BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Sunday, July 01, 2018

Pro dan Kontra Islam Nusantara : Argumentasi dan Definisi

Muslimedianews.com ~ (1) PRO DAN KONTRA TENTANG MAKSUD ISLAM NUSANTARA

Terdapat perbedaan identifikasi terhadap Islam Nusantara antara pihak pro dan kontra. Perbedaan persepsi ini berdampak pada perbedaan obyek pembicaraan, dan selanjutnya pada polemik dan kontroversi.

Menurut pihak pro, Islam Nusantara lebih bermakna sebagai metodologi dakwah. Berbagai definisi dan batasan muncul dari pihak ini. Misalnya, Islam Nusantara didefinisikan sebagai Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah al-Nahdliyah. Islam Nusantara dinyatakan sama sekali bukan madzhab, firqah, atau aliran baru. Islam Nusantara merupakan kekhususan dan keistimewaan (khasha’ish wa mumayyizat).

Tipologi, sebagai khasha’ish wa mumayyizat menjadi ciri khas Islamnya orang-orang Nusantara, yaitu laku Islam yang melebur secara harmonis dengan budaya Nusantara yang sesuai dengan panduan shara’. Segala macam adat istiadat, tradisi, yang tidak melanggar batas-batas shara’, tidak hanya diperbolehkan, namun bahkan digunakan sedemikian rupa, untuk dakwah Islam di bumi Nusantara.

Lebih spesifik, bagi pihak pro, Islam Nusantara adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, shari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Istilah meliputi Islam Indonesia yang meliputi sejak masuknya Islam ke Nusantara. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, universalitas ajaran Islam yang telah berdialog dengan budaya dan peradaban eksisting ke-Nusantara-an kemudian melahirkan ekspresi dan manifestasi umat Islam Nusantara.

Bahkan lebih jelas, bagi pihak pro Islam Nusantara dalah cara dakwah demi kemaslahatan, bukan bermaksud mengingkari sebagian ajaran Islam. Berdakwah sesuai tradisi (taqalid), adat (‘adat), jenis pembebanan hukum (takalif), kemampuan (tHaqat) manusia yang di masing-masing daerah berbeda, serta heterogenitas berbeda. Islam Nusantara bukan untuk mengkotak-kotakkan Islam, bukan firqah atau kelompok baru, namun metodologi dakwah yang sesuai dengan ciri khas dan budaya masyarakat.

Sementara bagi pihak kontra, Islam Nusantara adalah Islam yang ingin di-Indonesia-kan, dilunakkan, dikerdilkan, diliberalkan, dan Islam yang ingin dijadikan sebagai pengusung demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan kebebasan mutlak. Selain itu, Islam Nusantara dinilai untuk tujuan persamaan agama, kearifan lokal, pelestarian budaya primitif, kesetaraan gender, revolusi mental, modernisasi, globalisasi dan deradikalisasi, serta kebangsaan yang rasis dan fasis. Islam Nusantara tersebut hadir untuk mensinkronkan Islam dengan budaya dan kultur Indonesia, sehingga ada doktrin sesat di balik lahirnya wacana ini.

Di sisi lain, penyebutan kata ‘Nusantara’ di belakang kata Nusantara, dinilai pihak kontra sebagai sesuatu yang tidak boleh. Islam itu sangat suci dan mulia lagi agung, sehingga tidak boleh digandeng dengan label apa pun yang menodai kesucian dan kemuliaan serta keagungannya. Penyematan nama Nusantara terhadap Islam adalah penyematan nama Jahiliah yang tidak baik terhadap nama Islam yang sudah baik. Hal tersebut, tentu tidak etis dan harus dijauhi.

Polemik tentang maksud Islam Nusantara ini terjadi, menurut peneliti, karena pihak penggagas dan pengawal Islam Nusantara belum membahas tentang konsep matang tentang Islam Nusantara. Selama ini yang tersedia adalah artikel kajian dalam beberapa alinea, yang keberadaannya tenggelam di antara “bola liar” dan statemen pihak-pihak yang tidak mewakili Islam Nusantara, atau dia merupakan representasi Islam Nusantara, namun mengeluarkan pendapat personal yang tidak mewakili konsep gagasan ini.

