Muslimedianews.com ~ "Mantan" itu punya sinonim "eks" atau "bekas". Dalam wilayah asmara, katanya, menghapus ingatan soal mantan itu sama sulitnya dengan memahamkan anak-anak era 90-an bahwa huruf "N" dalam bungkus permen karet YOSAN hanyalah impian semu.
Dalam wilayah ideologis, "mantan" itu punya nilai lebih. John Perkins, mantan bandit yang mengulas keculasan dan kerakusan neoliberalisme, melalui "Confession of An Economic Hitman", banyak dipercayai benar-benar tobat dari masa lalunya meski kenyataannya juga embuh.
Di wilayah lain ada Bu Irene Handono, mantan biarawati (beneran nih?), yang isinya juga mengkritisi agama yang dia peluk di masa lampau. Termasuk soal teori konspirasi versi beliau. Ada juga Pak Felix Siaw, yang andaikata tetap di agama masa lalunya niscaya dia senantiasa diteriaki dan dibully berdasarkan etnisnya, ya kayak Ahok lah. Hahaha.
Ada juga Ustadz Mahrus Ali. "Mantan Kiai NU" yang tekstur wajahnya mirip om Jonru dan kebetulan juga sama-sama menyebalkan. Ada juga mantan LDII yang laris manis ditanggap pengajian. Isinya curhat soal penyimpangan LDII. Mantan Ahmadiyah juga laris ditanggap dari majelis ke majelis. Dari sini sudah kelihatan kalau "mantan" itu mengandung daya magnetik, kan?
Mantan pendeta Hindu? Ada. Nama muslimnya Abdul Aziz. Benar nggaknya dia sebagai mantan pendeta, saya juga nggak tahu kebenarannya. Kabarnya dia sering diundang di acara pengajian yang isinya semacam membongkar ajaran Hindu. Beberapa kali juga menyamakan amaliah Nahdliyyin dengan agama Hindu, meski kemudian pengakuannya ini diluruskan oleh pendeta Hindu yang masih loyal pada agamanya.
Di wilayah lain juga ada. Mantan muslim yang jadi pendeta. Mantan katolik yang menyeberang ke ordo Saksi Jehova yang nekat dan norak itu dan para mantan yang telah berkonversi ke ajaran lainnya. Dari alasan ideologis hingga ekonomis semua bisa kita temui.
Herannya, soal "mantan" itu pada akhirnya menjadi semacam penanda "kemenangan" atas yang lain. Ketika penganut Protestan masuk Islam niscaya banyak diapresiasi. Demikian juga sebaliknya. Kaum murtadin juga banyak ditanggap dari seminar ke seminar. Ada yang hanya curhat soal pergulatan batin hingga menemukan "kebenaran", ada juga yang menjelek-jelekkan agama lawasnya. Macam-macam lah.
Yang lebih simpatik bisa kita temukan dalam "Dari Subuh hingga Malam: Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran" karya Abdul Wadud Karim Amrullah, adik Buya Hamka yang berpindah agama dan menjadi pendeta di AS. Saya nggak baca tuntas buku ini karena hanya membaca sambil lalu di salah satu toko buku di Ponorogo. Setahu saya buku ini tidak membahas gelegar perbedaan asasi Kristen dan Islam, tapi lebih banyak pada perjalanan hidup putra Minangkabau itu, termasuk keputusannya berpindah agama. Lucunya, buku otobiografi pendeta ini ditempatkan di rak "agama Islam" di toko buku ini. Mungkin pengelolanya hanya membaca nama penulisnya yang "islami".
Kalau yang agak elegan bisa kita temukan dalam buku karya Prof. Jeffrey Lang, "Aku Beriman, Maka Aku Bertanya". Lang adalah Guru Besar Matematika di Universitas Kansas, Lawrence, Amerika Serikat, yang menjadi muallaf setelah sekian lama mengajukan pertanyaan-gugatan kritis dalam teologi dan berbagai aspek hingga pada akhirnya dia mendapatkan hidayah.
Kapten James "Yusuf" Yee juga menulis "For God and Country". Buku bagus yang edisi Indonesianya dicetak dengan luks ini berkisah awalmula dirinya sebagai warga AS keturunan Tionghoa, masuk West Point--akademi militer bergengsi di AS, ditugaskan di Suriah, kemudian memeluk Islam. Setelah itu dia menghadapi berbagai masalah saat ditugaskan di Guantanamo dan harus mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari sesama rekan tentaranya, karena Yee--sebagai perwira AS--justru memperlakukan tahanan dengan baik. Yee memang tidak berkisah panjang lebar soal awal mula ketertarikannya dengan Islam, tapi cukup memadai untuk menggambarkan pergulatan batinnya hingga sampai pada hidayah.
Bagi saya, setelah nulis ngalor ngidul di atas, hidayah itu istimewa dan keimanan itu sangat esensial. Sebab pergulatan batin dan perjalanan menggapai hidayah itu seringkali menjadikan seseorang lebih dewasa bersikap dan bahkan lebih mendalam menjalankan ajaran agama barunya. Kalaupun ada yang masih emosional, sensitif, kemudian menjual "kejelekan" agama lawas maupun ideologi lamanya ya anggap saja masih belum move on dan masih terbayang-bayang masa lalu. Bukankah ini "wilayah mantan" yang manusiawi dan bisa diolah dengan nilai jual ekonomi(s)?
No comments
Post a Comment