Oleh
: Ahmad Husen*
Dalam
masyarakat Pra Islam, tidak ada kekuasaan
politik dan sistem peradilan yang terorganisir. Namun demikian, jika terjadi
persengkataan mengenai hak milik, hak waris dan pelanggaran hukum selain
pembunuhan maka persengkataan tersebut di selesaikan melalui bantuan juru damai
atau wasit yang di tunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Untuk itu
tidak ada pejabat resmi, melainkan lebih bersifat ad hoc. Artinya jika terjadi
persengketaan akan ditunjuk juru damai yang bertugas untuk menyelesaikan kasus
tersebut. Juru damai ini sering disebut hakam.
Dalam
sejarah dicatat, bahwa nabi Muhammad SAW sebelum menjadi Rasul pernah bertindak
sebagai wasit dalam perselisihan yang terjadi di kalangan masyarakat Mekkah.
Perselisihan itu berkenaan dengan upaya untuk meletakkan kembali hajar
aswad pada tempat semula. Di kalangan
suku Quraisy terjadi perselisihan tentang siapa yang berhak untuk tugas yang
mulia itu. Perselisihan ini nyaris menimbulkan bentrokan fisik di antara sesama
suku Quraisy. Untunglah mereka menemukan jalan keluarnya. Yakni mereka sepakat
untuk memberikan kehormatan kepada orang yang pertama datang ke Ka’bah melalui
pintu Syaibah. Kebetulan Muhammad datang lebih awal melalui pintu itu, kemudian
mereka berseru. “inilah al-Amin. Kami setuju dia menyelesaikan perselisihan
ini“. Kemudian mereka menceritakan kepada Muhammad peristiwa yang telah
terjadi. Akhirnya Muhammad berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu dengan
pendapatnya sendiri. Ternyata mereka sepakat dan rela dengan penyelesaian yang
dilakukan oleh Muhammad itu. Inilah gambaran ringkas tentang kedudukan Muhammad
sebagai figur yang ideal pada saat itu untuk menyelesaikan perselisihan
dikalangan sukunya.
Kata
Walayah Al Madzalim merupakan gabungan antara dua kata, kata walayah secara
literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan . Sedangkan kata
al madzalim adalah bentuk jamak dari madzlimah yang berarti kejahatan,
kesalahan, ketidaksamaan, dan kekejaman.
Sedangkan
secara terminologi, Wilayah Al- Madzalim diartikan suatu kekuasaan dalam bidang
pengadilan, yang lebih tinggi dari pada kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib.
lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk kedalam wewenang hakim
biasa. lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh
penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang
berkuasa.
Sebagian
dari perkara-perkara yang diperikasa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara
yang diajukan oleh seorang yang teraniaya dan sebagiannya pula tidak memerlukan
pengaduan dari yang bersangkuta, akan tetapi jadi wewenang lembaga ini untuk
memeriksanya. Dengan kata lain, walayah al madzalim bertugas untuk mengadili
para pejabat negara yang meliputi para Khalifah, Gubernur, dan aparat
pemerintah lainnya yang berbuat zalim terhadap rakyatnya.
Lembaga
Madzalim telah dikenal sejak zaman dahulu, kekuasaan ini terkenal dalam
kalangan Persia dan bangsa Arab di zaman jahiliyah. Hal ini merupakan wujud
dari orang Quraisy untuk menolak segala bentuk kedzaliman dan memberikan
pembelaan terhadap orang-orang yang dizalimi.
Di
masa Rosulullah SAW, rasul sendirilah yang menyelesaikan segala pengaduan terhadap
kedzaliman para pejabat. Pada masa Al- Khulafa Al- Rasyidin tidak mengadakan
lembaga ini, karena anggota-anggota masayarakat pada masa itu masih dapat
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama. Pertengkaran- pertengkaran yang terjadi
diantara mereka masih dapat diselesaikan oleh pengadilan biasa, akan tetapi di
akhir zaman pemerintahan Ali bin Abi Tholib, beliau merasa perlu menggunakan
tindakan-tindakan yang keras dan menyelidiki pengaduan-pengaduan terhadap
penguasa-penguasa yang berbuat kezhaliman, namun keberadaannya belum diatur
secara khusus.
