَى الْأَكْلِ تَأْنِيسًا لِلْآكِلِينَ] اهـ.
والله سبحانه وتعالى أعلم.


Kebolehan Mengucapkan Selamat Natal Sesuai Dengan Kondisi Masyarakat

Muslimedianews.com ~ BOLEHKAN UCAPAN SELAMAT NATAL: PENDAPAT KONTEKSTUAL DI TENGAH PLURALITAS BANGSA

Oleh: Ahmad Muntaha AM

Sudah clear, bahwa hukum seorang muslim mengucapkan selamat natal (dan semisalnya) merupakan permasalahan khilafiyah atau yang diperselisihkan hukumnya di kalangan ulama Ahlussunah wal Jamaah.

Di antara ulama yang melarangnya adalah al Khatib As Syirbini (w. 977 H), pakar Fikih Syafi'i kota Kairo ini dalam Mughni Al Muhtaj (IV/255) menyatakan:

ومن هنأه بعيده
"Dan hendaknya Imam menghukum orang yang memberi ucapan selamat hari raya kepada non muslim dzimmi."

Demikian pula Ibn al Qayyim al Jauziyah (w. 751 H) dalam kitabnya Ahkam Ahl ad Dzimmah (I/441).

Meski demikian, dalam lingkungan Ahlussunah wal Jamaah rumusan itu tidak menjadi kesimpulan hukum yang tunggal. Banyak ulama lain yang berbeda pandangan.

Sebagai misal, as Syahid al Imam as Syaikh Muhammad Sa'id Ramadhan al Buthi (w. 1434 H/2013 M), ulama besar negeri Suriah yang secara tegas menyatakan kebolehan mengucapkan selamat hari raya kepada non muslim. Dalam kitab Musyswarat wa Fatawa (II/226) beliau menyatakan:

لا مانع من تهنئة أهل الكتاب بأفراحهم وأعيادهم وأي مناسبة من مناسبة الأفراح لديهم وتعزيتهم بأحزانهم. ولكن المحرم هو أن تشترك معهم في شيء من عبادتهم.
"Tidak ada alasan syar'i yang mencegah kebolehan memberi ucapan selamat kepada non muslim Ahli Kitab atas berbagai kebahagiaan, hari raya, momentum kebahagiaan apapun bagi mereka, dan bertakziah dalam kedukaan mereka. Namun yang haram adalah anda bersama-sama melakukan salah satu ibadah dari berbagai ibadah mereka bersama mereka."

Jadi menurut ulama yang mendapat penghormatan besar di dunia Islam ini, mengucapkan selamat hari raya kepada non muslim hukumnya boleh, tidak haram, apalagi merusak akidah. Yang penting tidak mengikuti ibadah atau ritual kebaktiannya.

Pendapat al Buthi ini juga dapat dikonfirmasi dalam kitabnya yang lain, Istifta an Nas (10).

Bila telah kita ketahui bahwa faktanya hukum mengucapkan selamat natal memang benar-benar merupakan permasalahan yang diperselisihkan, semestinya tidak boleh lagi ada sikap saling menyalah antara satu orang dengan lainnya karena perbedaan pendapat yang ada.

Bagi saya, pendapat Al Buthi ini dapat menjadi rujukan alternatif yang lebih kontekstual untuk umat Islam di Indonesia demi menjaga keharmonisan kehidupan berbangsa di tengah segala dinamika dan pluralitasnya. Sebagaimana pendapat ini juga menjadi referensi Fikih Kebangsaan (Jilid 1), Merajut Kebersamaan di Tengah Kebhinnekaan (95-61), karya Tim Bahtsul Masail Himasal (Himpunan Alumni Santri Lirboyo) yang sedang serius mengembangkan kajian fikih kebangsaan demi terjaganya negeri Indonesia yang damai, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Sumber:
1. Muhammad bin al Khatib as Syirbini, Mughni al Muhtaj ila Ma'rifah Ma'ani Alfazh al Minhaj, (Bairut: Dar al Ma'rifah, 1418 H/1997 M), VI/255.
2. Ibn Qayyim al Jauziyah, Ahkam Ahl ad Dzimmah, I/441.
3. Muhammad Sa'id Ramadhan al Buthi, Musyswarat wa Fatawa, II/226.
4. Muhammad Sa'id Ramadhan al Buthi, Istifta an Nas, 10.
5. Tim Bahtsul Masail Himasal, Fikih Kebangsaan Merajut Kebersamaan di Tengah Kebhinnekaan, (Kediri: Lirboyo Press, 2018), I/95-61.

Sunday, May 19, 2019

Ulama Al-Azhar Peringatkan Agar Berhati-Hari dengan Hizbut Tahrir

Muslimedianews.com ~ Banyak yang menanyakan tentang HT, apa pendapat masyayikh al-Azhar?

Aku pun kemaren (18/5/2019) menanyakan hal itu pada Syekh 'Esham Anas hafizhahullah sambil menceritakan bahwa kelompok ini sudah dilarang di Indonesia.

Jawaban Beliau:

حزب التحرير ممنوع فى مصر أيضا, وهو حزب تكفيرى فاحذروا منه.
والأزهر الشريف لا يؤيد قطعا مثل هذه الجماعات المتطرفة.
"HT juga dilarang di Mesir, kelompok itu merupakan kelompok yang takfiri (mengkafirkan yang berbeda dengan mereka). Kalian mesti berhati-hati dari kelompok itu.

Dan al-Azhar yang mulia tentu saja tidak mendukung semua kelompok yang radikal."

Semoga bermanfaat di dunia & akhirat.. Aamiin.

Oleh : Hilma Rosyida Ahmad

Thursday, May 02, 2019

Hukum Baca Bi-Qabulil Fatihah / Bi-Asraril Fatihah untuk Terkabulnya Do'a

Muslimedianews.com ~ Hukum membaca surah al-Fatihah dengan niat terkabulnya doa

السؤال :  هل يجوز أن نقرأ الفاتحة ونقول بعد الدعاء: بنية القبول وبأسرار سورة الفاتحة؟
Pertanyaan: Apakah diperbolehkan jika kami membaca surah al-Fatihah, lalu kami mengatakan setelah berdoa: biniyyatil qobuli wa bi asrari suratil fatihah (dengan niat terkabul dan dengan rahasia-rahasia surah al-Fatihah)?

الجواب :
Jawaban lajnah al Ifta' Mamlakah Yordania ;

الحمد لله، والصلاة والسلام على سيدنا رسول الله

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap terlimpah pada Sayyidina Rasulillah.

قراءة الفاتحة - بعد الدعاء أو قبله - بقصد التوسل لقبول الدعاء أمر مشروع ولا حرج فيه، وذلك لسببين اثنين:
الأول: أن التوسل بالقرآن الكريم هو توسل بصفة من صفات الله تعالى، والتوسل بصفات الله عز وجل مشروع باتفاق العلماء.
الثاني: أن التوسل بتلاوة الفاتحة توسل بعمل صالح، وهو أيضا مشروع باتفاق العلماء، واختيار سورة الفاتحة خاصة له وجه مقبول شرعا؛ وذلك لأنها أم الكتاب، وتجتمع فيها جميع معاني القرآن العظيم.

Membaca surah al-Fatihah -baik itu setelah maupun sebelum berdoa- dengan maksud bertawassul agar doanya terkabul merupakan perkara yang masyru' (legal), dan tidak ada masalah dalam hal ini, karena dua alasan:

(1) Tawassul dengan al-Quranul Karim itu merupakan tawassul dengan salah satu sifat Allah, dan tawassul dengan sifat-sifat Allah merupakan perkara yang mendapat legalitas syariat dengan kesepakatan Ulama.

(2) Tawassul dengan membaca surah al-Fatihah merupakan (bentuk) tawassul dengan amal shalih, yang ini pun juga mendapat legalitas syariat dengan kesepakatan Ulama. Dan memilih surah al-Fatihah secara khusus mempunyai sisi yang diterima secara syara', karena surah al-Fatihah merupakan Ummul kitab dan terkumpul seluruh kandungan makna al-Quran 



Group WA : مقهي المفكرين
Sumber asli : https://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=928

Thursday, April 25, 2019

Hukum Selamatan Rumah

Muslimedianews.com ~ Selamat rumah banyak dilakukan oleh umat Islam yang hendak menempati suatu rumah. Biasanya selamatan dilakukan dalam rangka memperoleh keberkahan dalam menempati rumah tersebut, terhindar dari hal-hal yang negatif selama menempatinya, dan lain sebagainya. 

Terkait dengan kebiasaan ini, didalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah terdapat keterangan sebagai berikut:

" الْوَكِيرَةُ فِي الاِصْطِلاَحِ : هُوَ الطَّعَامُ الَّذِي يُتَّخَذُ عِنْدَ الْفَرَاغِ مِنْ بِنَاءِ الدُّورِ فَيُدْعَى إِلَيْهِ .
Wakirah adalah makanan yang disajikan karena selesai membangun rumah dan mengundang orang lain

واخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ فِعْل الْوَكِيرَةِ وَالدَّعْوَةِ إِلَيْهَا :
Ulama beda pendapat tentang hukum Wakirah dan hukum mendatanginya

فَقَال الشَّافِعِيَّةُ : الْوَكِيرَةُ ـ كَسَائِرِ الْوَلاَئِمِ غَيْرَ وَلِيمَةِ الْعُرْسِ ـ مُسْتَحَبَّةٌ ، وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ، عَلَى الْمَذْهَبِ ، وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ ، وَلاَ تَتَأَكَّدُ تَأَكُّدَ وَلِيمَةِ النِّكَاحِ .
Ulama Syafi'iyah: Wakirah sama seperti undangan yang lain, hukumnya sunah dan tidak wajib, kecuali pernikahan. Seperti yang ditetapkan oleh mayoritas ulama namun tidak seperti anjuran resepsi pernikahan

وَقَال الْحَنَابِلَةُ : فِعْل الدَّعَوَاتِ ، لِغَيْرِ وَلِيمَةِ الْعُرْسِ : مُبَاحٌ، فَلاَ يُكْرَهُ وَلاَ يُسْتَحَبُّ.
Ulama Madzhab Hambali: Undangan selain pernikahan hukumnya adalah boleh. Tidak makruh dan tidak sunah

(الموسوعة الفقهية 45/ 115-118)

Ust. Ma'ruf Khozin

Monday, June 11, 2018

Penjelasan Mengenai Jasa Penukaran Uang di Bulan Ramadhan

Muslimedianews ~ Redaksi Bahtsul Masail NU Online, sering kali bermunculan penyedia jasa penukaran uang dadakan di pinggir jalan setiap kali menjelang lebaran. Mohon penjelasannya karena masalah ini diperselisihkan oleh sebagian orang. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Zainal Arifin/Jakarta).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Penyedia jasa penukaran uang di tepi jalan kerap kali muncul di akhir Ramadhan. Keberadaan mereka cukup membantu masyarakat yang membutuhkan jasa mereka. Praktik jasa penukaran uang ini menimbulkan polemik di masyarakat.

