Muslimedianews ~ Ulama yang satu ini merupakan ulama yang produktif menulis. Tidak kurang hasil karya tulisnya sejumlah 63 kitab. Selain itu beliau juga menjadi penggerak pejuang kemerdekaan Indonesia bersama para santrinya, khususnya di tanah kelahirannya Bekasi.
a. Masa Kelahiran
Beliau dilahirkan di Kampung Cibogo Bekasi pada hari Kamis bulan Jumadil Akhir 1334 H/1915 M. Ayahnya bernama KH. R. Anwar. Di usia 13 tahun beliau telah tamat sekolah dengan hasil diploma satu.
b. Masa Belajar
Usia 15 tahun beliau melanjutkan studinya ke pesantren yang diasuh oleh Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di Plered Sempur Bandung hingga 7 tahun. Setelah itu ia lanjutkan studinya ke Mekkah selama 2 tahun.
Selama di Mekkah beliau berguru pada lebih dari 13 muallif (pengarang kitab), diantaranya adalah al-Muhaddits as-Sayyid Alawi al-Maliki dan Mama KH. Mukhtar Athorid al-Bogori.
Sekembalinya dari Mekkah, saat itu usianya 24 tahun, beliau melanjutkan studinya atas saran sang ayah. Sebagai orang yang berilmu dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan Islam KH. Raden Anwar, sang ayah yang pernah menjadi murid KH. Hasyim Asy’ari, mengutus putranya itu untuk belajar agama lagi di pesantren. Berbagai pesantren pun disambanginya untuk digali ilmunya. Mulai dari Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pesantrennya Syaikh Ihsan Jampes Kediri.
Setelah itu, beliau belajar lagi ke pesantren yang diasuh Syaikh KH. Manshur bin Abdul Hamid al-Batawi, pengarang kitab Sullam an-Nayirain, di Jembatan Lima, Jakarta. Kitab Sullam an-Nayirain berisi tentang ilmu falak. Oleh KH. Raden Ma’mun Nawawi kitab ini mampu dipelajari dan dikuasainya selama 40 hari saja.
c. Mendirikan Pesantren
Setelah dianggap bisa dan memadai beradaptasi untuk mengembangkan dakwah Islamiyah, KH. Raden Ma’mun Nawawi diminta oleh mertuanya, Tubagus Bakri untuk mendirikan pesantren di Pandeglang, Banten. Saat itu usianya 25 tahun.
Namun, sekitar dua tahun kemudian beliau diminta oleh ayahnya, KH. Raden Anwar, untuk kembali ke kampung halaman di Cibogo Cibarusah untuk mendirikan pesantren. Atas biaya sang ayah, maka berdirilah Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat pada bulan Rajab tahun 1359 H/1938 M. Seluruh santri di Pesantren Pandeglang pun ikut gabung ke Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat ini.
Pada masa keemasannya, pesantren ini pernah menampung sekitar 1000 santri dalam satu angkatan. Bahkan, pesantren ini sempat terkenal sebagai Pesantren Ilmu Falak. Karena itu, ketika pemerintah Bekasi, Bogor, Jakarta dan sekitarnya membutuhkan masalah perhitungan falakiyah, selalu merujuk ke pesantren ini. Sekarang masalah falakiyah juga masih diajarkan di sini.
d. Karya-karyanya
Beliau termasuk ulama yang produktif menulis. Selama hidupnya beliau pernah menulis nadzaman ilmu falak sebanyak 63 bait dan menghasilkan setidaknya 63 kitab. “Angka-angka ini seperti kebetulan saja,” ujar KH. R. Jamaluddin yang merupakan keturunan ke-11 dari Maulana Hasanuddin dan ke-24 dari Rasulullah Saw. ini. Diantara hasil karya tulisnya adalah:
1. At-Taisir fi ‘Ilm al-Falak
2. Bahjat al-Wudhuh
3. Idha’ al-Mubhamat
4. Hikayat al-Mutaqaddimin
5. Manasik Haji
6. Khutbah Jum’at
7. Kasyf al-Humum wa al-Ghumum
8. Majmu’at Da’wat
9. Risalah Zakat
10. Syair Qiyamat
11. Risalah Syurb ad-Dukhan
12. Dll.
Sebagian kitabnya dijual di Toko Arafat Bogor, seperti Kasyf al-Humum wa al-Ghumum (tentang doa), Hikayat al-Mutaqaddimin (tentang kisah-kisah ulama dahulu), Idha’ al-Mubhamat (tentang rumus-rumus akumulasi dari kitab-kitab yang mengandung akronim) dan sebagainya.
e. Pejuang Kemerdekaan
Pada masa perang kemerdekaan KH. R. Ma’mun Nawawi pernah mengadakan pelatihan militer santri Hizbullah di Cibarusah. Para santri itu kemudian dikirim ke Bekasi untuk menghadapi tentara sekutu secara frontal di bawah komandan yang juga teman seperjuangannya yang dikenal sebagai macan dari Bekasi, yaitu KH. Nur Ali.
f. Laskar Hizbullah
Pemimpin perjuangan yang berlatih di camp Cibarusah saat itu, dimulai Pelatihan Perang Pertama pada 28 Februari 1945, dipimpin beberapa tokoh seperti KH. Wahid Hasyim, yang mewakili ayahnya, KH. Hasyim ‘Asy’ari, KH. Zainul Arifin, bersama sekitar 500 pemimpin Laskar Hizbullah Sabilillah, juga diantaranya ulama Bekasi KH. Noer Alie (yang telah diangerahkan sebagai pahlawan nasional) dan KH. R. Ma’mun Nawawi, Cibogo Cibarusah, Bintal Laskar Hizbullah pengasuh Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat Cibarusah. Usai pelatihan perang tersebut, 500 kader kembali ke desa-desa dan memberikan latihan kepada para pemuda sehingga pada saat Jepang menyerah, anggota Hizbullah berjumlah 50.000 orang.
