BREAKING NEWS
latest

728x90

468x60

Slider

Headlines

Slider Right

randomposts6

HEADLINES

Headlines/block-1

INDONESIA

Indonesian/block-2

MIDDLE EAST

Middle%20East/block-2

INTERNASIONAL

International/block-3

ARABIC VERSION

Arabic/block-6

ENGLISH VERSION

English/block-6

SYUBHAT

Syubhaat/block-1

Islamic QA

Islamic%20QA/block-1

OPINION

Opinion

Latest Articles

Monday, June 15, 2020

Refleksi Enam Belas Tahun Kiprah NU di Jepang


Ketika Suara Adzan dan Sholawat Bersahutan dengan Suara Musik Night Club di Kabukicho

PCINU Jepang baru saja menggelar Halal Bihalal Virtual dengan mengundang seluruh alumni dari angkatan pertama hingga yang terakhir. Sejumlah alumni NU Jepang yang sudah berkiprah di tanah air seperti Dr. Anwar Sanusi Sekjen Kementerian Desa) dan Dr. Emil Dardak (Wagub Jawa Timur) turut hadir dan berbagi pengalaman dalam profesi masing-masing.

Ajang halal bihalal ini disamping memperkuat silaturahmi juga sekaligus menjadi bahan refleksi NU Jepang yang sudah berusia 16 tahun.

12 Juni 2004 warga NU di Jepang di motori oleh Khariri Makmun, Anwar Sanusi, Padang Wicaksono, Agus Zaenal Arifin, Faizul Ishom, Farid Ma'ruf, Edi Albanjari dll mendeklarasikan berdirinya Komunitas Muda NU Nihon. 

Deklarasi NU Nihon dipusatkan di ibu kota Jepang, Tokyo. Sejumlah aktifis dan warga NU dari kota-kota yang berdekatan dengan Tokyo, seperti Saitama, Kawasaki, Ibaraki, Yokohama tampak hadir bersama keluarga menghadiri acara deklarasi tersebut.

Deklarasi berlangsung meriah, meskipun hanya menggelar acara sederhana yaitu seminar dan memotong tumpeng. 

Antusiasme warga NU terhadap pembentukan Komunitas Muda NU Nihon cukup besar. Acara pengajian online, dzikir tarekat, tahlil dan yasinan setiap malam jumat digelar bergantian kerumah-rumah warga bergiliran dari satu kota ke kota lainnya. Itulah gambaran betapa semangatnya warga nahdhiyyin menyambut berdirinya organisasi NU di Negeri Sakura. Bahkan saat itu sudah banyak juga warga muslim Jepang yang ikut aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan NU Jepang.

Setelah 16 tahun berjalan ternyata kiprah NU di negeri Sakura semakin nyata. NU Jepang memiliki program renovasi masjid seluruh Jepang. Hingga saat ini NU Jepang telah berhasil mendirikan 3 Masjid di Jepang. Yaitu masjid Al-ikhlas di Kabukicho, Shinjuku, masjid Nusantara di Tokyo dan satu buah masjid di Sano. Dalam waktu dekat juga akan dibangun masjid di daerah Toyama.

Diantara masjid unik yang dibangun oleh NU Jepang adalah masjid Al-Ikhlas di Kabukicho. Kawasan Kabukicho merupaka kawasan lampu merah atau kawasan zona prostitusi dan night club. Masjid Al-ikhlas awalnya adalah tepat perjudian dan kini disulap menjadi masjid bernuansa nusantara. Di masjid ini sekarang dijadikan pusat pengembangan budaya dan seni islam. 

Di Masjid Kabukicho inilah terjadi hal yang unik, dimana  suara adzan, sholawat dan dzikir saling bersahutan dan melebur dalam hiruk pikuk kerasnya kehidupan di Jepang. 

Jika kita gambarkan secara imajiner maka di Kabukicho sedang terjadi pertarungan antara kalimat tauhid dan sholawat dengan lantunan musik  lagu-lagu rock yang mengiringi tarian wanita yang menjajakan tubuhnya. 

Dari masjid Kabukicho terpancar cahaya dakwah yang sekaligus menandakan adanya keseimbangan antara ma'ruf dengan munkar.  Semua melebur dalam proses religi dan harmoni. Keseimbangan yang nantinya akan berdampak pada tegaknya dakwah kalimat tauhid di Jepang.

LAZISNU NU Jepang secara formal telah terdaftar sebagai organisasi islam yang diakui atau memiliki badan hukum resmi yang tercatat dalam kementerian dalam negeri Jepang dengan nama イパンサダンホージン (Ipan Sadan Hojin). Tentu hal ini merupakan langkah yang membanggakan. 

LAZISNU NU Jepang telah banyak membantu masyarakat muslim Jepang dibeberapa wilayah yang kesulitan mendirikan masjid atau kesulitan menyewa tempat untuk dijadikan masjid. 

Kepercayaan masyarakat muslim Jepang terhadap LAZISNU terus meningkat seiring dengan langkah nyata NU Jepang dengan progran pembangunan masjid diseluruh wilayah di Jepang. Dirgahayu NU Jepang ke - 16. Semoga dakwah islam yang sejuk dan damai senantiasa mewarnai kiprah NU di Jepang.