Pihak pro terkesan “sangat semangat” dalam mengkampanyekan Islam Nusantara, sebelum pengertian dan maksudnya dikeluarkan secara resmi oleh penggagas dan pengawalnya, dalam hal ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Beberapa buku tentang Islam Nusantara memang telah diterbitkan, misalnya buku Islam Nusantara: dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan, atau buku Islam Nusantara: Ijtihad Jenius dan Ijma’ Ulama Indonesia. Namun keberadaannya belum mewakili PBNU secara sepenuhnya.

Dalam waktu bersamaan, muncul fenomena kasus dan statemen yang dinilai kontroversial, yang berkaitan dengan khazanah ke-Nusantara-an, atau bersifat artifisial bagi gagasan Islam Nusantara. Misalnya tentang bacaan al-Qur’an langgam Jawa, masalah jenggot, jamaah haji asal Indonesia memakai blankon dan batik, termasuk aturan rapatnya shaf shalat yang diidentikkan dengan budaya Arab, bukan Nusantara.

Fenomena kasus dan statemen tersebut, dinilai oleh pihak kontra sebagai contoh dan aplikasi gagasan Islam Nusantara. Maka berdasarkan data dan pemberitaan itulah, mereka mengkritik wacana Islam Nusantara.

Hal ini tampak pada bahan-bahan kritikan kelompok kontra – seperti dipaparkan pada bab sebelumnya. Bahan kritikan mereka, misalnya, bukan penjelasan Islam Nusantara dalam persepektif Ushul Fiqh seperti dipaparkan Katib Syuriyah PBNU (2010-2015) dan Guru utama Fiqih dan Ushul Fiqih di Ma’had Aly Pesantren Salafiyah As-Shafi’iyyah, Sukorejo, Situbondo KH. Afifuddin. Namun kritikan-kritikan tersebut berdasarkan fenomena kasus dan statemen, yang diistilahkan oleh peneliti sebagai “bola liar” yang menggelinding di berbagai media, baik media profesional maupun media sosial.

Belum adanya penjelasan komperhensif tentang Islam Nusantara dari PBNU ini berdampak pula pada pemahaman warga NU di tingkat akar rumput. Sebagaimana laporan penelitian, 16 persen warga NU di satu daerah tidak tahu sama sekali tentang hakikat dan pokok-pokok Islam Nusantara. Hanya 12 persen warga NU yang menyatakan mengetahui semuanya tentang Islam Nusantara. Angka ini berbeda jauh dengan warga yang hanya tahu sebagian tentang Islam Nusantara, yaitu 72 persen.

Sementara di daerah lain, di mana masyarakatnya relatif tinggal di perkotaan, terdapat 27 persen warga NU yang tidak tahu sama sekali tentang hakikat dan pokok-pokok Islam Nusantara. Nanya 11 persen warga NU yang menyatakan mengetahui semuanya tentang Islam Nusantara. Seperti di daerah pertama, angka ini berbeda jauh dibandingkan dengan warga yang hanya tahu sebagian tentang Islam Nusantara, yaitu 62 persen.

Dengan demikian, penelitian di dua daerah basis NU tersebut menandakan bahwa mayoritas warga NU tidak mengetahui apa maksud, hakikat, dan pokok-pokok Islam Nusantara.

Ketidakmengetahuan ini berdampak pada beragamnya penafsiran warga NU tentang Islam Nusantara. Di satu daerah, sejumlah 36 persen warga NU menilai Islam Nusantara sebagai usaha untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan tradisi Nusantara (me-Nusantara-kan Islam). Bahkan di daerah lain, jumlah warga NU yang menilai demikian lebih besar, yaitu 59 persen. Pendapat mereka ini paralel dengan pendapat elite agama yang kontra terhadap Islam Nusantara, yang menilai Islam Nusantara sebagai usaha untuk me-Nusantara-kan ajaran Islam.

Sementara pendapat warga NU yang paralel dengan elite agama yang pro terhadap Islam Nusantara, bahwa Islam Nusantara adalah cara mendakwahkan Islam di Nusantara (metode dakwah) di satu daerah sejumlah 56 persen dan di daerah lain 33 persen. Itu artinya, warga NU yang menilai Islam Nusantara sebagai usaha me-Nusantara-kan Islam dan warga NU yang menilai Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah Islam di Nusantara, besaran prosentasenya relatif sama. Sementara di sisi lain, masih ada warga NU yang menilai bahwa Islam Nusantara adalah kajian untuk membedakan Islam Indonesia dengan Islam Arab, Islam Eropa, dan sebagainya. Di kedua daerah berjumlah sama, yaitu 8 persen.