Wilayah
Al Madzalim menjadi lembaga khusus pada masa kekhalifahan bani umayyah,
tepatnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia merupakan penguasa
Islam pertama yang membentuk lembaga al madzalim (peradilan khusus). Ia
menyediakan waktu khusus untuk menerima pengaduan kasus-kasus al madzalim.
Untuk itu ia didampingi oleh hakim ibnu Idris al Azdi. Jika menemui kesulitan
dalam memutuskan hukum, maka Abdul Malik berkonsultasi meminta pertimbangan
kepada ibnu Idris al Azdi.
Pada
masa Bani Abbasiyah, Wilayah Al Madzalim masih tetap mendapatkan perhatian yang
besar dari khalifah. Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa pada hari ahad dimana
khalifah Al Makmun sedang membuka kesempatan bagi rakyatnya untuk mengadukan
kedzaliman yang dilakukan oleh pejabat, datanglah seorang wanita dengan pakaian
jelek. Wanita tersebut mengadukan bahwa anak sang khalifah, al Abbas telah
mendzaliminya dengan merampas tanah haknya. Kemudian khalifah memerintahkan
hakim, Yahya bin Aktsam untuk menyidangkan kasus tersebut didepan sang
khalifah, tetapi ditengah-tengah perdebatan, tiba-tiba wanita tersebut
mengeluarkan suara lantang sampai mengalahkan suara al Abbas, sehingga para
pengawal istana mencelanya. Kemudian khalifah al Makmun berkata, “dakwaannya
benar, kebenaran telah membuatnya berani bicara dan kebatilan telah membuat
anakku membisu.” Kemudian hakim mengembalikan hak wanita tersebut dan hukuman
ditimpakan kepada anak sang khalifah.
Sedangkan
keberadaan di Indonesia dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya yang terdiri dari
empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing-masing badan peradilan itu
mempunyai susunan dan kewenangan yang diatur dalam undang-undang tersendiri.
Badan
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah
dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986, dan
perubahan berikutnya dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas
UURI No. 5 Tahun 1986.
Maka
tujuan utama dibentukan Peradilan Tata Usaha Negara ialah menyelesaikan
perkara-perkara perselisihan antara warganegara dengan pejabat TUN sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang dirasa merugikan warganya.
Namun demikian ada tindakan-tindakan Pejabat TUN yang tidak dapat diadili oleh
Peradilan TUN apabila tindakan tersebut untuk kepentingan umum. Pengertian
kepentingan umum ialah menyangkut tiap peraturan hukum, atau segala hukum yang
tertujukan untuk kemaslahatan masyarakat pada umumnya, sebab hukum bukan hanya
memelihara kepentingan orang seorang melainkan untuk kepentingan semua orang
atau orang banyak.
Kepentingan
umum dalam peraturan hukum dapat menyangkut dua sara yaitu memegang peran aktif
dan yang memegang peran pasif. Peran aktif dari kepentingan umum: ia menuntut
adanya hukum dan selanjutnya isi hukum harus memenuhi tugas dengan
sebaik-baiknya, sebagai peraturan masyarakat yang adil dan damai. Maka
kepentingan umum tidak hanya menuntut hal itu saja, akan tetapi juga memelihara
kepentingan pribadi yang tidak merugikan kepentingan umum atau masyarakat.
Oleh
karena itu, Wilayah al-Madzalim di
Indonesia telah diterapkan oleh Provinsi Aceh melalui Perda khusus
atau yang di sebut Qanun. Meskipun demikian wilayah al-Madzalim atau
yang disebut PTUN sama-sama memiliki salah satu ciri dari negara hukum yang
demokratis untuk terselenggaranya peradilan yang independen dan tidak memihak.
Independensi, integritas dan kemantapan hakim berpegang kepada janji dan nilai
akhlak, etika dan moral, merupakan hal penting bagi hakim dan melaksanakan
tugasnya agar putusnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
"Wallahul Muaffiq Ila aqwamit Tharieq"
*Mahasiswa Magister Hukum UGM Jogjakarta
Daftar
Pustaka
A. Buku
Mardani, Hukum Islam; Pengantar Ilmu
Hukum Islam di Indonesia, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, Peradilan
dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Santoso,
Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Sukardja, Ahmad, Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Fikih Siyasah, Jakarta:
Sinar Grafika, 2014.