Ekonomi adalah
hal yang sangat fundamental dalam suatu kelompok masyarakat. Salah satu aspek
kesejahteraan masayarakat sangat ditentukan oleh kemajuan ekonomi. Dalam ilmu
ekonomi dasar, secara sederhana dijelaskan bahwa ekonomi merupakan suatu ilmu yang berkaitan
dengan finansial dan keuangan.
Menurut Aristoteles ilmu ekonomi merupakan sebagai sutau cabang dapat
digunakan dengan dua jalan yaitu kemungkinan untuk dipakai dan kemungkinan
untuk ditukarkan dengan barang. Berdasarkan pandangan Aristoteles bahwa ekonomi
adalah ilmu kemungkinan dengan cakupan yang cukup luas. Perilaku ekonomi tidak
hanya jika di dalamnya harus ada uang, namun perilaku tersebut memiliki nilai
uang, tapi apakah suatu barang untuk dimiliki atau untuk ditukarkan dengan
barang yang lain sesui dengan kebutuhan.
Selanjutnya,
pandangan Bapak ekonomi Adam Smith
menyatakan bahwa Ilmu ekonomi merupakan ilmu secara sistematis memperlajari
tingkah laku manusia dalam usahanya untuk mengalokasikan sumber-sumber daya
yang terbatas guna mencapai tujuan tertentu. Jika kita lihat bahwa pandangan
Adam Smith sudah lebih rinci dari pada Aristoteles, tetapi secara sederhana
bahwa pandangan Aristotelas adalah praktik ekonomi tradisional sebelum kemajuan
industrialisasi dan teknologi.
Karena bentuk tradasional, pandangan Aristoteles masih kita temui
praktiknya di pedesaan yang belum tersentuh modernitas secara berlebihan.
Maksud penulis bahwa pandangang ekonomi yang ditanamkan oleh Adam Smith
mengkristalisasi menjadi ekonomi kapitalis, hingga tidak ada yang bisa
memungkiri kejayaannya saat ini. Profit merupakan tujuan utama pandangan Smith,
bagaimana pemiliki modal berjaya dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Berbeda dengan praktik Aristoteles yang tradisional dan mengutamakan untuk
pemenuhan kebutuhan antara pemilik barang yang satu dengan yang lainnya. Keduanya
dipertukarkan untuk saling memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tapi sebelum lebih jauh membahas kedua tokoh beser tersebut, ada baiknya
kita kembali ke Indonseia mencicipi pandangan salah seorang Kyai juga akademisi
di bidang perekonomian. Selain sebagai ekonom beliau seorang ulama yang memimpin
dua oraganisasi besar di Indonesia, bahkan dunia. Pertama adalah Ketua Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Kedua adalah Rois Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB
NU) yang dimaksud oleh penulis sebagai salah satu organisasi terbesar di dunia.
Sebenarnya sebelum penulis membahas pandanganya, sudah bisa ditarik kesimpulan
bahwa keselarasan dalam masyarakat menjadi dasar pandangan beliau di bidang
ekonomi. Kenapa penulis mengatakan demikian?. Tendensi keulamaan beliau, menurut
penulis yang menjadi penentu arah pandangan beliau mengenai ekonomi.
Hingga dalam gagasan beliau mengenai
ekonomi keumatan yaitu bagaimana menggunakan aset dan sumberdaya negara secara
produktif serta berkelanjutan demi kemajuan ummat atau warga negara, bukan
hanya satu tapi semua golongan.
Termasuk golongan masyarakat yang ada di pedesaan (tradisonal) seperti
disebutkan oleh penulis di awal. Tujuan yang ingin dicapai dari praktik ekonomi
gagasan beliau yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
dengan paradigma bahwa yang kuat secara ekonomi tidak melemahkan yang lemah
secara ekonomi, namun saling menguatkan hingga keduanya sama-sama kuat “yang
kuat tidak melemahkan tapi saling menguatkan yang lemah”. Gambaran yang berbeda
bahwa yang kuat menarik naik, tidak mendorong yang lemah semakin terpuruk
hingga bertambah deretan masyarakat miskin negeri ini.