Berdasarkan data dan analisa pada poin ini, penggagas dan pengawal Islam Nusantara, dalam hal ini PBNU, dirasa perlu memberikan penjelasan terkait ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan istilah Islam Nusantara ini. Ontologi tersebut membahas tentang objek kajian Islam Nusantara, bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya pikir. Dalam konsep mabadi’ ‘ashrah, ontologi ini dibahas dalam tiga prinsip (mabda’), yaitu batasan definitif (al-had), nama (al-ism), dan perintis (al-wadhi’).

Meski pendapat pro dan kontra menurut hemat peneliti belum mengkristal menjadi tesis dan antitesis, namun dalam penelusuran maksud Islam Nusantara, berbagai penjelasan pihak pro dapat berfungsi sebagai pemikiran awal (tesis), yang kemudian memicu munculnya pemikiran lawan (antitesis). Kedua hal ini akan melebur menjadi sebuah sintesis, yang akan di-breakdown dalam ketiga mabda’ tersebut (batasan definitif / al-had, nama/ al-ism, dan perintis al-wadhi’.

Batasan Definitif (al-hadd) Islam Nusantara

Islam Nusantara adalah dialektika antara normativitas Islam dan historisitas keindonesiaan yang meliputi sejak masuknya Islam ke Nusantara, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, kemudian melahirkan ekspresi dan manifestasi umat Islam Nusantara, yang direspon dalam suatu metodologi dan strategi dakwah para alim ulama, Walisongo, dan para pendakwah Islam untuk memahamkan dan menerapkan universalitas (shumuliyah) ajaran Islam, sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama‘ah.

Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah Islam di Nusantara itu diwujudkan dalam suatu bentuk ajaran yang telah mengalami proses persentuhan dengan tradisi baik (‘urfun shahih) di Nusantara, dalam hal ini wilayah Indonesia, atau respon terhadap tradisi yang tidak baik (‘urfun fasid) namun sedang dan atau telah mengalami proses dakwah; amputasi, asimilasi, atau minimalisasi, sehingga tidak bertentangan dengan diktum-diktum shari’ah. Sementara penyesuaian khazanah Islam dengan Nusantara berada pada bagian ajarannya yang dinamis (shaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy), bukan pada bagian ajaran yang statis (shaqqun thabit, atau qath’iy).

Peletakan kata “Nusantara” di belakang kata “Islam”, dari sisi bahasa Arab dapat dimakna sebagai hubungan ‘kata sifat dan yang kata yang disifati’ (shifat maushuf), atau ‘penisbatan suatu kata pada kata lain untuk maksud tertentu’ (tarkib idhafy).

Sebagai hubungan shifat maushuf, kata Nusantara tidak untuk melokalkan Islam, atau untuk meNusantarakan Islam. Namun, penambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis “Nusantara” adalah dalam hal pengertian hukum-hukum ijtihadiyyat yang bersifat dinamis, yang berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu, bukan pada hal yang sifatnya statis.

Sedangkan penambahan kata “Nusantara” sebagai tarkib idhafy bagi kata “Islam” dalam istilah ilmu Nahwu mengandung arti fi (di dalam) artinya Islam yang terinternalisasi dan termanifestasi di dalam hidup dan kehidupan umat muslim Nusantara; bi (dengan/pada teritori) maksudnya adalah Islam yang berekspansi, berpenetrasi/berdialog dan berdakwah pada dan dengan wilayah teritorial-geografis insan-insan Nusantara sejak awal masuknya hingga kini dan juga menyimpan arti lii (untuk, bagi) yaitu Islam dan ajarannya untuk menyempurnakan dan berdialektika bersama adat, tradisi, budaya dan peradaban Nusantara (local wisdom) yang mengandung nilai-nilai universal bagi harkat dan martabat kemanusiaan sejati.


(dikutip dari buku Kontroversi Islam Nusantara: Menjernihkan Polemik dalam Bingkai Mabadi Asyrah, oleh Faris Khoirul Anam, 2016)
« PREV
NEXT »

No comments