Masalah praktik penukaran uang ini cukup pelik. Praktik ini dapat dilihat dari dua sudut. Kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma'qud 'alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan kelebihan jumlah tertentu jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba.

Tetapi kalau yang dilihat dari praktik penukaran uang ini (ma'qud 'alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, maka praktik penukaran uang dengan kelebihan tertentu mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah.

Ijarah sebenarnya adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berupa jasa, bukan barang. Karena ijarah adalah sejenis jual beli, maka ia bukan termasuk kategori riba sebagai keterangan Kitab Fathul Mujibil Qarib berikut ini:

والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل

Artinya, “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas),” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Maktabatul As‘adiyyah: 2014 M/1434 H], cetakan pertama, halaman 123).

Perbedaan orang dalam memandang masalah ini muncul karena perbedaan mereka dalam memandang titik akad penukaran uang itu sendiri (ma'qud 'alaih). Sebagian orang memandang uang sebagai barang yang dipertukarkan. Sementara sebagian orang memandang jasa orang yang menyediakan jasa penukaran. Tetapi terkadang barang itu sendiri mengikut sebagai konsekuensi atas akad jasa tersebut sebagai keterangan Nihayatuz Zein berikut ini:

وقد تقع العين تبعا كما إذا استأجر امرأة للإرضاع فإنه جائز لورود النص والأصح أن المعقود عليه القيام بأمر الصبي من وضعه في حجر الرضيع وتلقيمه الثدي وعصره بقدر الحاجة وذلك هو الفعل واللبن يستحق تبعا

Artinya, “Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma'qud 'alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, PT Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 259).

Tarif yang harus dibayarkan pada penukaran uang di pinggir jalan adalah jasanya, bukan pada barangnya, yaitu uang. Pembayaran tarif pada jasa itu sendiri disebutkan dalam Al-Quran perihal perempuan sebagai penyedia jasa asi, bukan jual-beli asi seperti keterangan berikut ini:

قال الله تعالى: فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ علق الأجرة بفعل الإرضاع لا باللبن

Artinya, “Allah berfirman, ‘Bila mereka telah menyusui anakmu, maka berikan upah kepada mereka,’ (Surat At-Thalaq ayat 6). Allah mengaitkan upah di situ dengan aktivitas menyusui, bukan pada asinya,” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 249).

Soal tarif jasa penukaran uang ini memang tidak diatur di dalam fiqih. Tarif jasa disesuaikan dengan kesepakatan atau keridhaan antara kedua belah pihak. Kami menyarankan pemerintah untuk memberikan tarif referensi untuk jasa penukaran uang di tepi jalan mengingat praktik ini terus berulang setiap tahun.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

nu.or.id

Thursday, September 21, 2017

Kenapa Habib Luthfi Fanatik Kepada NU? Ini Jawabannya

Muslimedianews.com ~ Dulu saya sering duduk di rumahnya Kyai Abdul Fattah, untuk mengaji. Di situ ada seorang wali, namanya Kyai Irfan Kertijayan. Kyai Irfan adalah sosok yang nampak hapal keseluruhan kitab Ihya Ulumiddin, karena kecintaannya yang mendalam pada kitab tersebut. Setiap kali ketemu saya beliau pasti memandangi dan lalu menangis. Di situ ada Kyai Abdul Fattah dan Kyai Abdul Adzim.
Lama-kelamaan akhirnya beliau bertanya, “Bib, saya mau bertanya. Cara dan gaya berpakaian Anda kok sukanya sarung putih, baju dan kopyah putih, persis guru saya.”

“Siapa Kyai?” jawabku.

“Habib Hasyim bin Umar,” Jawab Kyai Irfan.

Saya mau ngaku cucunya tapi kok masih seperti ini, belum menjadi orang yang baik, batinku dalam hati. Mau mengingkari/berbohong tapi kenyataannya memang benar saya adalah cucunya Habib Hasyim. Akhirnya Kyai Abdul Adzim dan Kyai Abdul Fattah yang menjawab, “Lha beliau itu cucunya.”

Lalu Kyai Irfan merangkul dan menciumiku sembari menangis hebat saking gembiranya. Kemudian beliau berkata, “Mumpung saya masih hidup, saya mau cerita Bib. Tolong ditulis.”

“Cerita apa Kyai?” jawabku.

“Begini,” kata Kyai Irfan mengawali ceritanya. Mbah Kyai Hasyim Asy’ari setelah beristikharah, bertanya kepada Kyai Kholil Bangkalan, bermula dengan mendirikan Nahdlatut Tujjar dan Nahdlah-nahdlah yang lainnya, beliau merasa kebingungan. Hingga akhirnya beliau ke Mekkah untuk beristikharah di Masjidil Haram. Di sana kemudian beliau mendapat penjelasan dari Kyai Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Ahmad Nahrawi, ulama Jawa yang sangat alim. Kitab-kitab di Mekkah kalau belum di-tahqiq atau ditandatangani oleh Kyai Ahmad Nahrawi maka kitab tersebut tidak akan berani dicetak. Itu pada masa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti Mekkah pada waktu itu.

Syaikh Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Ahmad Nahrawi dawuh kepada Kyai Hasyim Asy’ari, “Kamu pulang saja. Ini alamat/pertanda NU bisa berdiri hanya dengan dua orang. Pertama Habib Hasyim bin Umar Bin Yahya Pekalongan, dan kedua Kyai Ahmad Kholil Bangkalan (Madura).”

Maka Kyai Hasyim Asy’ari pun segera bergegas untuk pamit pulang kembali ke Indonesia. Beliau bersama Kyai Asnawi Kudus, Kyai Yasin dan kyai-kyai lainnya langsung menuju ke Simbang Pekalongan untuk bertemu Kyai Muhammad Amir dengan diantar oleh Kyai Irfan dan kemudian langsung diajak bersama menuju kediaman Habib Hasyim bin Umar.

Baru saja sampai di kediaman, Habib Hasyim langsung berkata, “Saya ridha. Segeralah buatkan wadah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ya Kyai Hasyim, dirikan, namanya sesuai dengan apa yang diangan-angankan olehmu, Nahdlatul Ulama. Tapi tolong, namaku jangan ditulis.” Jawaban terakhir ini karena wujud ketawadhuan Habib Hasyim.

Kemudian Kyai Hasyim Asy’ari meminta balagh (penyampaian ilmu) kepada Habib Hasyim, “Bib, saya ikut ngaji bab hadits di sini. Sebab Panjenengan punya sanad-sanad yang luar biasa.” Makanya Kyai Hasyim Asy’ari tiap Kamis Wage pasti di Pekalongan bersama Hamengkubuwono ke sembelian yang waktu itu bernama Darojatun, mengaji bersama. Jadi Sultan Hamengkubowono IX itu bukan orang bodoh, beliau orang yang alim dan ahli thariqah.

Setelah dari Pekalongan Kyai Hasyim Asy’ari menuju ke Bangkalan Madura untuk bertemu Kyai Ahmad Kholil Bangkalan. Namun baru saja Kyai Hasyim Asy’ari tiba di halaman depan rumah Kyai Kholil sudah mencegatnya seraya dawuh, “Keputusanku sama seperti Habib Hasyim!” Lha ini dua orang kok bisa kontak-kontakan padahal Pekalongan-Madura dan waktu itu belum ada handphone. Inilah hebatnya.

Akhirnya berdirilah Nahdlatul Ulama. Dan Muktamar NU ke-5 ditempatkan di Pekalongan sebab hormat kepada Habib Hasyim bin Umar. Jadi jika dikatakan Habib Luthfi kenceng (fanatik) kepada NU, karena merasa punya tanggungjawab kepada Nahdlatul Ulama dan semua habaib. Dan ternyata cerita ini disaksikan bukan hanya oleh Kyai Irfan, tapi juga oleh Habib Abdullah Faqih Alattas, ulama yang sangat ahli ilmu fiqih.

Maka dari itu Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas dengan Habib Hasyim Bin Yahya tidak bisa terpisahkan. Kalau ada tamu ke Habib Hasyim, pasti disuruh sowan (menghadap) dulu kepada yang lebih sepuh yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas. Dan jika tamu tersebut sampai ke Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib maka akan ditanya, “Kamu suka atau tidak kepada adikku Habib Hasyim bin Umar?” dengan maksud agar sowannya ke Habib Hasyim saja. Itulah ulama memberikan contoh kepada kita tidak perlunya saling berebut dan sikut, tapi selalu kompak dan rukun.

Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas wafat tahun 1347 Hijriyah bulan Rajab tanggal 14, dan haulnya dilaksanakan tanggal 14 Sya’ban. Tiga tahun setelahnya, tahun 1350 Hijriyah, Habib Hasyim bin Umar Bin Yahya wafat. Setahun kemudian (1351 H) adalah wafatnya Habib Abdullah bin Muhsin Alattas Bogor. Waktu itu banyak para ulama besar seperti Mbah Kyai Adam Krapyak dan Kyai Ubaidah, merupakan para wali Allah dan samudera keilmuan.

(Dokumentasi ceramah Habib Luthfi Bin Yahya pada Haul Pakisputih Kedungwuni Pekalongan: https://youtu.be/7d_TsdSBVvE. Dialihbahasakan oleh Syaroni As-Samfuriy).

Kronologi Lengkap Fatwa Abuya Muhtadi Melarang Ormas HTI dan FPI

Muslimedianews.com ~ Beberapa saat yang lalu viral video cuplikan fatwa Abuya Muhtadi Pandeglang Banten yang berfatwa melarang ormas HTI dan FPI ada di Indonesia. Karena menyisakan perdebatan dan polemik yang tiada ujungnya, maka berikut ini saya sajikan edisi lengkapnya tanpa potongan. Disajikan apa adanya agar menjadi jelas tanpa ditutup-tutupi.

Setelah para santri Gus Dur yang dipimpin KH. Wahid Maryanto, yang biasa disapa Pak Acun, sowan ke kediaman Abuya Uci Turtusi di Cilongok Banten maka rombongan bertolak ke kediaman Abuya Muhtadi Pandeglang Banten. Acara itu dalam rangka melestarikan laku amaliah Gus Dur semasa hidupnya, yakni berziarah (sowan) ke makam-makam orang shaleh dan ziarah kepada para sesepuh dan orang-orang shaleh yang masih hidup. Dan acara sowan ini berlangsung tahun 2015 silam.

Sesampai di Pondok Pesantren Raudhatul Ulum Cidahu, Pandeglang, Banten, asuhan KH. Ahmad Muhtadi Dimyathi, rombongan disambut dengan hangat dan ramah oleh sang pengasuh. Mewakili rombongan Kyai Wahid meminta ijin kepada Abuya Muhtadi untuk meminta berkah doa beliau. Beliau pun langsung memimpin doa yang diamini oleh para santri Gus Dur.

Kemudian dilanjut dengan obrolan ringan. Sesaat kemudian Abuya Muhtadi mengajak rombongan naik ke ruangan perpustakaan beliau di lantai atas. Beliau mengambil kitab Kifayatul Mustafid karangan Syaikh Mahfudz Termas. Beliau ingin menunjukkan kepada para santri bahwa harus berhati-hati dengan kitab-kitab yang dicetak sekarang. Karena banyak sekali dari kitab tersebut yang sudah mengalami distorsi/tahrif/pengubahan yang disengaja oleh oknum-oknum tertentu.
Abuya Muhtadi sembari menunjukkan kitab dan halaman yang dimaksud, beliau berkata dengan nada sangat menyayangkan:

ما من صحيفة تلك الكتب ومن تلك النسخ إلا وفيها زيادة أو نقص مبطل لسياق الكلام

“Tidaklah yang ada dalam kitab-kitab dan lembaran-lembaran itu terkecuali sudah mengalami penambahan dan pengurangan yang bathil (tidak benar).”

Kemudian Abuya Muhtadi berfatwa: “Tetap ormas Islam yang datang dari Luar Negeri tidak boleh masuk Indonesia. Selamanya! Siapapun, HTI, FPI, semuanya!”

Obrolan yang bernada tegas namun tetap dengan suasana khas kyai pesantren, kyai NU, yakni candaan yang menyenangkan. Tentu sarat dengan hikmah dan pelajaran yang dalam. Sejenak kemudian beliau kembali menegaskan bahwa para generasi penerus harus waspada terhadap ormas-ormas Islam, yang bentuknya memang Islam, datang dari luar negeri, tapi menolak Pancasila. Semua ormas itu dilarang masuk Indonesia. Karena bagi Abuya Muhtadi Pancasila sudah final.
Bahkan Abuya Muhtadi siap mengadakan pertemuan dan diskusi terbuka kepada siapapun yang tidak setuju atau tidak terima. “Silakan datang ke sini, ayo adakan pertemuan. Kita buka bersama.” Tutur Abuya Muhtadi dengan maksud orang-orang yang belum paham agar mau mengaji kepada kyai dan guru yang silsilah keguruannya nyambung hingga ke Rasulullah Saw.

Sebelum pamitan, rombongan santri Gus Dur memberikan cinderamata kepada Abuya Muhtadi sebuah foto Ulama-ulama Nusantara berfigura. Lalu Abuya Muhtadi menyebutkan sanad keguruan kitab Kifayatul Mustafid yang diwasiati dari almarhum ayahanda kepada dirinya, “Saya dari al-Walid (ayahanda; KH. Dimyathi), dari Syaikh Dalhar Watucongol, dari Syaikh Mahfudz Termas (sang muallif/penyusun kitab).” 

Video lengkapnya tonton di sini: https://youtu.be/XYzr1rBVvAw 

Wednesday, August 02, 2017

Hukum Merobohkan Masjid untuk Jalan Tol (Kemaslahan Umum)

Muslimedianews.com ~ Deskripsi Masalah: Seiring perkembangn zaman infrastruktur mulai ditingkatkan seperti pembangunan jalan tol. Sedikit mengganjal dibenak kami pembangunan tol sepanjang 75 Km merobohkn masjid sebanyak 164.

Beberapa pertimbangan:
1. Masjid berdiri diatas tanaf waqaf. 
2.  Sebagian besar belum mendapat ganti rugi .
3. Masjid roboh akan terus bertambah.

Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya memberi kebijakan atas terealisasinya jalan tol, sampai merobohkan masjid?

Jawaban :
Kebijakan pemerintah dalam Menggusur beberapa masjid dan memindahkan ketempat lain dengan tujuan perluasan jalan raya/proyek jalan tol. hukumnya terdapat khilaf:
1. Tidak boleh menurut madzhab Syafi'i.
3. Boleh menurut madzhab Hanbali dan madzhab Maliki jika hal tersebut berdasarkan kemaslahatan atau kebutuhan. Namun dengan ganti rugi yang sesuai.

Maraji'


ﻣﺬﻫﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻓﻲ ﺑﻴﻊ اﻟﻤﻮﻗﻮﻑ:
ﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ (¬2):
1 - ﺇﺫا اﻧﻬﺪﻡ ﻣﺴﺠﺪ ﺃﻭ ﺧﺮﺏ ﻭاﻧﻘﻄﻌﺖ اﻟﺼﻼﺓ ﻓﻴﻪ، ﻭﺗﻌﺬﺭﺕ ﺇﻋﺎﺩﺗﻪ، ﺃﻭ ﺗﻌﻄﻞ ﺑﺨﺮاﺏ اﻟﺒﻠﺪ ﻣﺜﻼ، ﻟﻢ ﻳﻌﺪ ﺇﻟﻰ ﻣﻠﻚ ﺃﺣﺪ، ﻭﻟﻢ ﻳﺠﺰ اﻟﺘﺼﺮﻑ ﻓﻴﻪ ﺑﺤﺎﻝ ﺑﺒﻴﻊ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ؛ ﻷﻥ ﻣﺎ ﺯاﻝ اﻟﻤﻠﻚ ﻓﻴﻪ ﻟﺤﻖ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻳﻌﻮﺩ ﺇﻟﻰ اﻟﻤﻠﻚ ﺑﺎﻻﺧﺘﻼﻝ، ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﺃﻋﺘﻖ ﻋﺒﺪا، ﺛﻢ ﻣﺮﺽ ﻣﺮﺿﺎ ﻣﺰﻣﻨﺎ، ﻻﻳﻌﻮﺩ ﻣﻠﻜﺎ ﻟﺴﻴﺪﻩ. ﻭﺗﺼﺮﻑ ﻏﻠﺔ ﻭﻗﻔﻪ ﻷﻗﺮﺏ اﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﺇﻟﻴﻪ ﺇﺫا ﻟﻢ ﻳﺘﻮﻗﻊ ﻋﻮﺩﻩ، ﻭﺇﻻ ﺣﻔﻆ.
(الفقه الإسلامي ١٠/ ٧٦٧٨)

ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ اﺳﺘﺒﺪاﻝ اﻟﻤﻮﻗﻮﻑ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﺇﻥ ﺧﺮﺏ ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻠﺤﻨﻔﻴﺔ
ﻭﺻﻮﺭﺗﻪ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ اﻟﻤﺤﻞ ﻗﺪ ﺁﻝ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻘﻮﻁ ﻓﻴﺒﺪﻝ ﺑﻤﺤﻞ ﺁﺧﺮ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻨﻪ ﺑﻌﺪ ﺣﻜﻢ ﺣﺎﻛﻢ ﻳﺮﻯ ﺻﺤﺘﻪ
(نهاية الزين ١/ ٢٧٢)