Jika penulis mencermati pandangan KH. Ma’ruf Amin mengenai ekonomi,
khususnya gagasan beliau mengenai ekonomi keummatan. Ada suatu praktik ekonomi
yang dianggap oleh penulis sangat sesuai dengan padangan beliau. Karena penulis
mengawali ekonomi dari pandangan internasional hingga nasional, maka penulispun
akan mengakhiri ekonomi dari sudut pandang lokal yaitu konsep teseng yang ada dalam suku Bugis di
Sulawesi Selatan dengan gagasan KH. Ma’ruf sebagai patron.
Sama dengan pandangan Smith diawal, suku Bugis dalam memenuhi
kebutuhannya memafaatkan sember-sember terbatas yang dimilikinya. Tetapi tidak
kemudian menjadi kapitalis seperti yang dihasilkan Smith. Praktiknya seperti
yang digambarkan oleh Aristoteles, namun hasilnya seperti yang digagas oleh KH.
Ma’ruf Amin.
Suku
Bugis dikenal sebagai suku yang masih memegang teguh tradisi, kearifan lokal
dan nilai-nilai budaya. Salah satu budaya yang masih terjaga dalam Suku Bugis,
khususnya dalam bidang ekonomi adalah teseng.
Menurut (Hafid, 2000 dalam Buletin Bosara)
bahwa timbulnya te’seng di suku
Bugis Bone (salah satu kabupaten di Selawesi Selatan) berawal dari raja, oleh
karena sawah pertanian dikuasai oleh penguasa saat itu, tapi tanah-tanah yang
ada masih berupa hutan belukar dan belum dapat difungsikan sebagai sawah.
Keadaan itu membuat sang raja memerintahkan rakyatnya agar diolah menjadi
persawahan. Kemudian ditanami, apabila telah berhasil maka akan dibagi hasil
untuk kedua bela pihak yaitu raja sebagai pemilik tanah (pappatte’seng) dan rakyat sebagai penggarap (patte’seng).
Seiring
berjalannya waktu, teseng berkembang
tidak hanya kebun/sewah sebagai objek ekonominya, namun diganti dengan hewan
ternak seperti sapi dengan bagi hasil sesui dengan kesepakatan yang didasari
oleh nilai assitinajang (kewajaran/tidak
merugikan dan dirugikan salah satu pihak). Sama seperti yang gagasan KH. Ma’ruf
Amin mengenai ekonomi keummatan, teseng
merupakan praktik ekonomi yang melawan pandangan Smith dengan ekonomi
kapitalisnya dengan menjunjung tinggi prinsip ekonomi KH. Ma’ruf Amin bahwa“yang kuat tidak melemahkan tapi saling menguatkan
yang lemah/ yang kuat menarik naik, tidak mendorong yang lemah semakin terpuruk”.
Prinsip di atas sama dengan falsafah Bugis yaitu sigetteng menre’ teng sirui nno (saling menarik ke atas, tidak
menarik ke bawah) dalam praktik ekonomi adalah saling membantu untuk
kesejateraan/kemaslahatan bersama, saling membantu sesama manusia dan bukan
sebaliknya yaitu saling menjatuhkan. Begitulah praktik teseng dalam suku Bugis, bahkan pappatteseng
(produsesn) tidak memululuh atau mutlak secara terus-menerus menjadi
produsen, begitu pula sebaliknya patteseng
tidak mutlak untuk terus-menerus menjadi konsumen. Tapi keduanya harmonis dan
bisa saja saling berganti posisi tanpa merusak tatanan dan hubungan soial dalam
masyarakat. Terbukti teseng telah
mampu untuk mewujudkan keadilan sosial seperti yang dimaksud oleh KH. Ma’ruf
Amin. Karena teseng, suku Bugis mampu
mengkases sumber daya negeri ini, mulai dari pendidikan, kesehatan dan alat
pemuas kebutuhan lainnya.
Muhammad Aras Prabowo
Asisten Dosen Akuntansi UNUSIA
No comments
Post a Comment