BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Tuesday, July 31, 2018

'Teseng' Sebagai Ekonomi Keummatan Perspektif KH. Ma’ruf Amin


Ekonomi adalah hal yang sangat fundamental dalam suatu kelompok masyarakat. Salah satu aspek kesejahteraan masayarakat sangat ditentukan oleh kemajuan ekonomi. Dalam ilmu ekonomi dasar, secara sederhana dijelaskan bahwa  ekonomi merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan finansial dan keuangan.
Menurut Aristoteles ilmu ekonomi  merupakan sebagai sutau cabang dapat digunakan dengan dua jalan yaitu kemungkinan untuk dipakai dan kemungkinan untuk ditukarkan dengan barang. Berdasarkan pandangan Aristoteles bahwa ekonomi adalah ilmu kemungkinan dengan cakupan yang cukup luas. Perilaku ekonomi tidak hanya jika di dalamnya harus ada uang, namun perilaku tersebut memiliki nilai uang, tapi apakah suatu barang untuk dimiliki atau untuk ditukarkan dengan barang yang lain sesui dengan kebutuhan.
Selanjutnya, pandangan Bapak ekonomi Adam Smith menyatakan bahwa Ilmu ekonomi merupakan ilmu secara sistematis memperlajari tingkah laku manusia dalam usahanya untuk mengalokasikan sumber-sumber daya yang terbatas guna mencapai tujuan tertentu. Jika kita lihat bahwa pandangan Adam Smith sudah lebih rinci dari pada Aristoteles, tetapi secara sederhana bahwa pandangan Aristotelas adalah praktik ekonomi tradisional sebelum kemajuan industrialisasi dan teknologi.
Karena bentuk tradasional, pandangan Aristoteles masih kita temui praktiknya di pedesaan yang belum tersentuh modernitas secara berlebihan. Maksud penulis bahwa pandangang ekonomi yang ditanamkan oleh Adam Smith mengkristalisasi menjadi ekonomi kapitalis, hingga tidak ada yang bisa memungkiri kejayaannya saat ini. Profit merupakan tujuan utama pandangan Smith, bagaimana pemiliki modal berjaya dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Berbeda dengan praktik Aristoteles yang tradisional dan mengutamakan untuk pemenuhan kebutuhan antara pemilik barang yang satu dengan yang lainnya. Keduanya dipertukarkan untuk saling memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tapi sebelum lebih jauh membahas kedua tokoh beser tersebut, ada baiknya kita kembali ke Indonseia mencicipi pandangan salah seorang Kyai juga akademisi di bidang perekonomian. Selain sebagai ekonom beliau seorang ulama yang memimpin dua oraganisasi besar di Indonesia, bahkan dunia. Pertama adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kedua adalah Rois Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PB NU) yang dimaksud oleh penulis sebagai salah satu organisasi terbesar di dunia. Sebenarnya sebelum penulis membahas pandanganya, sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa keselarasan dalam masyarakat menjadi dasar pandangan beliau di bidang ekonomi. Kenapa penulis mengatakan demikian?. Tendensi keulamaan beliau, menurut penulis yang menjadi penentu arah pandangan beliau mengenai ekonomi. Hingga  dalam gagasan beliau mengenai ekonomi keumatan yaitu bagaimana menggunakan aset dan sumberdaya negara secara produktif serta berkelanjutan demi kemajuan ummat atau warga negara, bukan hanya satu tapi semua golongan.
Termasuk golongan masyarakat yang ada di pedesaan (tradisonal) seperti disebutkan oleh penulis di awal. Tujuan yang ingin dicapai dari praktik ekonomi gagasan beliau yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan paradigma bahwa yang kuat secara ekonomi tidak melemahkan yang lemah secara ekonomi, namun saling menguatkan hingga keduanya sama-sama kuat “yang kuat tidak melemahkan tapi saling menguatkan yang lemah”. Gambaran yang berbeda bahwa yang kuat menarik naik, tidak mendorong yang lemah semakin terpuruk hingga bertambah deretan masyarakat miskin negeri ini.