مكتبة الإسلامي ( حنبلي )وَقَالَ يَجِبُ بَيْعُ الْوَقْفِ مَعَ الْحَاجَةِ بِالْمِثْلِ وَبِلاَ حَاجَةٍ يَجُوزُ بِخَيْرٍ مِنْهُ لِلْمَصْلَحَةِ وَلاَ يَجُوزُ بِمِثْلِهِ لِفَوَاتِ التَّغْيِيرِ بِلاَ حَاجَةٍ وَذَكَرَهُ وَجْهًا فِي الْمُنَاقَلَةِ وَأَوْمَأَ إلَيْهِ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ وَقَالَ شِهَابُ الدِّينِ بْنُ قُدَامَةَ فِي كِتَابِهِ الْمُنَاقَلَةِ فِي اْلأَوْقَافِ وَاقِعَةُ نَقْلِ مَسْجِدِ الْكُوفَةِ وَجَعْلِ بَيْتِ الْمَالِ فِي قِبْلَتِهِ وَجَعْلِ مَوْضِعِ الْمَسْجِدِ سُوقًا لِلتَّمَّارِينَ اشْتَهَرَتْ بِالْحِجَازِ وَالْعِرَاقِ وَالصَّحَابَةُ مُتَوَافِرُونَ وَلَمْ يُنْقَلْ إِنْكَارُهَا وَلاَ اْلاعْتِرَاضُ فِيهَا مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ بَلْ عُمَرُ هُوَ الْخَلِيفَةُ اْلآمِرُ وَابْنُ مَسْعُودٍ هُوَ الْمَأْمُورُ النَّاقِلُ فَدَلَّ هَذَا عَلَى مَسَاغِ الْقِصَّةِ وَاْلإِقْرَارِ عَلَيْهَا وَالرِّضَى بِمُوجَبِهَا وَهَذِهِ حَقِيقَةُ اْلاسْتِبْدَالِ وَالْمُنَاقَلَةِ وَهَذَا كَمَا أَنَّهُ يَدُلُّ عَلَى مَسَاغِ بَيْعِ الْوَقْفِ عِنْدَ تَعَطُّلِ نَفْعِهِ فَهُوَ دَلِيلٌ أَيْضًا عَلَى جَوَازِ اْلاسْتِدْلاَلِ عِنْدَ رُجْحَانِ الْمُبَادَلَةِ وَِلأَنَّ هَذَا الْمَسْجِدَ لَمْ يَكُنْ مُتَعَطِّلاً وَإِنَّمَا ظَهَرَتِ الْمَصْلَحَةُ فِيْ نَقْلِهِ لِحِرَاسَةِ بَيْتِ الْمَالِ الَّذِيْ جُعِلَ فِيْ قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ الثَّانِيْ انْتَهَى مطالب أولي النهى في شرح غاية المنتهى الجزء 4 صحـ :

ﺇﺫا ﺿﺎﻕ اﻟﻤﺴﺠﺪ ﺑﺄﻫﻠﻪ ﻭاﺣﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺗﻮﺳﻌﺘﻪ، ﻭﺑﺠﺎﻧﺒﻪ ﻋﻘﺎﺭ ﻭﻗﻒ ﺃﻭ ﻣﻠﻚ؛ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻴﻊ اﻟﺤﺒﺲ ﻟﺘﻮﺳﻌﺔ اﻟﻤﺴﺠﺪ، ﻭﺇﻥ ﺃﺑﻰ ﺻﺎﺣﺐ اﻟﺤﺒﺲ ﺃﻭ اﻟﻤﻠﻚ ﻣﻦ ﺑﻴﻊ ﺫﻟﻚ ﻓﺎﻟﻤﺸﻬﻮﺭ اﻟﺠﺒﺮ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﻴﻊ، ﻭﻳﺸﺘﺮﻯ ﺑﺜﻤﻦ اﻟﺤﺒﺲ ﺣﺒﺴﺎ ﻛﺎﻷﻭﻝ، ✍🏻ﻭﻣﺜﻞ ﺗﻮﺳﻌﺔ اﻟﻤﺴﺠﺪ ﺗﻮﺳﻌﺔ ﻃﺮﻳﻖ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻭﻣﻘﺒﺮﺗﻬﻢ، ✍🏻ﻭﺃﻣﺎ ﺗﻮﺳﻌﺔ ﺑﻌﺾ اﻟﺜﻼﺛﺔ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ ﻓﻔﻲ ﻋﺞ ﺃﻧﻪ ﻳﺆﺧﺬ اﻟﺠﻮاﺯ ﻣﻦ اﻟﺸﻴﺦ ﻋﻨﺪ ﻗﻮﻝ اﻟﻤﺼﻨﻒ ﻭاﺗﺒﻊ ﺷﺮﻃﻪ ﺇﻥ ﺟﺎﺯ ﺃﻥ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻟﻠﻪ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﺴﺘﻌﺎﻥ ﺑﺒﻌﻀﻪ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ اﻟﺸﺮاﺡ اﻟﺘﻨﺼﻴﺺ ﺑﺄﻧﻪ ﻻ ﻳﻬﺪﻡ اﻟﻤﺴﺠﺪ ﻟﺗﻮﺳﻴﻊ اﻟﻄﺮﻳﻖ، ﺑﺨﻼﻑ اﻟﺪﻓﻦ ﻓﻴﻪ ﻟﻀﻴﻖ اﻟﻤﻘﺒﺮﺓ؛ ﻷﻥ اﻟﻤﺴﺠﺪ ﺑﺎﻕ ﺑﺤﺎﻟﻪ.قرة العين بفتاوى علماء الحرمين ج1 ص 259

ﻭﺃﺟﺎﺯ اﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﺑﻴﻊ اﻟﻌﻘﺎر ﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺗﻮﺳﻴﻊ ﻣﺴﺠﺪ ﺟﺎﻣﻊ ﻭﺳﻮاء ﻛﺎﻥ اﻟﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻴﻨﻴﻦ ﺃﻭ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻴﻨﻴﻦ. ﻭاﻟﻤﺮاﺩ ﺑﺎﻟﻤﺴﺠﺪ اﻟﺠﺎﻣﻊ اﻟﺬﻱ ﺗﻘﺎﻡ ﻓﻴﻪ اﻟﺠﻤﻌﺔ، ﻗﺎﻝ اﺑﻦ ﺭﺷﺪ: ﻇﺎﻫﺮ ﺳﻤﺎﻉ اﺑﻦ اﻟﻘﺎﺳﻢ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺟﺎﺋﺰ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﺴﺠﺪ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﺳﺤﻨﻮﻥ. ﻭﻓﻲ اﻟﻨﻮاﺩﺭ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻭاﻷﺧﻮﻳﻦ ﻭﺃﺻﺒﻎ ﻭاﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺤﻜﻢ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﻣﺴﺎﺟﺪ اﻟﺠﻮاﻣﻊ ﺇﻥ اﺣﺘﻴﺞ ﻟﺬﻟﻚ، ﻻ ﻓﻲ ﻣﺴﺎﺟﺪ اﻟﺠﻤﺎﻋﺎﺕ ﺇﺫ ﻟﻴﺴﺖ اﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﻓﻴﻬﺎ ﻛﺎﻟﺠﻮاﻣﻊ.
🖊ﻛﻤﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻴﻊ اﻟﻮﻗﻒ ﻟﺘﻮﺳﻌﺔ ﻣﻘﺒﺮﺓ ﺃﻭ ﻃﺮﻳﻖ ﻟﻤﺮﻭﺭ اﻟﻨﺎﺱ،
ﻓﻴﺠﻮﺯ ﺑﻴﻊ اﻟﻮﻗﻒ ﻟﺬﻟﻚ ﻭﻟﻮ ﺟﺒﺮا ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻴﻦ ﺃﻭ
اﻟﻨﺎﻇﺮ، ﻭﺃﻣﺮ اﻟﻤﺴﺘﺤﻘﻮﻥ ﻭﺟﻮﺑﺎ ﺑﺠﻌﻞ ﺛﻤﻨﻪ ﻓﻲ ﺣﺒﺲ ﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻻ ﻳﺠﺒﺮﻫﻢ اﻟﺤﺎﻛﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺠﻌﻞ ﻓﻲ ﺣﺒﺲ ﻏﻴﺮﻩ، ﺃﻱ
ﻻ ﻳﻘﻀﻲ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﻪ
الموسوعة الفقهية الكويتية. ٤٤/ ١٩٨- ١٩٩)

وَالصُّوْرَةُ الثَّانِيَةُ هِيَ الاسْتِمْلاَكُ لِأَجْلِ مَصَالِحِ الْعَامَّةِ فَقَدْ أَجَازَ الشَّرْعُ اْلإِسْلاَمِيُّ اسْتِمْلاَكَ اْلأَرْضِ الْمُجَاوِرَةِ لِلْمَسْجِدِ جَبْرًا عَلَى أَصْحَابِهَا إِذَا امْتَنَعُوْا عَنْ بَيْعِهَا وَضَاقَ الْمَسْجِدُ بِأَهْلِهِ وَاحْتَاجَ إِلَيْهَا كَمَا أَجَازُوْا مِثْلَ ذَلِكَ لِأَجْلِ تَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ إِذَا دَعَتْ حَاجَةُ النَّاسِ إِلَى تَوْسِيْعِهِ وَذَلِكَ بِالْقِيْمَةِ الَّتِيْ يُسَاوِيْهَا الْعِقَارُ الْمُسْتَمْلَكُ حَتَّى لَقَدْ نَصَّ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يُؤْخَذَ لِتَوْسِيْعِ الطَّرِيْقِ جَانِبٌ مِنَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ الْحَاجَةِ اهـ المدخل


DMU PODOKATON / DARUMAFATIHIL ULUM
 Keputusan musyawaroh al mutahorij, Tanggal 25 juli 2017, Nomor; 047  masjid di jadikan jalan tol

Saturday, April 29, 2017

Hukum Menyerupai Suatu Kaum Misal Non-Muslim

Muslimedianews.com ~ Belakangan ini netizen disibukkan dengan isu larangan menyerupai nonmuslim. Fenomena seperti ini hampir selalu muncul pada setiap tahun. Tidak pernah habisnya. Argumentasi yang dilontarkan dari tahun ke tahun pun relatif sama dan tidak jauh berbeda. Di antara dalil yang sering dikutip untuk kasus ini adalah hadis riwayat Abu Dawud:

من تشبه بقوم فهو منهم
Artinya:
“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR: Abu Dawud)

Kesahihan hadis ini sebenarnya masih diperdebatkan ulama. Ada yang mengatakan sahih, tapi tidak sedikit pula yang berpendapat hadis ini dhaif (lemah).

Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan perbedaan pendapat ini dikarenakan perawi bernama ‘Abdul Rahman Ibn Tsabit Ibn Tsauban. Ulama berbeda pendapat dalam menilai ‘Abdul Rahman ini. Sebagaimana dicatat al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’, al-Nasa’i mengatakan ‘Abdur Rahman laysa bi tsiqah; Ahmad Ibn Hanbal berpendapat riwayat hadisnya munkar; Yahya Ibn Ma’in menilai laysa bihi ba’s; Ibnu ‘Adi mengatakan hadisnya tetap ditulis sekali pun dhaif.

Andaikan hadis ini kita katakan sahih, namun apakah ini dapat dijadikan dalil larangan menyerupai nonmuslim? Menurut Kiai Ali Mustafa Ya'qub, hadis ini tidak dapat dijadikan dalil keharaman menyerupai nonmuslim dalam hal berpakaian, rambut, dan sejenisnya. Kecuali jika tasyabbuh (menyerupai) tersebut terjadi dalam hal pakaian khas keagamaan nonmuslim dan tasyabbuh dalam bidang akidah dan ibadah.


Oleh karenanya, hadis tasyabbuh di atas tidak boleh digeneralisir maknanya sebab akan bertentangan dengan hadis lain yang lebih sahih. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan Ibnu ‘Abbas pernah berkata:  

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم يحب موافقة أهل الكتاب فيما لم يؤمر به
Artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW menyukai untuk menyamai Ahlul Kitab dalam hal yang tidak diperintahkan (di luar masalah keagamaan)” (HR: al-Bukhari)

Dalam beberapa hal, khususnya persoalan mu’amalah dan tidak berkaitan dengan akidah, justru Rasulullah SAW tidak sekaku yang kita bayangkan. Terkadang beliau juga mengikuti penampilan ahlul kitab dan model sisiran rambut mereka. Hal ini sebagaimana yang disaksikan langsung oleh Ibnu ‘Abbas.

Memang ada beberapa hadis sahih yang memerintahkan agar umat Islam harus berbeda dengan nonmuslim. Misalnya dalam riwayat al-Bukhari dikatakan khaliful yahud (berbedalah dengan orang Yahudi). Namun perlu digarisbahawi, hadis seperti ini muncul dalam konteks perang antara muslim dengan nonmuslim. Pada waktu itu belum ada pembeda khusus antara kedua belah piha,k melainkan dari penampilan fisik. Maka dari itu, Rasulullah SAW menyuruh memanjangkan jenggot dan mencukur kumis untuk membedakan muslim dengan orang kafir.

Dengan demikian, pada situasi damai, antara muslim dan nonmuslim, keduanya dapat berjalan bergandeng tangan dan berkerja sama. Meskipun beda agama, maka pembedaan fisik antara keduanya tidak diperlukan lagi. Wallahu a’lam.

Ustadz Hengki Ferdiansyah, via nu.or.id

Hukum Duduk atau Nongkrong Di pinggir Jalan

Muslimedianews.com ~ Salah satu dari sekian banyak aktivitas yang dilakukan para muda kita dewasa ini, cenderung menjauh bahkan bertentangan dari pada ajaran-ajaran Islam. Seperti diantaranya membentuk club-club kendaraan bermotor, berkumpul di ruas-ruas jalan sambil memparkir kendaraannya di pinggir jalan, atau melakukan pawai keliling. Waktu muda yang pontensial tidak mereka gunakan sebagaimana mestinya alias mereke sia-siakan begitu aja. Bagaimanakah fenomena ini menurut pandangan Islam?

FORSAN SALAF menjawab :

Pada dasarnya Islam memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melakukan kegiatan apapun, selama kegiatan yang dilakukan itu tidak membahayakan pelaku dan orang lain ataupun lingkungannya. Sebagaimana juga dihalalkannya segala sesuatu yang ada di bumi ini untuk dimakan, selama sesuatu itu tidak membahayakan atau ada dalil yang mengharamkannya.

Adapun kebiasaan para muda yang nongkrong di ruas-ruas jalan dengan berbagai macam atributnya adalah boleh saja untuk dilakukan. Asal mampu melaksanakan kewajiban dan mampu memberikan hak pengguna jalan, diantaranya tidak mengganggu pengguna jalan, dan dapat memberikan manfaat, serta tidak melihat wanita yang sedang berjalan yang bukan mahromnya.

Sebagaimana dikisahkan, Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kepada orang-orang yang sering duduk di pinggir-pinggir jalan, beliau bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Hati-hati kalian jangan duduk-duduk di pinggir jalan”. Maka mereka menjawab, “Ya Rasulullah kami tidak bisa menghindarinya, kami hanya bercakap-cakap saja”. Maka Nabi menjawab, “ Jika kamu memang harus duduk, maka berikanlah hak-haknya jalan, yaitu; memejamkan mata dari pada yang haram, jangan mengganggu orang yang berjalan,  menjawab salam,  mengajak orang berbuat baik,  mencegah orang berbuat kemungkaran,”.(HR Muslim. 3960)



Adapun fenomena yang dilakukan pemuda saat ini justru sebaliknya, mereka mengganggu jalan dan cenderung menciptakan konflik dengan para pejalan yang lain. Bahkan berkumpulnya mereka ini jadikan ajang untuk ngobrol, hibah kesana kemari atau berbicara yang tidak ada manfaatnya. Tempat yang mereka pilih untuk nongkrong adalah tempat yang ramai dilalui para pejalan kaki dan tak jarang wanita yang lewat digoda.

Perkumpulan yang mereka adakan tidak ada maksud untuk saling menyebarkan atau menjawab salam. Sehingga yang terjadi tidak ada ‘amar-ma’ruf dan nahi-munkar, namun justru sebaliknya. Dengan demikian, maka hukumnya adalah tidak dibenarkan dalam agama.

Sementara itu, dalam pandangan Islam masa muda adalah masa yang sangat urgen dalam jenjang kehidupan manusia., karenanya harus lebih bijak dalam menggunakannya. Pemuda tidak hanya dituntut untuk menghindari perbuatan yang tidak baik, namun lebih dari itu, seorang pemuda harus mampu menentukan pilihan terhadap sesuatu hal yang terbaik dari yang baik. Perbuatan yang lebih memberikan manfaat baginya dan juga bagi kepentingan agamanya serta menambah kekuatan dan keteguhan imannya. Sebab masa muda adalah waktu yang tepat untuk digunakan dengan memperbanyak segala macam kegiatan yang positif, karena masih didukung dengan kondisi tubuh masih prima. Karenanya, masa muda merupakan masa puncaknya kekuatan manusia, jika telah berlalu masa muda, maka berlalu pula kekuatannya, dan tidak akan dijumpai kekuatan itu lagi kecuali masa tua yang penuh dengan kekurangan dan kelemahan.

Sebagaimana dicontohkan sekelompok pemuda Ashabul-Kahfi yang begitu kuat untuk menjaga agama dan imannya, mereka masuk ke dalam gua demi untuk menghindari pengaruh masyarakatnya yang telah banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar agama. Dikisahkan dalam Alquran (QS.18:10):

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدً
(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini).”

Begitu juga ketika di masa muda, Nabi Ibrahim berani untuk melakukan penghancuran terhadap berhala-berhala, demi mewujudkan ke-ESA-an Tuhannya, ini adalah suatu perbuatan yang sangat tinggi nilai keluhurannya, meskipun perbuatan yang dilakukan itu berdampak terhadap terancamnya keselamatan jiwanya. Firman Allah SWT dalam Aquran (QS.21:58-60):

فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآَلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan Ini terhadap tuhan-tuhan kami, Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala Ini yang bernama Ibrahim “.

Dalam sejarah juga dibuktikan bahwa diantara orang-orang yang pertama kali masuk Islam (Assabiqun Alawwalun) adalah para pemuda. Diantaranya adalah seorang saudagar kaya yang relatif masih muda, dialah Abu Bakar Ra. yang pada saat itu berusia 38 tahun, bahkan ada yang jauh lebih muda, Ali Bin Abi Thalib Ra. yang merupakan sepupu Nabi yang masih berusia 10 tahun. Dan masih banyak pemuda-pemuda yang lain yang juga turut berjuang bersama Nabi dalam permulaan Islam yang tidak mungkin disebutkan semua dalam rubrik yang singkat ini. Peran pemuda-pemuda inilah yang membantu dakwah Nabi dalam menyebarkan agama Islam pertama kali di muka bumi ini.

Oleh sebab itu, jika kita mau menilik kekuatan Islam di masa-masa awal, sebenarnya terletak pada pemudanya. Sedang yang terjadi dewasa ini, justru keadaannya tidak demikian, bahkan mereka lebih akrab dengan budaya-budaya yang tidak ada hubungannya, bahkan bertentangan dengan Islam.

Selain itu karena memang ada usaha-usaha dari musuh-musuh Islam, dengan sengaja menjauhkan pemuda-pemuda kita dari pada ajaran Islam, dengan tujuan untuk mengahancurkan Islam, sehingga umat Islam tidak memiliki power, meskipun jumlah umat Islam sangat banyak. Adapun salah satu “senjata” yang digunakan oleh musuh-musuh Islam dan cukup efektif pengaruhnya terhadap pemuda-pemuda Islam diantaranya adalah tayangan-tayangan di televisi, yang cenderung untuk ditiru, karena memang dikemas dengan baik sehingga menarik perhatian pemuda-pemuda kita.


Maka langkah-langkah yang perlu dilakukan agar pemuda-pemuda kita memiliki prinsip yang kuat dan tidak mudah terpengaruh terhadap budaya yang negatif diantaranya; tentunya melarang kepada pemuda-pemuda kita dari pada menyaksikan tayangan-tayangan televisi yang tidak mendidik. Untuk hal ini, lebih jauh lagi khusus bagi orang tua, hendaknya bentuk larangan ini dan juga bentuk pendidikan-pendidikan positif yang lain harusnya mulai diberikan sebelum mereka menginjak masa remaja atau dewasa. Pendidikan yang diberikan sejak dini kepada anak, akan membuat anak menjadi terbiasa, sehingga pendidikan ini akan membentuk karakter yang kuat ketika anak menginjak masa remaja atau dewasa.

