728x90

468x60

Saturday, September 10, 2016

Antara Iman dan Pekerjaan; Islam dan Jurnalisme di Indonesia

Jakarta, Muslimedianews ~ Janet Steele, Indonesianis yang menggeluti isu terorisme, media dan demokrasi, belum lama meneliti sejumlah media massa di Indonesia dan Malaysia untuk mengetahui kaitan Islam dan jurnalisme. Penelitian tersebut dimuat Jurnal Studia Islamika, 2014. Di Indonesia, Steele meneliti Sabili, Republika dan Tempo. Banyak hal menarik dari penelitian Stelle, termasuk bagaimana ia memberi label pada tiga media tersebut: consevative Islam (Sabili), commercial Islam (Republika) dan liberal Islam (Tempo). 

Di antara media-media yang diteliti Steele, Sabili menjadi satu-satunya yang mengambil posisi sebagai media Islam. Sejak awal, Sabili fokus pada dakwah dan penegakan syariat Islam. Menurut Eman Mulyatman, pemimpin redaksi terakhir Sabili (Sabili gulung tikar April 2013 karena masalah finansial), terdapat lima topik utama yang selalu digarap Sabili, yakni Islam liberal, Kristenisasi, pemurtadan, aliran sesat, dan isu-isu internasional menyangkut Islam seperti isu Palestina. Tampak jelas perspektif apa yang dipakai Sabili: melihat Islam berada di bawah kepungan musuh (orang Kriten, Barat, ‘orientalis’, dan siapapun yang mengatakan bahwa semua agama itu sama). 

Seorang jurnalis Sabili, masih menurut Mulyatman, dituntut tidak hanya memiliki kemampuan jurnalistik, namun juga mesti menunjukkan keberpihakan terhadap Islam. Hampir semua jurnalis Sabili memiliki latar belakang pernah aktif di gerakan tarbiyah atau organisasi pelajar Islam seperti PII atau organisasi Islam lainnya. Beberapa jurnalis juga merupakan alumni LIPIA, lembaga pendidikan hasil kerja sama Indonesia dan Arab Saudi. 

Cara Sabili merekrut jurnalis berbeda dengan cara media lain memilih jurnalis. Kesalehan individu dan latar belakang organisasi tentu bukan jadi pertimbangan utama bagi media massa lain. Kecakapan menulis dan integritas tentu dianggap lebih penting. Tapi bagi Sabili, mahir menulis saja tidak cukup. Kesalehan dan dan keberpihakan pada Islam menjadi hal penting.     
  
Lain Sabili, lain pula Republika. Koran yang berdiri tahun 1993 itu justru menolak disebut media Islam. Mereka lebih ingin disebut sebagai koran yang melayani komunitas muslim. Kelompok yang mereka sasar adalah muslim urban. Republika ingin turut berpartisipasi mencetak muslim terdidik, berpikiran terbuka dan memahami nilai-nilai Islam. Muslim yang tidak gampang mengkafirkan orang lain. Menurut pemimpin redaksi Republika, Nasihin Masha, lima prinsip dasar Republika adalah modern, moderat, muslim, nasionalis, dan populis. 

Tulisan di Republika juga harus inspiratif. Ini yang membedakan Republika dengan media lain, tutur Elba Damhuri, redaktur pelaksana Republika. “Kami tidak bisa membiarkan tetangga kami yang miskin kelaparan, kami tidak bisa melihat gereja dibakar. Kami tidak bisa melihat komunitas Ahmadiyah diusir. Kami bekerja karena kami ingin menyampaikan sesuatu: toleransi. Inilah kiranya substasi Islam,” terang Elba. 

Ketika meneliti Republika Steele mewawancara Syahruddin, asisten redaktur pelaksana Republika, untuk mengetahui bagaimana kaitan jurnalisme dan Islam di Republika. Syahrudin menjelaskan, terdapat banyak dalil dalam Al-Quran dan hadis yang memerintahkan umat Islam untuk berlaku jujur, tidak berdusta, membantu yang lemah, tidak mengambil yang bukan haknya. Oleh karena itu, semua karya para jurnalis sebetulnya sangat Islami, apapun medianya, selama tidak menerbarkan berita bohong, hoax, fitnah dan pornografi.  

