Oleh: Komaruddin Hidayat, Yayasan Pendidikan Madania Indonesia
Idul fitri dan lebaran adalah dua konsep yang perlu dibedakan. Puncak idul fitri adalah sholat id setelah selesai melaksanakan ibadah puasa serta mengeluarkan zakat fitrah. Sedangkan lebaran lebih berkonotasi budaya, anak kandung idul fitri, yang bernuansa keagamaan, yaitu silaturahmi pada keluarga yang masih tinggal di kampung, dengan mengambil momentum pasca ramadhan. Mereka yang berasal dari desa lalu bekerja di kota dan jarang pulang mudik, maka liburan idul fitri menjadi kesempatan yang ditunggu-tunggu.
Bisa juga lebaran merupakan ekstensi atau perpanjangan dari idul fitri, dari ibadah ritual ke ibadah sosial. Bersilaturahmi ketemu kekuarga, terlebih orangtua, sungguh suatu tindakan yang terpuji menurut agama. Hanya saja, di Indonesia peristiwa berlebaran tampaknya jauh lebih heboh ketimbang idul fitri. Bagi pemerintah sendiri mesti menyiapkan infrastruktur yang bagus agar nyaman dan mengurangi kemacetan, plus satuan kepolisian yang menjaga keamanan dan membantu kelancaran lalu-lintas.
Fenomena lebaran dan pulang mudik memiliki banyak dimensi, baik dari sisi pemerataan ekonomi maupun penguatan kohesi sosial, dan telah memperkaya khazanah budaya Indinesia. Disana terjadi kerjasama yang solid antara masyarakat dan negara dalam penyelenggaraan lebaran. Sering muncul sindiran dan candaan, ketika memasuki hari kedua puluh bulan ramadhan yang mestinya umat Islam meningkatkan ibadah sholatnya dengan mengunjungi masjid, yang lebih menonjol justeru sibuk mempersiapkan pulang mudik. Banyak yang mudik sebelum hari lebaran sehingga pengunjung jamaah masjid semakin berkurang.
Konon katanya, tradisi mudik yang kental itu melekat pada masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah. Makanya jalanan yang paling macet adalah yang menuju Jawa Tengah. Sekarang ini agenda mudik juga menjalar pada para perantau dari luar Jawa sehingga mudik lebaran merupakan budaya nasional. Bahkan juga tidak sebatas umat Islam yang meramaikan pesta dan libur lebaran. Tempat wisata seperti Bali penuh dengan turis lokal. Masyarakat sekarang ini menempatkan acara rekreasi di atas kebutuhan pada pakaian. Keluarga menabung untuk biaya rekreasi di dalam maupun ke luar negeri pada kesempatan libur lebaran.
Munculnya urban family yang datang dari kampung telah melahirkan generasi baru yang tidak memiliki ikatan emosional dengan kampung halaman orang tua mereka. Generasi baru ini bisa juga disebut sebagai generasi hibrida (hybrid generation), hasil perkawinan silang lintas etnis, yang populasinya semakin banyak. Dunia kampus dan tempat kerja juga telah memfasilitasi berkembangnya generasi hibrida, karena komunitasnya terdiri dari berbagai macam etnis yang kemudian terjalin ikatan perkawinan. Maka keturunan mereka tidak memiliki ikatan kuat pada etnis, sehingga idealnya mereka itu semakin mengindonesia. Namun secara budaya mereka juga tumbuh dalam budaya hibrida, campur baur antara budaya lokal, nasional dan global. Mereka tidak lagi sensitif dan fanatik dengan isu primordial kesukuan. Bahkan di antara mereka lebih akrab dengan bahasa Indonesia dan Inggris ketimbang bahasa daerah. Hal ini tentu berbeda dari generasi orangtua mereka.
Budaya lebaran yang awalnya merupakan ekstensi dari idul fitri, sangat bisa jadi suatu saat akan menyerupai pesta tahun baru masehi yang awalnya merupakan hari keagamaan Kristiani, lalu tersekulerkan menjadi pesta budaya yang profan, lepas dari semangat keagamaan. Yang pasti, pesta lebaran dengan berbagai ragamnya telah memberikan pengkayaan budaya religi bagi masyarakat nusantara. Tak ada yang bisa membuat kota Jakarta lengang, sepi, kecuali datangnya idul fitri, karena penghuninya pada pulang mudik dan rekreasi meninggalkan ibu kota.
No comments
Post a Comment