Muslimedianews.com, Yogyakarta ~ Sejak zaman Wali Songo, pesantren mengajarkan fiqih siyasah (fiqih politik) dan ilmu-ilmu lainnya. Fiqih siyasah memberikan pemahaman dan kesadaran kepada santri mengenai persoalan politik yang sedang berkembang.
Karena pesantren mengajari politik, Belanda kebingungan menghadapi pesantren. Setiap ada seseorang yang pulang dari ibadah haji, selalu ada dari mereka yang terlibat dalam aksi politik melawan penjajah. Sehingga pada tahun 1926, Belanda menerapkan Ordonansi Haji, di mana semua orang Indonesia yang sudah menjalankan haji harus mencantumkan gelar haji agar mudah diawasi.
Hal tersebut disampaikan pengajar Universitas Brawijaya Malang Drs Agus Sunyoto, M.Pd. dalam “Diskusi Serial Pesantren dan Filsafat Politik #2” yang diselenggarakan Jurnal MLANGI dan Lembaga Bahtsul Masail PW NU DIY bekerja sama dengan AIFIS (American Institute for Indonesian Studies) di Pondok Pesantren Kali Opak, Yogyakarta, Jumat (18/7/2014).
Dalam kesempatan tersebut, Agus menyayangkan jika saat ini pesantren tidak lagi memberikan pelajaran politik, filsafat, dan tata negara.
"Pesantren hanya mengajari persoalan fiqih sehingga komunitas pesantren tidak bisa lagi memahami persoalan politik yang sedang berkembang. Sebagai akibatnya, pesantren hanya menjadi alat dalam perebutan kekuasaan," ungkap penulis buku Atlas Wali Songo tersebut.
Menurut Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) ini, kini pesantren tidak lagi menjadi lokomotif perubahan sosial-politik, tapi menjadi sekadar pendorong lokomotif. Karena itu, penting bagi pesantren untuk kembali kepada masa Walisongo, yang bukan hanya sekedar mengajarkan fiqih, tetapi juga politik, filsafat, dan tata negara.
Sementara itu pembica yang lain, Hasrul Hanif, M.A. menyampaikan bahwa pada tahun 80-an, pemerintah Indonesia melakukan modernisasi secara pelan-pelan terhadap pesantren. Sebagai akibatnya, pesantren berubah semata hanya menjadi sekolah, bukan lagi menjadi simpul sosial. Pesantren juga tereduksi, pelan-pelan menjaga jarak dengan masyarakat dan tidak lagi berbaur dengan masyarakat.
Pengajar di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut menyampaikan, pesantren perlu kembali ke “khittah” sebagai simpul sosial, dari “sekolah” ke “pendidikan transformatif”. Pesantren perlu mendidik para agen perubahan sosial untuk menjadi garda depan dalam kemandirian umat.
"Pesantren sebagai bagian dari gerakan sosial perlu memastikan kekuasaan yang berjalan harus untuk kepentingan publik. Pesantren perlu memandang politik bukan sekedar jabatan publik, tetapi rekayasa sosial untuk kemaslahatan,” pungkasnya. (M Chozin/Mahbib/nu.or.id)
Karena pesantren mengajari politik, Belanda kebingungan menghadapi pesantren. Setiap ada seseorang yang pulang dari ibadah haji, selalu ada dari mereka yang terlibat dalam aksi politik melawan penjajah. Sehingga pada tahun 1926, Belanda menerapkan Ordonansi Haji, di mana semua orang Indonesia yang sudah menjalankan haji harus mencantumkan gelar haji agar mudah diawasi.
Hal tersebut disampaikan pengajar Universitas Brawijaya Malang Drs Agus Sunyoto, M.Pd. dalam “Diskusi Serial Pesantren dan Filsafat Politik #2” yang diselenggarakan Jurnal MLANGI dan Lembaga Bahtsul Masail PW NU DIY bekerja sama dengan AIFIS (American Institute for Indonesian Studies) di Pondok Pesantren Kali Opak, Yogyakarta, Jumat (18/7/2014).
Dalam kesempatan tersebut, Agus menyayangkan jika saat ini pesantren tidak lagi memberikan pelajaran politik, filsafat, dan tata negara.
"Pesantren hanya mengajari persoalan fiqih sehingga komunitas pesantren tidak bisa lagi memahami persoalan politik yang sedang berkembang. Sebagai akibatnya, pesantren hanya menjadi alat dalam perebutan kekuasaan," ungkap penulis buku Atlas Wali Songo tersebut.
Menurut Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) ini, kini pesantren tidak lagi menjadi lokomotif perubahan sosial-politik, tapi menjadi sekadar pendorong lokomotif. Karena itu, penting bagi pesantren untuk kembali kepada masa Walisongo, yang bukan hanya sekedar mengajarkan fiqih, tetapi juga politik, filsafat, dan tata negara.
Sementara itu pembica yang lain, Hasrul Hanif, M.A. menyampaikan bahwa pada tahun 80-an, pemerintah Indonesia melakukan modernisasi secara pelan-pelan terhadap pesantren. Sebagai akibatnya, pesantren berubah semata hanya menjadi sekolah, bukan lagi menjadi simpul sosial. Pesantren juga tereduksi, pelan-pelan menjaga jarak dengan masyarakat dan tidak lagi berbaur dengan masyarakat.
Pengajar di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut menyampaikan, pesantren perlu kembali ke “khittah” sebagai simpul sosial, dari “sekolah” ke “pendidikan transformatif”. Pesantren perlu mendidik para agen perubahan sosial untuk menjadi garda depan dalam kemandirian umat.
"Pesantren sebagai bagian dari gerakan sosial perlu memastikan kekuasaan yang berjalan harus untuk kepentingan publik. Pesantren perlu memandang politik bukan sekedar jabatan publik, tetapi rekayasa sosial untuk kemaslahatan,” pungkasnya. (M Chozin/Mahbib/nu.or.id)
No comments
Post a Comment