Konsep ini dipaparkan dalam deklarasi menuntut pembubaran HTI, di halaman Kantor Gerakan Pemudan Ansor Kabupaten Jember, Senin (24/4/2017). Mustain Billah dari Pondok Pesantren Al Mahrus menyatakan, khilafah mendunia tidak memiliki akar dalil syar’i yang qath’i. "Sementara yang wajib dalam pandangan agama, pemerintahan harus menjaga kesejahteraan dan kemashlatan dunia, terlepas dari apa dan bagaimana sistem pemerintahannya," katanya.
"Karena itu, kita melihat para ulama di berbagai negara di belahan dunia memperbolehkan, bahkan tak jarang yang ikut terlibat langsung dalam sistem pemerintahan di negara masing-masing, antara lain Daulah Mamalik di Mesir, Daulah Mungol di India, Daulah Hafshiyyah di Tunis, dan lain sebagainya," tambah Mustain.
Bantahan kedua, persoalan imamah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah bagian dari masalah akidah, melainkan persoalan siyasah syar’iyyah atau fiqih mu’amalah. "Kita boleh berbeda pendapat tentang sistem pemerintahan, sesuai dengan kondisi zaman dan masyarakatnya masing-masing dalam mempertimbangkan mashlahah dan mafsadah," kata Mustain.
Sementara itu, kata Mustain, yang dimaksud dengan nashbul imam (al-khalifah) dalam kitab-kitab fiqih ialah mengangkat pemimpin dalam suatu komunitas masyarakat, bukan dalam satu sistem negara seperti yang dipahami dan diyakini oleh HTI.
Bantahan ketiga, membentuk pemerintahan agama di suatu daerah, akan membunuh agama itu sendiri di daerah lain. "Artinya menegakkan Islam di suatu daerah di Indonesia, sama halnya dengan membunuh Islam di daerah-daerah lain seperti di Irian Jaya, Flores, Bali dan lain sebagainya," kata Mustain.
Pendirian khilafah Islam, menurut Mustain, akan membuat warga di daerah basis non Islam akan menuntut hal yang sama dalam proses penegakkan agamanya masing-masing. "Bentuk negara nasional adalah wujud kearifan para pemimpin agama di Indonesia, yang tidak ingin terjebak pada institusionalisasi agama, sebagai tuntutan dari otonomi daerah," katanya.
Bantahan keempat, masyarakat masih belum siap benar untuk melaksanakan syari’at Islam secara penuh, terutama untuk menerapkan hukum pidana Islam, seperti bagi pezinah dirajam, pencuri dipotong tangan, sanksi bagi yang tidak melaksanakan shalat dan zakat. "Penerapan syari’ah Islam secara penuh tanpa mempertimbangkan kesiapan umat Islam akan menyebabkan banyak umat Islam yang tidak mengakui sebagai seorang muslim karena takut terhadap sanksi hukum tersebut," kata Mustain.
Hal ini bisa membuat jumlah umat Islam akan mengalami penurunan secara drastis. "Jelas, penerapan seperti itu justru merugikan umat Islam sendiri," kata Mustain.
"Bantahan kelima, sulitnya mencari tolak ukur kekhalifahan, apakah yang dilakukan oleh seorang khalifah itu merupakan suatu langkah politik atau sekedar pelampiasan ambisi kekuasaan, atau memang benar-benar melaksanakan perintah Allah," kata Mustain.
Mustain mencontohkan kekerasan dari khalifah yang berkuasa terhadap para ulama sebagaimana dialami oleh empat imam mazhab: Imam Maliki, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikut mereka. "Sejarah mencatat tidak sedikit dari para ulama yang mendapat perlakuan zalim, diborgol, dipenjara, dan dianiaya, sementara khalifah dalam menjalankan hukuman tersebut melakukannya atas nama agama. Jika demikian yang terjadi maka sudah pasti ulama Nahdliyyin akan memenuhi penjara-penjara di seluruh wilayah Indonesia," katanya.
"Keenam, jika memang disepakati ide formalisasi syari’ah, maka teori syari’ah manakah yang akan diterapkan? Apakah seperti model Wahabi di Saudi Arabia yang memberangus ajaran-ajaran kaum Nahdliyyin seperti tawassul, tahlil, talqin? Atau sistem Syi’ah yang telah membunuh ratusan ulama dan umat Islam, menghancurkan masjid-masjid Ahlussunnah di teluk Persi di wilayah Timur Tengah, atau belahan lain di dunia ini. Pemerintah melakukan semua itu, lagi-lagi berdasarkan agama," kata Mustain.
Mustain menilai, jika itu yang terjadi, warga Nahdliyyin akan menjadi korban dari pemerintah yang berbeda akidah. "Dalil-dalil diatas kian meyakinkan bahwa cita-cita untuk mendirikan khilafah islamiyah di Indonesia akan membawa konsekuensi tersendiri, bukan hanya menyangkut tampilan wajah Indonesia, tetapi juga kondisi masyarakat yang akan diwarnai oleh konflik dan resistensi elemen bangsa yang lain," katanya. [wir/suf]
berita jatim
No comments
Post a Comment