Ketika mengajar materi jurnalisme Islami kepada calon jurnalis Republika, Syahruddin membagikan handout etika jurnalisme dan penulisan berita yang memuat daftar ayat-ayat Al-Quran yang relevan dengan kerja seorang jurnalis. Bagi Republika, jurnalisme adalah pekerjaan ‘kenabian’ dan sangat menjaga nila-nilai Islam. Dari sini kita dapat mengerti, meski menolak disebut media Islam, Republika tidak memisahkan begitu saja Islam dan jurnalisme. Republika memang tidak sekaku dan seketat Sabili. Mereka tampak berada di tengah-tengah, namun lebih terlihat sebagai upaya ‘mengikat dan menjaga pembaca’. 

Media ketiga yang diteliti Steele adalah Tempo. Menarik kita simak penuturan Zaim Uchrowi, mantan jurnalis Tempo, tentang media Islam: Saya tidak melihat Islam hanya pada simbol. Saya percaya nilai-nilai Islam. Maka ketika bicara media Islam, bagi saya, media adalah media. Tidak ada dikotomi media Islam dan media non-Islam. Media adalah media. Saya bergabung dengan Tempo tahun 1983, saya ingat apa yang ditulis Goenawan Mohammad di edisi pertama Tempo: kebenaran bukan monopoli satu pihak. Oleh karenanya cara pandang Tempo sangat kuat: kami tidak membeli kelompok, kami membela kebenaran.   

Tempo sudah tentu lain dengan Republika, apalagi Sabili dalam memosisikan jurnalisme dan Islam. Budi Setiyarso, jurnalis Tempo yang pernah menjadi wartawan Republika, mendudukkan hubungan antara keyakinan (Islam) dan pekerjaannya (jurnalis). “Saya menjalankan ritual agama. Saya juga melihat pekerjaan sebagai ibadah. Anak saya belajar di sekolah Islam. Istri saya memakai kerundung. Banyak juga istri jurnalis Tempo yang berkerudung. Hal terpenting bagi saya adalah berada di jalan yang benar. Inilah yang mungkin disebut Islam substantif. Peraturan kantor selaras belaka dengan peraturan agama. Misalnya, saya tak boleh menerima amplop. Bukankah agama juga melarang itu?”

Pengakuan Budi Setiyarso tak jauh berbeda dengan Arief Zulkifli, pemimpin redaksi Majalah Tempo. Ia mengatakan: Kita berada di dunia untuk mengerjakan kebaikan. Yang harus saya lakukan adalah berbuat baik sebanyak mungkin. Saya percaya hidup sesudah mati. Saya juga percaya setiap orang akan dihisab. Mungkin saya bukan muslim yang baik dalam hal menjalankan ritual. Tapi saya percaya apa yang saya tulis, saya laporkan, dan saya kerjakan untuk Tempo adalah hal baik.

Mencermati pendapat Zaim Uchrowi, Budi Setiyarso dan Arief Zulkifli, kita tahu bahwa di Tempo jurnalisme telah ditempatkan secara proporsional. Islam adalah satu hal dan jurnalisme adalah hal lain. Tidak dicampur aduk dan tidak menjadi bias. Mereka memandang pekerjaan dan keyakinan dengan jernih.

Penelitian Janet Steele memberi informasi penting kepada kita. Bahwa meskipun prinsip-prinsip jurnalistik berlaku universal, namun memiliki banyak tafsiran di sebuah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia. Terdapat media yang secara tegas dan terang-terangan mencampur Islam dan jurnalisme dan ada yang memisahnya. Kiranya, penelitian tersebut perlu dilanjutkan oleh peneliti-penelti lain. Tentu banyak perubahan seiring dinamika yang terjadi.

« PREV
NEXT »