728x90

468x60

Wednesday, November 26, 2014

Peran Penting NU Dalam Proses Perdamaian di Afghanistan

Jakarta, Muslimedianews.com ~ Sebagai organisai kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) dengan jumlah anggota sekitar 40 juta orang memiliki beberapa prinsip dasar dan karakter utama yang sangat dibutuhkan oleh ummat manusia untuk mewujudkan perdamaian abadi.

Prinsip-prinsip tersebut antara lain: Ukhuwwah Nahdliyyah (Persaudaraan Warga NU), Ukhuwwah Islamiyyah (Persaudaraan Ummat Islam), Ukhuwwah Wathoniyyah (Persaudaraan Sebangsa) dan Ukhuwwah Insaniyyah (Persaudaraan Kemanusiaan) serta Ukhuwwah Basyariyyah (Persaudaraan Semesta). Adapun karakter utama NU ialah Tawazun (Keseimbangan), Tawassuth (Moderat), Tasamuh (Toleransi) dan I’tidal (Tegak Lurus).

Hal ini juga sesuai dengan cita-cita NU yang bertujuan mewujudkan Islam Rahmatan lil A’lamin (Islam yang penuh kasih sayang untuk semesta) sebagai konsekuensi logis dari keyakinan dasar NU dalam beragama Islam berdasarkan Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja). Menurut salah satu dari empat madzhab utama, serta Pancasila sebagai azaz organisasi NU. Adapun keempat madzhab tersebut ialah Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki.

Berbekal keyakinan beragama Islam, asas, cita-cita dan sejumlah prinsip serta karakter berbasis syari’ah itulah NU mulai melangkah pasti untuk melakukan usaha-usaha konstruktif dalam menyelesaikan konflik dan mewujudkan perdamaian abadi di Afghanistan.

Langkah awal dimulai dengan kunjungan resmi Tim Pengurus Besar NU (PBNU) ke Kabul, Ibukota Afghanistan pada 4 – 5 Juni 2013 yang diwakili oleh Wakil Ketua Umum (Waketum) PBNU, KH. As’ad Said Ali; Rais Syuriyah PBNU, KH. Saifuddin Amsir; serta Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjend) PBNU, Abdul Mun’im DZ dan Adnan Anwar. Tim ini juga didampingi oleh Mayor Jenderal (Mayjend) Anshory Tajuddin, Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia (RI) untuk Afghanistan dan mendapatkan fasilitas diplomatik dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI.

Adapun beberapa pimpinan masyarakat dan pejabat tinggi Afghanistan yang menyambut tim PBNU ialah Sayid Faizal Ghani, dari Nacdo; seorang veteran pejuang, Syahbawoon; Wakil Menteri Agama (Wamenag), Dr. Daiul Haq Abid; dan pemimpin High Peace Council, Syaikh Kazi Muhammad Amin Waqqad.

Kunjungan Tim PBNU ke Kabul, Afghaninistan, sebagai wakil Indonesia ialah dalam rangka menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh High Peace Council dan bertujuan melakukan mediasi diantara berbagai kelompok dan faksi yang bertikai di Afghanistan.

Dalam perundingan yang dihadiri oleh para ulama, pemuda dan kaum intelektual yang berjumlah 50 orang dan berasal dari berbagai faksi dan suku tersebut telah berhasil disepakati beberapa hal, yaitu (NU Online, 08/06/13):
  • Pertama, Menjalin persaudaraan dan perdamaian;
  • Kedua, Menyelamatkan Afghanistan dari penghancuran kelompok imperialis;
  • Ketiga, Melaksanakan perdamaian dan rekonsiliasi untuk menyatukan negara; dan
  • Keempat, Sebagai pemimpin spiritual para ulama berkewajiban menjaga keutuhan bangsa; serta
  • Kelima, Menghilangkan diskriminasi dan sukuisme serta segala bentuk kekerasan terhadap kelompok lain.

Tim PBNU juga memperoleh berbagai informasi mengenai anatomi konflik yang ada di Afghanistan saat ini serta kekuatan para pihak yang sedang berkonflik. Tim PBNU pun terus berupaya menjalin komunikasi dengan berbagai kelompok yang belum mau berdialog, termasuk dengan pihak Taliban dan kelompok garis keras lainnya.

“Dalam menghadapi globalisasi ummat Islam harus merespon secara proporsional, jangan sampai larut sehigga menjadi kelompok yang tasahul, menggampangkan semua hal sehingga melanggar norma agama. Dan juga jangan sampai menjadi tasyaddud, menolak mentah-mentah dengan cara ekstrim bahkan dengan kekerasan. Karena itulah perlu diambil jalan tawassuth, tawazun,” ujar KH. As’ad Said Ali saat menyampaikanamanat di depan peserta konferensi perdamaian tersebut (NU Online, 08/06/13).

Beliau juga berusaha menjelaskan pengertian Jihad menurut pemahaman Islam Aswaja a’la NU kepada para peserta konferensi, yakni:  “Jihad mempunyai pengertian yang luas, tidak hanya qital (perang) tetapi juga membangun mayarakat dan mengendalikan hawa nafsu. NU sendiri pernah mengeluarkan fatwa jihad tetapi sangat jelas batas wilayahnya dan batas waktunya. Jihad tidak bisa dilakukan di sembarang tempat, kalau hal itu dilakukan bisa menjadi terorisme, itu yang harus dihindarkan” (Ibid).