Sejalan dengan itu, pendidikan tentang ajaran Islam juga harus didahulukan dan termasuk yang utama yang harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Dengan demikian, anak bisa memahami dan meyakini tentang kebenaran ajaran Islam dan juga menyadari tentang pentingnya untuk melaksanakan dengan benar terhadap ajaran Islam. Sebab, jika seseorang tidak tahu tentang sesuatu hal, maka dia akan cenderung menilai  sesuatu itu sesuai dengan selera dan pemahamannya sendiri, semisal jika seseorang tidak tahu bahwa, obat yang pahit dan suntikan yang sakit itu sebenarnya bermanfaat untuk menyembuhkan penyakitnya, maka dia tidak akan mau minum obat dan akan menolak untuk disuntik. Dalam memahami ajaran Islam juga demikian, jika seseorang tidak memahami makna ajaran Islam dengan tepat, maka akan dianggapnya ajaran Islam adalah suatu ajaran yang “pahit” dan “menyakitkan”.

Berbeda ketika permulaan masa Islam dahulu, jika ada orang musyrik jahiliyah yang tertarik kepada Islam dan masuk kepada agama Islam, maka dia akan menjadi pemeluk Islam yang baik dan meyakini tentang kebenaran ajarannya, karena dia berusaha untuk memahami Islam dengan sebenarnya. Namun sekarang keadaanya terbalik, umat Islam sekarang berperilaku seperti jahiliyah, yang tidak meyakini tentang kebenaran ajaran Islamnya, bahkan tidak pernah terlintas keinginan dalam hatinya, atau paling tidak meluangkan waktunya untuk mempelajari dan memahami dengan benar tentang ajaran Islam. Sehingga perlu untuk disadarkan kepada umat Islam tentang pentingnya mempelajari ajaran yang dianutnya, agar tidak terpengaruh dengan persepsi orang atau kelompok yang tidak benar dalam memahami Islam itu sendiri.


sumber Forsansalaf/Foto Ilustrasi Google

Wednesday, April 26, 2017

Hukum Menshalati Jenazah Orang Fasiq / Pelaku Dosa

Muslimedianews.com ~ Di antara kewajiban umat Islam terhadap saudara muslim yang meninggal adalah mengurusi jenazah mereka, mulai dari memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Tidak sampai di situ, sebagian besar masyarakat tetap berusaha mengirimkan doa dan menghadiahkan pahala baca Al-Qur’an, dzikir, dan amalan lainnya untuk kebahagiaan mayat di alam kubur.

Ini menunjukkan betapa kuatnya persaudaraan umat Islam. Persaudaraan mereka tidak hanya berlaku pada saat hidup di dunia, tetapi ketika saudara seimannya meninggal, mereka tetap mempertahankan jalinan persaudaraan dengan cara mengirimkan doa.

Keharusan mengurusi jenazah muslim berlaku untuk seluruh umat Islam tanpa ada pengecualian. Hukum mengurusi jenazah muslim dalam fiqih ialah fardhu kifayah. Artinya, kewajiban mengurusi jenazah hilang bila sudah dilakukan oleh sebagian orang dan dihukumi berdosa seluruhnya bila tidak ada yang mengurusi sama sekali
.
Perlu diketahui, selama jenazah masih berstatus muslim pada akhir hayatnya, seluruh umat Islam dituntut untuk mengurusi jenazah mereka, meskipun semasa hidupnya dikenal sebagai  pendosa dan suka berbuat maksiat.

Sayyid Abdurrahman Ba’lawi dalam Bughyah al-Mustarsyidin mengatakan:

يجب تجهيز كل مسلم محكوم بإسلامه، وإن فحشت ذنوبه، وكان تاركا للصلاة وغيرها من غير جهود، ويأثم كل من علم به أو قصر في ذلك، لأن لا إله الا الله وقاية له من الخلود في النار، هذا من حيث الظاهر، وأما باطنا فمحل ذلك حيث حسنت الخاتمة بالموت على اليقين والثبات على الدين فألاعمال عنوان.
“Wajib mengurusi jenazah setiap muslim, meskipun banyak dosa, seperti meninggalkan shalat dan lain-lain selama tidak mengingkari kewajibannya. Dianggap berdosa setiap orang yang mengetahui dan mereka tidak mengurusinya, karena dari sisi lahiriah, kalimat tauhid menjaga manusia dari azab kekal di neraka, sementara dari aspek batin, husnul khatimah didasarkan pada keyakinan, keteguhan beragama, dan amalan sebagai tandanya.”
  
Dengan demikian, setiap jenazah muslim mesti diurusi oleh umat Islam, sekalipun semasa hidupnya sering melakukan kesalahan dan berbuat maksiat. Sebab pada hakikatnya, siapapun yang pernah melafalkan kalimat tauhid dan meyakininya hingga akhir hayat, mereka dijamin tidak akan kekal di neraka meskipun pendosa.

Oleh sebab itu, seyogyanya umat Islam tidak boleh pilih kasih dalam mengurusi jenazah. Jangan sampai yang diurusi hanya muslim yang rajin shalat, sering ke masjid, dan dekat dengan masyarakat, sementara muslim yang berprilaku buruk tidak diurusi. Andaikan ada jenazah muslim yang tidak dishalatkan misalnya, tentu seluruh umat Islam yang mengetahui kematiannya akan menanggung dosanya. Wallahu a’lam.

Ustadz Hengki Ferdiansyah
, via nu.or.id

Tuesday, April 25, 2017

Hukum Shalat Shaf Sendirian di Belakang Jama'ah

Muslimedianews.com ~ Sebagai umat Islam tentu kita tiap kali mengikuti shalat berjamaah sudah sangat familiar dengan seruaan si imam sebelum memulai shalat yang berbunyi:

سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلاَة

"Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk menegakkan sholat."

Meski dalam praktiknya, si imam senantiasa menyeru para makmum dengan Hadis Nabi di atas untuk mengingatkan agar para makmunya meluruskan barisan shalatnya. Tapi terkadang kita tidak menyadari apa konsekuensi hukumnya bagi makmum yang dalam shalat jamaahnya tidak meluruskan barisannya, seperti makmum yang justru memisahkan diri dari barisan jamaah misalnya.

Dalam fiqih Madzhab Syafi'i, salah satu literatur yang biasa dikaji kaum santri seperti kitab Fathul Mu'in juga tidak melewatkan membahas persoalan di atas. Syekh Zainudin bin Abdul Aziz Al-Malibari, penulis kitab ini menyatakan dalam "Fasal Shalat Jama'ah" bahwa makmum yang memisahkan diri dari barisan jamaah padahal shaf ini masih longgar maka ia dihukumi makruh (dari sisi keutamaan barisan).

Lebih spesifik dinyatakan dalam Fathul Mu'in:

وكره لماموم انفراد عن الصف الذى من جنسه ان وجد فيه سعة

"Dihukumi makruh bagi makmum yang shalat berjamaah (berdirinya) menyendiri terpisah dari barisan shalat jamaah yang sejenis bila dalam shaf itu masih ada ruang yang tersisa".

Dengan sedikit redaksi berbeda, Imam Jalaludin Al-Mahalli dalam Kanz Al-Raghibiin fi Syarhi Minhaji at-Talibin didapati keterangan senada di atas:

ويكره وقوف الماموم فردا بل يدخل الصف ان وجد سعة

Keterangan ini dijelaskan lebih lanjut dalam syarah I'anatu Thalibin oleh Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyati bahwa ketentuan ini berlaku bila antara makmum yang menyendiri dan jamaah shaf tersebut sama dalam status gendernya, misalnya semuanya sama-sama laki-laki atau sebaliknya. Jika antara makmum yang memisahkan diri dan barisan jamaahnya berlainan status gendernya, maka memisahkan diri shaf jamaah yang berlainan jenis justru disunahkan.

Selanjutnya bila si makmum yang berdirinya memisahkan diri tersebut disebabkan karena sudah penuhnya barisan yang ada sehingga tidak muat ikut berbaris di dalamnya, maka ia disunahkan menarik salah satu orang dalam shaf yang penuh tersebut setelah melakukan takbiratul ihram. Hal ini sesuai dengan keterangan lanjutan dalam kitab Al-Mahalli (Kanz Al-Raghibiin) sebagai berikut:

والا فليجر شخصا بعد الإحرام وليساعده المجرور.....

"Dan apabila di dalam shaf tersebut sudah tak ada ruang lagi, maka disunahkan makmum menarik seseorang (dari shaf yang penuh itu) setelah takbiratul ihram dan hendaknya orang yang ditarik membantu (berdiri sejajar bersama si makmum)".

Ustadz Muhammad Haromain, via nu.or.id

Monday, April 24, 2017

Hukum Bincang-Bincang / Ngobrol Di Masjid

Muslimedianews.com ~ Masjid bagi umat Islam tidak hanya sebatas tempat beribadah, tetapi juga berfungsi untuk tempat belajar agama, sosialisasi, musyawarah, dan kegiatan sosial lainnya. Pada masa Rasul pun masjid digunakan untuk berbagai kepentingan selama tidak melanggar aturan syariat. Banyak hadits mengisahkan bahwa masjid dijadikan tempat tinggal, belajar, dan diskusi oleh sebagian sahabat.

Kendati masjid multifungsi, namun perlu diingat bahwa fungsi utama masjid adalah sebagai tempat beribadah. Adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang berada di masjid menghormati fungsi utama masjid ini dengan cara menjaga adab dan tidak melakukan hal-hal lain yang dapat menganggu kenyaman orang beribadah.