Penulis: Khariri Makmun Rois Syuriah NU Nihon Periode 2004-2006.

Monday, February 03, 2020

Obituari Gus Sholah: Kembali Ke Pesantren



Oleh: Amin Mudzakir
Saya tidak berkesempatan berkenalan secara langsung dengan Gus Sholah, tetapi satu hal selalu menarik perhatian saya lebih dari hal yang lainnya: mengapa beliau kembali ke pesantren? Sebagai seorang yang telah malang melintang di dunia profesional, juga politik, di Jakarta, keputusan untuk mempimpin Tebuireng pasti merupakan sesuatu yang besar. Lepas dari kenyataan bahwa beliau adalah putra KH Wahid Hasyim, yang berarti adalah cucu KH Hasyim Asyari, keputusan Gus Sholah untuk kembali ke pesantren adalah sebuah inspirasi bagi saya.
Bagaimanapun, saya bisa memahami dilema yang dihadapi oleh Gus Sholah. Besar dan tumbuh di Jakarta, lalu kuliah arsitektur di ITB, Gus Sholah pasti terpapar oleh pikiran modern yang melihat pesantren, awalnya, sebagai sesuatu yang berasal dari masa lalu. Sejujurnya saya pernah meyakini pikiran ini. Sewaktu SMA, saya pikir masa kini dan masa depan adalah sekolah umum, universitas umum, ilmu-ilmu umum. Pokoknya masa kini dan masa depan bukan agama, kampus agama, apalagi pesantren. Tentu saja pesantren tetap penting, tetapi ia hanya dipahami sebagai benteng moral, tidak lebih tidak kurang.
Perkiraan saya terkonfirmasi oleh catatan Binhad Nurrohmat. Menurutnya, Gus Sholah pernah bilang bahwa "Sebelum di Tebuireng saya mengira pesantren adalah masa silam. Setelah berkecimpung di Tebuireng, saya paham ternyata pesantren adalah masa depan". Pernyataan ini pas betul dengan apa yang selama ini saya rasakan. Kita tahu sejak 2006 Gus Sholah memimpin Tebuireng, sebuah pesantren terpenting di negeri ini.
Pernyataan Gus Sholah mengenai pesantren sesungguhnya merupakan refleksi dari zaman yang berubah. Hingga akhir tahun 1980-an, seluruh teori sosial meramalkan dunia akan semakin modern. Tidak hanya modern, dunia juga akan semakin sekuler. Modernisasi dan sekularisasi dianggap seiring sejalan. Di dunia yang modern dan sekuler, pesantren terlihat pinggiran. Sebagai pembaca teori sosial yang terlalu dini, hingga awal tahun 2000-an sewaktu kuliah di UGM saya cukup percaya teori ini.
Akan tetapi, dunia berjalan menuju arah yang berbeda dengan ramalan teori sosial tersebut. Sejak akhir abad ke-20, dunia semakin religius. Antusiasme pada keimanan justru melonjak tajam di tengah masyarakat modern. Modernisasi dan sekularisasi tidak selalu seiring sejalan. Pada situasi inilah, saya kira, posisi pesantren berubah. Alih-alih pinggiran, secara perlahan tetapi pasti pesantren bergerak menjadi pusat perhatian. Ketika masyarakat modern khawatir dengan kemerosotan moral, pesantren adalah alternatif pilihan kemana para orang tua mengirim anaknya untuk belajar.
Dalam perkembangannya, ternyata pesantren lebih dari sekadar benteng moral. Adaptasi yang baik dari sejumlah pengurusnya membuat pesantren menjadi sangat kompetitif. Lulusannya mampu bersaing di pasaran kerja yang keras. Selain itu, sudah lama pesantren melahirkan para pemikir yang cemerlang. Terlebih lagi setelah demokrasi pasca-Soeharto berjalan, pesantren adalah juga pusat kegiatan politik. Sekarang siapa yang tidak berkunjung ke pesantren ketika mau maju dalam pilkada atau pilpres. Semuanya berbondong-bondong menunjukkan sikap seolah-olah mereka bagian dari pesantren.
Tentu saja Gus Sholah lebih dari itu. Berdasarkan informasi sejumlah rekan, beliau merombak sistem manajemen pesantren di Tebuireng menjadi lebih baik. Ini sangat menggembirakan karena, menurut saya, aspek manajerial ini masih merupakan problematik pesantren yang paling besar.
Setelah ini saya sangat ingin melihat gus-gus yang lain kembali ke pesantren. Tidak harus dalam pengertian fisik, tetapi bisa dalam bentuk yang lain. Sebab Gus Sholah benar, pesantren adalah masa depan. Melalui pesantren lah gagasan kemajuan masyarakat bisa diimplementasikan.
Selamat jalan, Gus Sholah. Keputusan panjenengan untuk kembali ke pesantren adalah sebuah inspirasi bagi saya. Panjenengan husnul khatimah. Insya Allah. Alfatihah ...