Muslimedianews.com ~ Seorang
laki-laki datang kepada A’masy (ahli Hadis), kemudian laki-laki
tersebut bertanya kepadanya tentang suatu permasalahan, dan di sana
duduklah Abu Hanifah.
A’masy berkata: wahai Nu’man, adukanlah masalahmu kepada Abu Hanifah. Kemudian Abu Hanifah menyelesaikan masalah laki-laki tersebut.
A’masy berkata: wahai Abu Hanifah, dari manakah engkau bisa mengatakan seperti ini?
Abu Hanifah menjawab: aku mengambil dari hadis yang engkau riwayatkan.
A’masy berkata: perkataanmu benar, kami adalah apotik dan engkau adalah dokter.
Nasehat ahli Hadis kepada khatib al-Baghdady:
Hal yang dapat diambil dari cerita di atas adalah bahwa seorang ahli
hadis itu seperti apotik, ia yang mengetahui berbagai cara pembuatan
obat serta penyimpanan dan penyediaannya. Akan tetapi ia tidak memiliki
wewenang untuk memberikan obat tersebut kepada pasien kecuali atas izin
dokter.
Berbeda dengan seorang ahli Fikih, ia diibaratkan
seperti seorang dokter yang mengetahui keadaan seorang pasien dan
pengobatan yang cocok bagi pasien tersebut. Maka tugas seorang ahli
Hadis adalah menganalisis rentetan para ulama yang meriwayatkan hadis,
metodenya dan menghukumi baik atau lemahnya hadis yang diriwayatkan.
Namun ia tidak memiliki hak untuk merancang hukum dari sebuah hadis
kecuali atas rancangan dari seorang ahli Fikih.
Adapun
pengecualian dari hal di atas, yaitu apabila ada seorang ulama yang
menggabungkan antara ilmu Fikih dan Hadis, maka ia boleh meriwayatkan
hadis, menghukuminya dan merancang hukum dari hadis tersebut. Namun
ulama yang masuk kategori ini hanya berjumlah sedikit, di antaranya Imam
Malik, Imam Syafi’i, Sufyan bin ‘uyainah, Ibnu Jarir dan Imam Nawawi.
Oleh : Habib Ali Zainal Abidin al-Jifri
dikutip dari Suara Al Azhar
dikutip dari Suara Al Azhar
No comments
Post a Comment