Jika penulis mencermati pandangan KH. Ma’ruf Amin mengenai ekonomi, khususnya gagasan beliau mengenai ekonomi keummatan. Ada suatu praktik ekonomi yang dianggap oleh penulis sangat sesuai dengan padangan beliau. Karena penulis mengawali ekonomi dari pandangan internasional hingga nasional, maka penulispun akan mengakhiri ekonomi dari sudut pandang lokal yaitu konsep teseng yang ada dalam suku Bugis di Sulawesi Selatan dengan gagasan KH. Ma’ruf sebagai patron.
Sama dengan pandangan Smith diawal, suku Bugis dalam memenuhi kebutuhannya memafaatkan sember-sember terbatas yang dimilikinya. Tetapi tidak kemudian menjadi kapitalis seperti yang dihasilkan Smith. Praktiknya seperti yang digambarkan oleh Aristoteles, namun hasilnya seperti yang digagas oleh KH. Ma’ruf Amin.
Suku Bugis dikenal sebagai suku yang masih memegang teguh tradisi, kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Salah satu budaya yang masih terjaga dalam Suku Bugis, khususnya dalam bidang ekonomi adalah teseng. Menurut (Hafid, 2000 dalam Buletin Bosara)  bahwa timbulnya te’seng di suku Bugis Bone (salah satu kabupaten di Selawesi Selatan) berawal dari raja, oleh karena sawah pertanian dikuasai oleh penguasa saat itu, tapi tanah-tanah yang ada masih berupa hutan belukar dan belum dapat difungsikan sebagai sawah. Keadaan itu membuat sang raja memerintahkan rakyatnya agar diolah menjadi persawahan. Kemudian ditanami, apabila telah berhasil maka akan dibagi hasil untuk kedua bela pihak yaitu raja sebagai pemilik tanah (pappatte’seng) dan rakyat sebagai penggarap (patte’seng).
Seiring berjalannya waktu, teseng berkembang tidak hanya kebun/sewah sebagai objek ekonominya, namun diganti dengan hewan ternak seperti sapi dengan bagi hasil sesui dengan kesepakatan yang didasari oleh nilai assitinajang (kewajaran/tidak merugikan dan dirugikan salah satu pihak). Sama seperti yang gagasan KH. Ma’ruf Amin mengenai ekonomi keummatan, teseng merupakan praktik ekonomi yang melawan pandangan Smith dengan ekonomi kapitalisnya dengan menjunjung tinggi prinsip ekonomi KH. Ma’ruf Amin bahwa“yang kuat tidak melemahkan tapi saling menguatkan yang lemah/ yang kuat menarik naik, tidak mendorong yang lemah semakin terpuruk”.
Prinsip di atas sama dengan falsafah Bugis yaitu sigetteng menre’ teng sirui nno (saling menarik ke atas, tidak menarik ke bawah) dalam praktik ekonomi adalah saling membantu untuk kesejateraan/kemaslahatan bersama, saling membantu sesama manusia dan bukan sebaliknya yaitu saling menjatuhkan. Begitulah praktik teseng dalam suku Bugis, bahkan pappatteseng (produsesn) tidak memululuh atau mutlak secara terus-menerus menjadi produsen, begitu pula sebaliknya patteseng tidak mutlak untuk terus-menerus menjadi konsumen. Tapi keduanya harmonis dan bisa saja saling berganti posisi tanpa merusak tatanan dan hubungan soial dalam masyarakat. Terbukti teseng telah mampu untuk mewujudkan keadilan sosial seperti yang dimaksud oleh KH. Ma’ruf Amin. Karena teseng, suku Bugis mampu mengkases sumber daya negeri ini, mulai dari pendidikan, kesehatan dan alat pemuas kebutuhan lainnya.
Muhammad Aras Prabowo
Asisten Dosen Akuntansi UNUSIA
« PREV
NEXT »

No comments