Andaikata Fahri Hamzah berkomentar tentang Yunani, barangkali dia akan bilang: “Itu kan urusan orang-orang Yunani yang pemalas itu,” seperti ketika dia menjawab pertanyaan tentang kosongnya ruang sidang paripurna: “Teori kehadiran di parlemen berbeda dengan di pabrik, kehadiran di parlemen adalah voting right, hadir untuk mengambil keputusan, bukan seperti buruh pabrik yang hadir untuk menerima gaji.”
Baiklah, hadir untuk menerima gaji. Minimum empat puluh jam kerja dalam seminggu, diringkas oleh Fahri sebagai “hadir (ke pabrik atau kantor) untuk menerima gaji.” Ada asumsi “kemalasan buruh” di situ.
Masalahnya, bail-out itu mampet di bank-bank. Malas atau tidak, satu dari dua pemuda Yunani tetap saja menganggur. Malas atau tidak, buat yang bekerja, upah sekadar mampir rekening. Malas atau tidak, kebutuhan pokok makin sulit terjangkau buat orang kebanyakan.
Di Indonesia, cap “pemalas” ini biasanya datang dari orang-orang kota berpendapatan sekian dan sekian ketika mengomentari protes dari siapapun yang pendapatannya lebih kecil. Dalam pandangan mereka, malas artinya miskin dan emoh kerja keras. Malas artinya tidak terdidik dan menolak untuk dididik. Malas artinya menyia-nyiakan kesempatan.
Tuduhan malas ini biasanya menyesaki linimasa tiap Satu Mei. Mungkin itu sebabnya kelas menengah kita sangat keranjingan apapun yang berbau Jepang. Karena gampang dibandingkan: pekerja Jepang tepat waktu, pekerja kita tidak; pekerja Jepang suka keteraturan, pekerja kita serba semrawut; pekerja Jepang patuh pada otoritas; pekerja kita protes melulu; pekerja Jepang banyak bekerja; pekerja kita banyak bicara.
Absurd betul memang: sama-sama pekerja, sama-sama diupah yang selisihnya mungkin hanya beberapa ratus ribu, tapi sudah percaya diri ngecap pekerja di level bawahnya “pemalas.”
Fahri Hamzah harusnya diangkat menjadi juru bicara utama kelas menengah ngehek-keblinger. Nalar di balik pernyataannya hanya mengulang kecaman-kecaman klise kapanpun buruh menuntut kenaikan upah minimum.
Lebih dari itu, kata-kata Fahri hanya mempertontonkan betapa dia masih mewarisi mental penjajah. Kreditor Eropa dan Belanda punya argumen rasis yang mirip-mirip soal kaum ‘bumiputera’ yang malas bekerja. Di mata kreditor Eropa, orang Yunani pemalas dan tak berdisiplin. Di mata Belanda, inlander tak bisa diandalkan, pemalas, suka mistik, tukang mabuk, tapi ingin cepat kaya. Yang berhak dianggap rajin, yang terhormat, yang patut dibayar tinggi biarpun jarang absen hanyalah anggota Parlemen, anggota volksraad, kelas-kelas feodal yang mentok jadi ambtenaar.
Pada 1977, Syed Hossein Alatas, sosiolog Malaysia, menulis buku berjudul The Myth of Lazy Natives. Dia bilang kira-kira begini: orang Melayu sebetulnya tidak malas; ‘kemalasan’ mereka adalah bentuk penolakan untuk bekerjasama dengan otoritas kolonial. Di Indonesia agak berbeda keadaannya. Yang bisa memperoleh pekerjaan modern-terhormat di birokrasi kolonial ya hanya mereka yang sekolah. Dan untuk sekolah pun, butuh persyaratan-persyaratan tertentu yang tidak sekadar bisa dibeli dengan uang, misalnya punya titel bangsawan, entah itu bangsawan tinggi atau rendah. Sisanya ya cuma bisa jadi kuli perkebunan. Sukur-sukur bisa dagang batik.
Alatas, seorang Malaysia keturunan Arab asal Bogor yang kemudian jadi tokoh oposisi terkemuka itu, di sisi lain menunjukkan, anggapan bahwa orang Melayu pemalas tetap diamini setelah Inggris angkat kaki. Negara menyerap mentah-mentah mitos kemalasan bumiputera yang disebarkan penjajah. Walhasil, muncullah banyak kebijakan yang isinya: orang Melayu harus diistimewakan, harus dikasih posisi lebih tinggi dalam politik dan bisnis karena sulit bersaing etnis Cina, yang sama-sama warganegara sah Malaysia. Sejak saat itulah orang Melayu diajarkan untuk menjadi inferior dan tanpa sadar ditanamkan perasaan lebih rendah secara intelektual daripada orang Cina.
Kelas menengah ngehek Indonesia, yang lahir dari rahim aliansi feodal-kolonial, jauh-jauh hari sudah seperti itu wataknya; takut jatuh miskin, tapi juga sulit naik ke atas; menyebut orang lain pemalas dan konsumtif sambil lupa mengecek tagihan kartu kreditnya sendiri. Mau ngomong solidaritas? Terlalu jauh, Bung. Level belarasanya masih cetek: mereka umumnya baru cuap-cuap ketika Sahur on the Road dilarang, atau ketika melihat foto-foto hoax tentang pengungsi Rohingya, atau menyaksikan gambar-gambar mayat bayi di Palestina. Pokoknya, kalo nggak seagama, itu “bukan urusan kita.”
Lha, anak-anak sekolah di Papua yang diberondong tentara?
“Ah, itu kan anak-anak separatis.”
Atau, yang lebih sering ditemui: “Dasar orang Papua pemalas. Dikasih beasiswa malah mabuk-mabukkan.”
Oh, ada satu lagi yang memungkinkan mereka bersolidaritas dengan pekerja kelas bawah, yaitu saat mereka ikut menyebarluaskan hoax tentang “gelombang pekerja Cina yang menyerbu Indonesia.” Yang tiap hari mengeluhkan betapa pemalasnya buruh lokal, tiba-tiba saja jadi nasionalis setengah mampus—meskipun nasionalisnya, mengutip teman saya Muh Bijiyanto, masih “Nasionalis-akamsi”, nasionalis anak kampung sini, alias jago kandang.
Sama halnya dengan Fahri Hamzah yang, ketika mendengar rumor tersebut, mendadak berkomentar: “Apa ada yang orang Indonesia tidak bisa kerja? Ini harus dijelaskan oleh Menaker kenapa seperti ini dan buat sektor apa, ini kan pekerjaan kasar, kita punya banyak.”
Langkah yang paling logis bagi kelas menengah-nasionalis-akamsi adalah membikin partai dan mengajukan Fahri sebagai caleg. Saya dukung sepenuhnya pencalonan itu. Karena saya rasa Fahri Hamzah memang masih berada dalam tahap yang menyedihkan dan menjijikan itu.
Penulis : Windu Yusuf, via mojok
No comments
Post a Comment