Dengan demikian perang saudara di Afghanistan terjadi akibat pemahaman yang sempit terhadap konsep Jihad karena hanya dimaknai sebagai qital terhadap musuhyang tidak beragama Islam (Kafir) atau ummat Islam yang pemahamannya berbeda terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Konflik di Afghanistan juga terjadi akibat respon berlebihan sebagian ummat Islam terhadap kondisi globalisasi dalam bentuk tasahul dan tasyaddud sehingga menyebabkan konflik terus meruncing dan meluas. Dalam konteks Afghanistan globalisasi tampak nyata dalam bentuk serangan sepihak Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya, atas nama Perang Melawan Terorisme (War on Terrorism) pada tahun 2001.

Saat itu AS beralasan hendak mencari dan menangkap Osama bin Laden, pemimpin utama Al-Qaeda, yang dituduh menjadi aktor utama dibalik serangan teror terhadap Gedung World Trade Centre (WTC) di New York, AS pada tahun 2000. Pemerintah AS menuntut pemerintah Afghanistan, yang dipimpin faksi Taliban, untuk menyerahkan Osama yang berlindung di Afghanistan kepada pemerintah AS.

Serangan sepihak yang sangat jelas melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan hukum-hukum internasional serta sejumlah aturan/ konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu tentu mendapatkan reaksi yang beragam dari masyarakat Afghanistan.

Salah satu reaksi ekstrim adalah seruan Jihad Global (Perang Suci) oleh sejumlah faksi dan pemerintah Taliban terhadap berbagai macam kepentingan dan simbol-simbol AS, bahkan warga negara AS di seluruh dunia. Reaksi inilah yang disebut oleh Waketum PBNU,  KH. As’ad Said Ali, sebagai tasyaddud karena berlebihan dalam merespon aksi biadab dan tindakan pelanggaran HAM oleh Pemerintah AS-cs.

Seruan Jihad Global hanya akan membuat konflik semakin rumit dan sulit diselesaikan serta menimbulkan dampak serius bagi pihak-pihak yang tidak terlibat konflik. Adapun reaksi ekstrim lainnya ialah penanaman opium, bahan utama untuk membuat heroin, oleh sebagian faksi politik dan milisi agama di Afghanistan secara masif, ekstensif dan ekspansif guna membiayai seruan Jihad Global melawan AS-cs.

“Afghanistan beresiko menjadi negara produsen narkotika dan obat-obatan terlarang jika tidak ada dukungan internasional untuk membantu penciptaan lapangan kerja di negara tersebut. Keadaan saat ini semakin memburuk dan ini sangat mngecewakan,” kata Yury Fedotov, Kepala Kantor PBB untuk Obat-Obatan Terlarang dan Kriminal atau United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) (11/10/13).

Afghanistan pun tercatat telah memasok 75 % pasar heroin dunia di akhir tahun 2012 sehingga menjadi negara produsen nomor satu opium di dunia. “Diasumsikan, tahun ini (2013) akan mencapai 90%,” tegas Jean-Luc Lemahieu, pejabat tinggi PBB untuk kontra-narkotika di Afghanistan.

Produksi opium semakin menguntungkan sejak 2010 ketika harga opium naik saat terjadi pemberantasan opium. Petani dapat memperoleh $203 atau setara dengan Rp 1.250.000 per kilogram ketika memanen opium dibandingkan dengan memanen gandum senilai $ 43 sen (Rp 4.800) per kilogram atau memanen beras seharga$ 1,25 (Rp 14.000) per kilogram. Bahkan produksi opium dapat mencapai penanaman seluas 388.000 hektar lahan seperti tahun 2008 (NU Online, 11/10/13).

Reaksi inilah yang disebut oleh KH. As’ad Said Ali sebagai tasahul karena berlebihan dalam merespon serangan AS-cs ke Afghanistan. Syari’ah Islam tidak dapat membenarkan pencampuran antara sesuatu yang haq dan yang bathil, apalagi membiayai jihad dengan cara menanam opium dan memasoknya ke pasar internasional.

Sebagai bahan pokok pembuatan heroin yang termasuk dalam jenis obat-obatan terlarang (drugs) atau khamr, menanam opium dan memasoknya ke pasar internasional tentu merupakan perbuatan haram dan tidak dapat di-halal-kan meskipun dengan alasan untuk melakukan Jihad Fisabilillah yang kedudukannya sangat mulia di dalam Islam.

Dengan demikian NU telah berperan penting dalam proses perdamaian di Afghanistan dengan menawarkan konsep-konsep alternatif, berdasarkan karakter tawazhun dan tawassuth, guna menghindari dua langkah ekstrim berupa, tasahul dan tasyaddud, dalam menanggapi serangan pemerintah AS-cs ke Afghanistan yang jelas sangat biadab dan melanggar HAM.


(Ditulis oleh : Muhammad Ibrahim Hamdani, S.I.P., Staf Peneliti di Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) Universitas Indonesia/ Radar Online)

« PREV
NEXT »