Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
melaporkan bahwa hal terkait fenomena agresivitas pada tahun 2015 sebanyak 515
kasus, tahun 2016 sebanyak 412 kasus yang terdaftar berupa tawuran antar
pelajar, perundungan di sekolah, kekerasan fisik dan psikis, pembunuhan
dan kekerasan seksual (Firmanto, 2017). Sedangkan sepanjang tahun 2017 hingga
bulan September KPAI mendata lebih kurang 300 kasus agresivitas yang terjadi
dikalangan remaja (Setyawan, 2017). Hal senada juga dinyatakan oleh Thalib
(2010) bahwa fenomena agresivitas kerap muncul di kalangan remaja, bentuk
perilaku yang muncul khususnya berbentuk kerusuhan, perkelahian, demonstrasi
dan tindakan kekerasan lainnya.
Bagi remaja, agresi yang muncul dalam bentuk
perkelahian atau jenis agresi yang ditunjukkan dengan tindakan kekerasan yang
dapat menyakiti secara fisik, dapat menimbulkan dampak negatif yaitu cidera
atau bahkan tewas bagi individu yang terlibat dalam kasus tersebut. Dampak
lainnya dari agresi yang terjadi di kalangan remaja adalah rusaknya fasilitas
umum seperti bus, halte, dan fasilitas lainnya. Selain itu kerusakan fasilitas
pribadi juga dapat terjadi seperti kerusakan kaca toko dan kendaraan. Agresi
yang terjadi di lingkungan sekolah juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa
terganggunya proses belajar-mengajar, dan yang paling dikhawatirkan adalah
berkurangnya sikap toleransi siswa terhadap perdamaian dan nilai-nilai
kehidupan orang lain karena para pelajar menganggap bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan suatu masalah dan memilih
untuk melakukan apa saja agar tujuan tercapai, akibatnya dampak tersebut justru
menimbulkan konsekuensi negatif jangka panjang terhadap keberlangsungan hidup
bermasyarakat di Indonesia (Setyawan, 2014).
Lebih lanjut fenomena agresivitas yang telah dipaparakan
di atas banyak terjadi dikalangan remaja. Mengingat remaja adalah generasi yang
akan menjadi pemimpin di masa depan bagi setiap negara maka individu-individu
tersebut diharapkan untuk terus tumbuh dengan baik sehingga dapat memberikan
kontribusi untuk kemajuan negara ke arah yang lebih baik, namun agresi yang
terus-menerus muncul pada diri remaja membuat masyarakat resah sehingga menarik
perhatian yang cukup banyak dari media dan publik sehingga memunculkan
pertanyaan apa yang menjadi penyebab munculnya agresi tersebut (Hasliza, Azniza
& Zailly, 2016).
Hurlock (dalam Adhi dan Indrawati, 2017)
menyatakan salah satu sebab munculnya agresi di kalangan remaja disebabkan oleh
pemahaman tidak realistik pada diri remaja yang disebut self-egosentrism, pemahaman
tidak realistik tersebut merujuk kepada pemahaman bahwa remaja cenderung
melihat dirinya sendiri sebagaimana yang diinginkan dan orang lain sebagaimana
adanya. Hal ini menunjukkan remaja masih sulit untuk memahami apa yang
dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain, sehingga remaja menganggap bahwa
tindakan memukul atau menghina orang lain adalah perbuatan yang tidak akan
melukai orang tersebut.
Pada penelitian Hasliza, Azniza dan Zailly
(2016) disebutkan faktor lainnya yang menyebabkan munculnya agresi adalah
pemahaman terhadap elemen agama yang tidak memadai, kemudian agama dalam
konteks ini dispesifikkan kepada agama Islam. Al-Ghazali dan Muhammad (dalam
Hasliza, Azniza & Zailly, 2016) menambahkan di dalam agama Islam perilaku
dan tata krama seseorang menggambarkan keadaan jiwa seseorang (ruhiyyah),
perilaku yang baik adalah cerminan jiwa yang sehat, dan perilaku yang buruk
merupakan hasil dari jiwa yang tidak sehat. Pemahaman yang memadai terhadap
elemen agama akan menyebabkan munculnya kemampuan untuk membedakan unsur baik
dan buruk, hal ini akan mengarahkan individu untuk memahami perilaku mana yang
harus ditinggalkan dan menuntun individu untuk menunjukkan perilaku yang benar.
Salah satu penanganan yang diharapkan dapat
digunakan untuk mengatasi fenomena agresi pada remaja yang dikaitkan dengan
konteks agama Islam adalah tazkiyatun an-nafs. Istilah tazkiyatun
an-nafs merujuk kepada tahapan atau proses pembersihan jiwa dan perilaku
dari sifat-sifat tercela. Tazkiyatun
an-nafs berarti menyucikan, menerangi dan membersihkan hati dan jiwa dari
sifat-sifat tercela berdasarkan Al-Quran dan Hadist dan kemudian memunculkan
perilaku yang terpuji. Proses ini diterapkan dengan adanya pemahaman Islam yang
baik untuk mengembangkan perilaku yang baik dan benar bagi setiap individu
(Al-Ghazali, 2012).
Tazkiyatun an-nafs merupakan konsep yang dipaparkan
oleh Imam Al-Ghazali. Imam Al-Ghazali merupakan figur muslim yang cukup
terkenal sejak zamannya hingga saat ini didukung dengan ideologi dan
tulisan-tulisannya yang telah dikenal diseluruh penjuru dunia, tulisan-tulisan
yang dilakukan tokoh dapat digunakan atau diaplikasikan di dalam kehidupan
sehari-hari dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadist.
Tazkiyatun an-nafs diaplikasikan dengan cara mengembangkan perilaku terpuji menurut Al-Quran dan
Hadist melalui kesadaran untuk menghilangkan sikap negatif dalam diri individu,
mengidentifikasi kebaikan dan keburukan serta perilaku negatif yang dapat
merusak jiwa dan moral seseorang serta mengidentifikasi tindakan dan
menghindari perilaku negatif (Saper, 2012).
Hal tersebut dilakukan, karena menurut Imam Al-Ghazali (2012) setiap individu
harus memiliki pengetahuan bahwa diri manusia terdiri dari jasad, ruh dan hati. Pada diri
manusia juga terdapat corak sifat keburukan dan kebaikan serta sebaik-baik
manusia adalah manusia yang dapat menaklukkan sifat keburukan serta menjadikan
sifat kebaikan yang menonjol pada dirinya. Imam Al-Ghazali juga menyatakan
bahwa cara utama yang dapat dilakukan seseorang yang ingin memperbaiki
perilakunya adalah dengan mengetahui aib-aib jiwa (perilaku yang tidak
baik) yang berada di dalam diri. Hal inilah yang dapat menimbulkan keinginan
seseorang untuk memperbaiki perilaku negatif termasuk perilaku agresi seperti
yang telah dibahas di atas.
Oleh : Raihanal Miski
Mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala