Bahtsul Masail PBNU itu gak ada hubungannya ama Pilpres apalagi dukung salah satu Capres. Mau Lik Joko menang atau kalah. Ndhak ngurus. Republik dan nilai kebangsaan harus lebih utama.
Aku kebetulan langganan jurnal Foreign Affairs ini, dan baru habis baca artikel-artikelnya di edisi terbaru.
Dalam salah satu artikel, yang ditulis oleh Robert Sapolsky, Professor of Biology, Neurosurgery, and Neurology and Neurological Sciences at Stanford University and the author of Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst, berjudul “This Is Your Brain on Nationalism: The Biology of Us and Them”, hari ini kita menghadapi era pembelahan yang edan-edanan sebagai negara-bangsa, yang kalau ditinjau secara biologi, behaviour itu “wajar”.
Namun demikian, pembelahan karena politik identitas ini, sudah pada tahap sangat gelap, hitam, pekat.
Pembelahan ini sudah dibarengi dengan kebencian, seperti pelabelan pendukung Paklik Jokowi dengan “Cebong” vs pendukung Pak Prabowo dengan “Kampret”, yang mirip dengan pelabelan Yahudi dengan “hama” di Perang Dunia II di Eropa, orang Tutsi sebagai “kecoa” saat perang Rwanda, atau muslim dengan “teroris” saat “Global War on Terrorism” gencar-gencarnya dipromosikan oleh Amerika dan kawan-kawannya.
Kembali ke Indonesia...
Pembelahan dengan label politik identitas itu gak melulu dan khas sebagai kartu yang dimainkan hanya salah satu pasangan Capres-Cawapres, dan timsesnya serta para buzzersnya. Tapi semua!
Ya, semua!
Biar lebih jelas, bisa lihat postinganku di https://www.facebook.com/1978324239104104/posts/2339767589626432?sfns=mo, di mana aku memonitor kacau dan ruwetnya politik Indonesia di sosial media, dan bagaimana politik identitas dimainkan sudah pada tahap njelehi! Jancukan!
Label “kafir” terhadap Non Muslim dalam konteks ini pun juga dipakai oleh kedua belah pihak untuk melabeli pihak lawannya, tapi tidak pada kawannya. Pembelahan antara “us” vs “them”, atau “kita” vs “mereka” - sudah sampai pada tahap pisuhable!
Contoh, saat ada pendukung Lik Joko yang kebetulan non muslim dukung Lik Joko, maka label “kafir” itu gampang banget disematkan. Bahkan dengan narasi over generalisir simplistis “Jokowi didukung kaum kafir”. Dan begitu sebaliknya, saat Pak Prabowo ikut merayakan kegembiraan perayaan Natal bersama keluarga besar beliau, buru-buru fansboyes Lik Joko atau buzzer komentar kurang lebih begini “Itu yang kafir sebelah sana, kok sini yang dianggap kafir.”
Belum lagi hashtag #PrabowoJumatanDimana yang selalu muncul dan jadi Trending Topic di tiap hari jumat, meskipun pasca ada “serang balik” dengan adanya selebaran jumatan bareng Pak Prabowo di salah satu masjid yang jadi polemik dan viral, hashtag tersebut turun signifikan.
Belum lagi misalnya, pelabelan terhadap orang-orang dekat paslon yang kebetulan non-muslim dengan “kafir” yang sak karepe dhewe. Semisal, Pak Luhut (yang setahuku beliau sendiri sebenarnya santai-santai saja dengan labelling itu) atau Pak Harry Tanoe yang datang ke suatu pesantren, atau majelis, langsung saja dipertanyakan “Ini orang kafir kok datang pengajian sih? Kok datang ke pesantren sih?” dan seterusnya, dan begitu juga sebaliknya, saat Rocky Gerung yang mbuh ra jelas agamanya apa, atheis atau bukan, aku ra urus, datang ke pesantren, ke salah satu majelis, juga dikomentari kurang lebih senada “Itu Rocky khan kafir, kok malah disuruh ngisi ceramah?”, begitu juga terhadap Pak Hashim Djojohadikusumo adik Pak Prabowo, juga dapat label yang kurang lebih sama, dan seterusnya.
Dan debat ini ra uwis-uwis...
NU, menurutku dalam bahtsul kemarin, cukup berani, bahkan sangat berani, untuk menyuarakan hal ini.
Buatku, sebagai dosen, pengkaji, peneliti geopolitik dan hubungan internasional, harus mengakui bahwa para Kyaiku, salah satunya yang kukenal baik Romo Kyai Prof Muhammad Machasin, yang hadir dan berembug lalu memutuskan yang kalau disederhanakan dengan himbauan “please stop panggilan kafir!” terhadap saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air - ini sudah masuk dalam tahap “Prescriptive Analytics” - yang melebihi semua artikel di Foreign Affairs edisi terbaru ini yang mentok di “Diagnostic Analytics” dan “Predictive Analytics”.
Tahap “Prescriptive Analytics” merupakan maqam tertinggi dalam analisis atau kajian, di sini sudah ada value dan keberpihakan, karena di sini sudah menjawab pertanyaan “Apa yang seharusnya terjadi?” atau “Apa yang seharusnya kita lakukan?” - yang tentu saja ini melampaui “Apa yang mungkin terjadi?” dalam maqam “Predictive Analytics” apalagi “Mengapa hal ini terjadi?” dalam maqam “Diagnostic Analytics”.
Karena analisis ini sudah mengandung keberpihakan, wajar tidak bisa memuaskan semua orang. Dan, memang, NU bukan alat pemuas. Paham?
Pandangan sumir terhadap keputusan Bahtsul Masail NU ini, aku pantau kok justru malah kenceng disuarakan oleh salah satu kubu paslon, sebut saja, kubu Pak Prabowo, dan kemudian dengan gegabah melabeli NU = Jokowi. Buatku ini agak aneh dan paradoksal sekaligus over simplistis, mengapa? NU itu lebih besar daripada Jokowi maupun pendukung Lik Joko. Pesantren Bata-Bata yang menerima dengan terbuka Pak Prabowo, ya masih Pesantren NU, kultur NU, dan tidak sedikit pula pesantren NU lainnya, termasuk Kyai dan santrinya yang mendukung Pak Prabowo. Plus lagi, di keluarga dekat Pak Prabowo sendiri ada juga yang non-muslim khan?
No comments
Post a Comment