Pada sebagian masjid misalnya, seringkali setelah shalat berjamaah ataupun sebelum shalat, sebagian orang mengobrol dan berdiskusi di dalam masjid. Obrolan mereka pun tidak hanya berkaitan dengan urusan agama atau ibadah, tetapi juga membahas persoalan dunia dan terkadang mereka pun bergurau dan tertawa.

Imam An-Nawawi dalam Al-Majemuk Syarahul Muhadzdzab mengatakan:

يجوز التحدث بالحديث المباح في المسجد وبأمور الدنيا وغيرها من المباحات وإن حصل فيه ضحك ونحوه ما دام مباحا لحديث جابر بن سمرة رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يقوم من مصلاه الذي صلى فيه الصبح حتى تطلع الشمس فإذا طلعت قام قال وكانوا يتحدثون فيأخذون في أمر الجاهلية فيضحكون ويتبسم
 “Dibolehkan membicarakan sesuatu yang diperbolehkan (mubah) di dalam masjid, baik urusan dunia maupun maupun urusan mubah lainnya, meskipun pembicaraan tersebut mengundang ketawa, selama masih terkait dengan perkara mubah. Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Jabir bin Samurah bahwa Rasulullah SAW tidak beranjak dari tempat shalatnya pada waktu shubuh sampai terbit matahari. Beliau baru beranjak dari tempat shalat setelah matahari terbit. Jabir berkata, ‘Ketika itu mereka membicarakan banyak hal termasuk persoalan yang terjadi pada masa Jahiliyyah sehingga membuat mereka tertawa dan tersenyum’.”

Merujuk pada hadits riwayat Jabir ini, Imam An-Nawawi membolehkan mengobrol dan berdiskusi di dalam masjid, walaupun membahas persoalan dunia atau permasalahan yang tidak berhubungan langsung dengan ibadah. Tidak hanya itu, tertawa dan tersenyum secukupnya pun dibolehkan ketika berada di dalam masjid. Meskipun dibolehkan, tentu selayaknya seorang Muslim tetap menjaga etika dan adab di dalam masjid.

Di antara adab yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai membicarakan perkara maksiat dan dosa, ataupun sesuatu yang mengundang kemudharatan, dan tidak tertawa keras-keras ketika bergurau agar tidak menganggu kenyaman orang lain beribadah. Wallahu a’lam.


Ustadz Hengki Ferdiansyah, via nu.or.id

Saturday, April 22, 2017

Apakah Orang Mati Bisa Mendengar Orang Yang Hidup ?

Muslimedianews.com ~ Bisakah Mayit Mendengar Suara Orang Hidup?

Ulama al-Azhar pernah ditanya tentang apakah benar bahwa Rasulullah pernah berdialog dengan orang yang sudah mati? Syaikh Athiyah selaku mufti al-Azhar menjawab:

فتاوى الأزهر - (ج 8 / ص 349)
 ثَبَتَ أَنَّ الرَّسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَادَى قَتْلَى الْمُشْرِكِيْنَ فِى بَدْرٍ بَعْدَ إِلْقَائِهِمْ فِى الْقَلِيْبِ - الْبِئْرِ- فَقَالَ "هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا ... " قَالَ عُمَرُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا تُخَاطِبُ مِنْ أَقْوَامٍ جَيَّفُوْا- صَارُوْا جَيْفًا- فَقَالَ "وَالًّذِى بَعَثَنِى بِاْلحَقِّ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ مِنْهُمْ لِمَا أَقُوْلُ ، وَلَكِنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ جَوَابًا" رواه البخارى ومسلم . وَجَاءَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَرَّعَ لِأُمَّتِهِ السَّلَامَ عَلَى أَهْلِ الْقُبُوْرِ"السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ " وَهَذَا خِطَابٌ لِمَنْ يَسْمَعُ وَيَعْقِلُ، وَالسَّلَفُ مُجْمِعُوْنَ عَلَى ذَلِكَ . رَوَاهُ النَّسَائِى وَابْنُ مَاجَهْ . فَسَمَاعُ الْمَوْتَى لِكَلَامِ الْأَحْيَاءِ ثَابِتٌ
“Telah disebutkan dalam riwayat sahih bahwa Rasulullah menyeru kepada orang-orang Musyrik yang tewas dalam perang Badar setelah dimasukkan ke sumur Qalib, Nabi bertanya: “Apakah telah kalian temukan apa yang dijanjikan oleh Tuhan kalian sebagai kebenaran..” Umar bertanya: “Wahai Rasul, engkau berbicara dengan kaum yang telah menjadi bangkai” Nabi bersabda: “Demi Allah yang telah mengutusku dengan kebenaran, kalian tidaklah lebih mendengar dari mereka terhadap apa yang aku ucapkan. Tetapi mereka tak mampu menjawab” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah juga mensyariatkan kepada umatnya untuk mengucap salam kepada ahli kubur: “Salam bagi kalian, perkampungan kaum mukmin” Ini adalah bentuk percakapan terhadap orang yang mendengar dan berakal. Ulama Salaf telah sepakat tentang hal ini (HR al-Nasai dan Ibnu Majah)
Dengan demikian, orang mati bisa mendengar ucapan orang yang masih hidup memiliki dalil yang kuat (Fatawa al-Azhar, 8/349)

Dalam sebuah hadis sahih ditegaskan:

" وَالَّذِي نَفْسُ أَبِي الْقَاسِمِ بِيَدِهِ لَيَنْزِلَنَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ إِمَامًا مُقْسِطًا وَحَكَمًا عَدْلًا ، فَلَيَكْسِرَنَّ الصَّلِيْبَ وَلَيَقْتُلَنَّ الْخِنْزِيْرَ وَلَيُصْلِحُنَّ ذَاتَ الْبَيِّنِ وَلَيُذْهِبَنَّ الشَّحْنَاءَ وَلَيُعْرَضَنَّ عَلَيْهِ الْمَالُ فَلَا يَقْبَلُهُ ، ثُمَّ لَئِنْ قَامَ عَلَى قَبْرِي فَقَالَ : يَا مُحَمَّدُ لَأَجَبْتُهُ " .
“Demi Allah yang jiwa Muhammad (Abu al-Qasim) berada dalam kuasa-Nya. Sungguh Isa akan turun sebagai imam dan hakim yang adil. Ia akan menghancurkan salib, akan membunuh babi, akan memperbaiki pertikaian, akan menghilangkan kebencian, dan ia akan ditawarkan harta, namun ia tidak menerimanya. Sungguh jika ia berdiri di atas kuburku, lalu berkata: “Ya Muahammad”, Maka sungguh aku akan menjawabnya” (HR Abu Ya’la, al-Hafidz al-Haitsami berkata: “Para perawinya adalah sahih”. Bahkan ulama Salafi Syaikh Albani juga menilai sahih dalam al-Silsilah al-Sahihah 6/232)

Menurut Ibnu Katsir, ketika menafsiri firman Allah yang artinya: “Dan katakanlah: "Ber-amal-lah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat amalmu itu, …". (at-Taubah: 105). Beliau menegaskan bahwa amal orang yang masih hidup akan diberitahukan kepada kerabat dan kawannya yang telah wafat, dengan mengutip hadis berikut:

قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقَارِبِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ مِنَ الأَمْوَاتِ فَإِنْ كَانَ خَيْراً اسْتَبْشَرُوا بِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا اللَّهُمَّ لاَ تُمِتْهُمْ حَتَّى تَهْدِيَهُمْ كَمَا هَدَيْتَنَا » (رواه أحمد والطياليسي)
Sabda Nabi: “Sungguh amal kalian diberitahukan kepada keluarga dan kawan yang sudah mati. Jika mereka melihat yang baik maka bahagia, jika melihat yang buruk mereka berdoa: “Ya Allah, Jangan matikan mereka hingga Engkau beri hidayah mereka seperti kami” (HR Ahmad dan al-Thayalisi)

Hadis ini awalnya dinilai dhaif oleh Syaikh Albani namun beliau meralatnya.

تراجعات العلامة الألباني في التصحيح والتضعيف - (ج 1 / ص 5)
 إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات، فإن كان خيرا استبشروا به، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا. الضعيفة (863 و864)، ضعيف الجامع (1396)، ثم صححه في الصحيحة (2758).

Ibnu Taimiyah berkata:

اِنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلَامَ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنَ الْمُسَيَّبَ كَانَ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ (اقتضاء الصراط - ج 1 / ص 373)
“Sungguh kaum mendengar jawaban salam dari Makam Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallama atau kuburan orang saleh lainnya. Juga Said bin Musayyab (Tabiin) mendengar adzan dari Makam Rasulullah di malam-malam perang Harrah, dan sebagainya. Ini semua adalah sebuah kebenaran” (al-Iqtidha’, 1/373)

Al-Hafidz al-Suyuthi juga mengutip dari murid Ibnu Taimiyah:

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ اْلأَحَادِيْثُ وَاْلآثَارُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الزَّائِرَ مَتَى جَاءَ عَلِمَ بِهِ الْمَيِّتُ وَسَمِعَ سَلاَمَهَ وَأَنِسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ وَهَذَا عَامٌّ فِي حَقِّ الشُّهَدَاءِ وَغَيْرِهِمْ فَإِنّهُ لاَ يُوَقَّتُ قَالَ وَهُوَ أَصَحُّ (بشرى الكئيب بلقاء الحبيب للحافظ جلال الدين السيوطي 1 / 10)
"Ibnu al-Qayyim (murid Ibnu Taimiyah) berkata: Hadis dan dalil dari para Sahabat menunjukkan bahwa ketika peziarah datang, maka mayit mengenalnya, mendengar salamnya, senang dengan kedatangannya dan menjawab salamnya. Hal ini berlaku umum, baik untuk orang yang mati syahid atau yang lainnya, dan hal ini berlaku setiap waktu. Ibnu al-Qayyim berkata: Ini adalah pendapat yang lebih kuat" (al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi dalam Busyra al-Kaib I/10)

Ust. Muhammad Ma'ruf Khozin, 

via hujjahnu.com

Friday, April 21, 2017

Bahtsul Masail : Polisi Sah Tangkap Pembawa Bendera Merah Putih Bertuliskan Tauhid Dengan Tujuan Melecehkan

Muslimedianews.com ~ Berikut adalah Hasil Keputusan Bahtsul Masa’il Kubro Komisi A B M K KE-XVII PP Nurul Cholil Demangan Barat, Bangkalan, Madur
***
Geger bendera merah putih bertuliskan lafal Arab masih hangat diperbincangkan masyarakat. Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak) menganggap jika kalimat tauhid yang ada dalam  yang dibawa Nurul Fahmi itu bermakna bagus.

“Bukankah kalimat tauhid itu sesuai dengan sila pertama Pancasila? Bagus ‘kan?” ujar Lieus Sungkharisma, sebagaimana dikutip dari kantor berita politik.

Ia juga mengaku sependapat dengan pandangan mantan ajudan Presiden Soeharto, Irjen Pol (Purn) Anton Tabah yang menyebut menempatkan kalimat tauhid ‘La Illaha Illallah’ di bendera merah putih bukan termasuk unsur perbuatan pidana yang melawan hukum, apalagi penghinaan atau penodaan. Itu karena, kalimat tauhid bukanlah sesuatu yang hina. Lieus menilai tindakan aparat kepolisian terhadap Nurul Fahmi terlalu berlebihan.

“Hanya karena ia pendukung Habib Rizieq Shihab, maka dia ditangkap. Sedangkan band Metallica dan pendukung Ahok yang mencoret-coret merah putih, justru tak diapa-apakan,” sesalnya.

Lieus meminta Presiden Joko Widodo turun tangan dan tidak boleh diam dan membiarkan kepolisian melakukan upaya penegakan hukum yang tidak fair ini.

Bendera Merah Putih bertuliskan kalimat tauhid serta gambar pedang seperti bendera Arab Saudi pada aksi unjuk rasa Front Pembela Islam (FPI) di Mabes Polri, Senin (16/1/2017) kemarin, membuat Kapolri Tito Karnavian memerintahkan jajarannya untuk menyelidiki bendera tersebut. Tito menilai bendera itu penghinaan.


“Sekarang kami melakukan penyelidikan. Siapa yang membuat, siapa yang mengusung, penanggung jawab, korlapnya, akan kami panggil. Siapa ini?” kata Tito di Mapolda Metro Jaya, hari ini Rabu (18/1/2017).

Ada pasal yang mengatur, kata Tito, bagaimana memperlakukan lambang negara, termasuk bendera. Ia mengatakan hukuman memperlakukan bendera dengan tidak laik ini berupa satu tahun penjara.

Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Tongat, SH., M.Hum menjelaskan, dalam perspektif hukum pidana, fenomena penodaan terhadap bendera merah putih telah memiliki tafsir yang jelas. Sehingga, menurutnya tidak perlu ada distorsi apalagi reduksi makna, karena kata ‘menodai’ dalam tafsir secara sosiologispun sudah demikian jelas adanya.

Kata menodai, lanjutnya, bermakna melakukan perbuatan dengan sengaja untuk menghina. Karena itu, secara yuridis pembuktian terhadap perbuatan yang dapat dikonstruksi sebagai perbuatan sengaja menghinapun sangat mudah.

“Memang seringkali diperdebatkan ukuran ‘menghina’ itu. Tetapi secara umum, menurut pandangan masyarakat, apa yang disebut perbuatan ‘menghina’ itu sudah demikian jelas,” katanya kepada MalangTODAY.net.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, menegaskan, jika pihaknya mendukung tindakan tegas yang akan diambil pihak kepolisian kepada pelaku yang menambahkan tulisan Arab di Bendera Merah Putih saat demo di Jakarta beberapa waktu.

“Ya, harus ditindak tegas,” tegas Wiranto di Gedung MUI, Jakarta, Rabu, 18 Januari 2017, sebagaimana dikutip dari kantor berita Aktual.

Ia berpendapat jika dugaan penodaan terhadap simbol negara itu sudah dipastikan masuk pada pelanggaran peraturan yang berlaku, maka pencoret Bendera Merah Putih tersebut sudah seharusnya dikenakan hukuman.

Pertanyaan:
1. Dapatkah Dibenarkan tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisisan dengan menangkap pembawa bendera pusaka bertuliskan kalimat tauhid dengan dalih melecehkan negara?
2. Sebatas mana kita di anggap menghina ketika di arahkan ke permasalahan di atas (seakan akan kita di klaim salah menempatkan kalimat tauhid di kain bendera merah putih)?

Jawaban:
1. Dibenarkan.
2. Disesuaikan dengan undang – undang.


Referensi:

التشريع الجنائي الإسلامي مقارنا بالقانون الوضعي (1/ 252)

– الحق الأول: حق التحريم والإيجاب والعقاب: لولي الأمر أن يحرم إتيان أفعال معينة أو يوجب إتيان أفعال معينة، وأن يعاقب على مخالفة الأمر الذي حرم الفعل أو أوجبه. وإذا كان لولي الأمر حق العقاب فله أن يعاقب على الجريمة بعقوبة واحدة أو بأكثر، وأن يحدد مبدأ العقوبة ونهايتها. وولي الأمر مقيد في استعمال هذا الحق بعدم الخروج على نصوص الشريعة، أو مبادئها العامة، أو روحها التشريعية، وبأن يكون قصده في التحريم والإيجاب والعقاب تحقيق مصلحة عامة، أو دفع مضرة أو مفسدة.

الحاوي في فقه الشافعي – (ج 2 / ص 440)

فَأَمَّا لُبْسُ السَّوَادِ وَالْبَيَاضِ للخطيب فَكِلَاهُمَا جَائِزٌ ، قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُ الْبَيَاضَ ، وَكَذَلِكَ خُلَفَاؤُهُ الْأَرْبَعَةُ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ ، وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَمُّ بِعَمَامَةٍ سَوْدَاءَ ، وَيَرْتَدِي بُرْدًا أَسْحَمِيًّا ، وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ السَّوَادَ بَنُو الْعَبَّاسِ فِي خِلَافَتِهِمْ شِعَارًا لَهُمْ ، وَلِأَنَّ الرَّايَةَ الَّتِي عُقِدَتْ لِلْعَبَّاسِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ كَانَتْ سَوْدَاءَ ، وَكَانَتْ رَايَاتُ الْأَنْصَارِ صَفْرَاءَ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَلْبَسَ السَّوَادَ إِذَا كَانَ السُّلْطَانُ لَهُ مُؤْثِرًا لِمَا فِي تَرْكِهِ مِنْ مُخَالَفَتِهِ وَتَغَيُّرِ شِعَارِهِ .

شرح السير الكبير (ص: 72)

وَإِنَّمَا اُسْتُحِبَّ فِي الرَّايَاتِ السَّوَادُ لِأَنَّهُ عَلَمٌ لِأَصْحَابِ الْقِتَالِ، وَكُلُّ قَوْمٍ يُقَاتِلُونَ عِنْدَ رَايَتِهِمْ، وَإِذَا تَفَرَّقُوا فِي حَالِ الْقِتَالِ يَتَمَكَّنُونَ مِنْ الرُّجُوعِ إلَى رَايَتِهِمْ، وَالسَّوَادُ فِي ضَوْءِ النَّهَارِ أَبْيَنُ وَأَشْهَرُ مِنْ غَيْرِهِ خُصُوصًا فِي الْغُبَارِ. فَلِهَذَا اُسْتُحِبَّ ذَلِكَ.

فَأَمَّا مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ فَلَا بَأْسَ بِأَنْ تُجْعَلَ الرَّايَاتُ بِيضًا أَوْ صُفْرًا أَوْ حُمْرًا، وَإِنَّمَا يُخْتَارُ الْأَبْيَضُ فِي اللِّوَاءِ لِقَوْلِهِ – عَلَيْهِ السَّلَامُ -: «إنَّ أَحَبَّ الثِّيَابِ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى الْبِيضُ، فَلْيَلْبَسْهَا أَحْيَاؤُكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ» . وَاللِّوَاءُ لَا يَكُونُ إلَّا وَاحِدًا فِي كُلِّ جَيْشٍ، وَرُجُوعُهُمْ إلَيْهِ عِنْدَ حَاجَتِهِمْ إلَى رَفْعِ أُمُورِهِمْ إلَى السُّلْطَانِ. فَيُخْتَارُ الْأَبْيَضُ لِذَلِكَ لِيَكُونَ مُمَيَّزًا مِنْ الرَّايَاتِ السُّودِ الَّتِي هِيَ لِلْقُوَّادِ.

الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 8 / ص 313

ولا يجوز الخروج عن الطاعة بسبب أخطاء غير أساسية لا تصادم نصاً قطعياً، سواء أكانت باجتهاد، أم بغير اجتهاد، حفاظاً على وحدة الأمة وعدم تمزيق كيانها أو تفريق كلمتها، قال عليه الصلاة والسلام: «ستكون هَنَات وهنات ـ أي غرائب وفتن وأمور محدثات ـ فمن أراد أن يفرق أمر هذه الأمة وهي جميع، فاضربوه بالسيف كائناً من كان» وقال عليه السلام أيضاً: «من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد، يريد أن يشق عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه» «أيما رجل خرج يفرق بين أمتي فاضربوا عنقه» (2) رواهما مسلم عن عرفجةوبديهي أن الطاعة بقدر الاستطاعة لقوله تعالى: لا يكلف الله نفساً إلا وسعها [البقرة:286/2]

sumber Aswaja Muda