Dalam catatan sejarah di saat latihan perdana, pada 28 Februari 1945, yang dihadiri oleh Gunseikan, para perwira Nippon, Pimpinan Pusat Masyumi, Pangreh Praja dan lainnya, Guiseikan memberikan sambutannya: “Berhubung dengan nasib Asia Timur Raya, maka semasa sekarang adalah masa yang amat penting seperti yang belum pernah dialami atau terjadi di dalam sejarah. Dalam saat yang demikian itu, telah bangkit segenap umat Islam di Jawa serta berjanji akan berjuang “luhur bersama dan lebur bersama”. Buktinya ialah pembentukan barisan muda Islam yang bernama Hizbulloh. Dengan demikian lahirlah tujuan untuk menghancurkan musuh yang dzalim dan perjuangan dengan segenap jiwa raga, maka saya sangat gembira membuka latihan pusat barisan Hizbullah ini.”
Saat itu, di kamp militer Cibarusah, laskar tak murni berlatih soal perang. Di malam hari, mereka mengaji dengan ulama seperti KH. Mustafa Kamil dari Singaparna, Jawa Barat, dan belajar soal bahan peledak kepada KH. Abdul Halim. Setelah latihan tiga bulan, opsir Hizbullah dipulangkan untuk melatih milisi di daerah asal yang beranggotakan para santri.
Kuntowijoyo, pakar sejarah, melihat laskar bentukan KH. Wahid Hasyim ini mengubah peta militer di Indonesia. Tak terbayangkan sebelumnya santri bisa jadi petinggi tentara republik. “Hizbullah membuat santri yang tidak mengenal ilmu kemiliteran jadi bisa ikut aktif dalam revolusi fisik,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan majalah Tebuireng.
Setelah Partai Masyumi berdiri pada 7 November 1945, Hizbullah, juga laskar Sabilillah, masuk jadi sayap militer partai Islam saat itu. Kedua laskar ini ikut bertempur melawan tentara sekutu, diantaranya pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Selepas agresi militer Belanda pertama pada 1947, Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang diprakarsai M. Natsir dan KH. Wahid Hasyim bergabung dengan kedua laskar tersebut. Mereka membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, yang menentang semua perundingan dengan Belanda.
Dalam pembukaan latihan tersebut, Kiai Haji Zainul Arifin, Ketua Markas Tertinggi Hizbulloh, dan KH. Wahid Hasyim, Ketua Muda Masjumi, mengingatkan akan pentingnya latihan kemiliteran bagi para pemuda untuk membela agama Islam dan cita-cita perjuangan bangsa. Salah satu yang menjadi tokoh utama adalah ulama kharismatik dari Ujung Harapan Bekasi yaitu Kiai Haji Noer Ali. Atas jasa besar dan manfaat perjuangannya Bapak DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, telah menganugerahkan almarhum almaghfurlah KH. Noer Ali sebagai Pahlawan Nasional.
Dengan adanya catatan sejarah, jejak dan fakta tersebut, pada Agustus 2010, Markas Besar TNI Angkatan Darat, ditandai dengan kehadiran dan penandatanganan Prasasati Monumen Bersejarah Perjuangan Umat Islam untuk Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bapak Dandim Bekasi, telah meneguhkan posisi dan nilai spirit perjuangan Masjid Al-Mujahidin dan area sekitarnya sebagai saksi dan sumber spirit dari jejak perjuangan umat Islam dalam kecintaan memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Majalah Tempo, 18 April 2011, menggambarkan adanya fakta perjuangan heroik Laskar Allah dari Cibarusah. Sekitar lima ratus pemuda berkemeja dengan celana tanggung biru berbaris keluar dari barak-barak anyaman bambu. Para calon opsir ini bersiap mengikuti upacara pembukaan latihan Laskar Hizbullah di Desa Cibarusah, Bekasi. Suatu pagi pada Februari 1945 itu, petinggi Jawa Gunseikan meresmikan pasukan sukarelawan bentukan pemerintah militer Jepang. Bersama mereka, hadir pengurus Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), termasuk Ketua II Muda, KH. Abdul Wahid Hasyim.
Gus Wahid, begitu ia disapa, memang salah satu penggagas pembentukan “Tentara Allah” itu. Menurut dia, ulama dan santri harus angkat senjata melawan Belanda yang bakal segera kembali ke Tanah Air. “Tiap-tiap muslim mesti merupakan nasionalis,” ujarnya.
Dalam sebuah konferensi pada 1949, Wahid menyampaikan unek-uneknya soal ulama yang lebih berpengaruh ketimbang tokoh pergerakan sipil ataupun militer tapi sering ditinggalkan dalam revolusi fisik. “Ulama adalah golongan yang paling berkuasa di Indonesia, melebihi sipil dan militer,” ujarnya. “Pembesar negeri minta petunjuk ulama dan perwira militer menanyakan siasat pertempuran.”
Ide membuat laskar jihad mencuat kala Jepang mengubah strateginya setelah terdesak Sekutu. Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada September 1944 mengobral janji, termasuk memberi kemerdekaan. Menurut sejarawan almarhum Kuntowijoyo, Hizbullah merupakan gabungan keinginan pemerintah Jepang dan ulama.
Tak sulit bagi KH. Wahid Hasyim menyampaikan usul membentuk laskar. Jabatan Wakil Ketua Shumubu, kantor urusan agama bentukan Jepang, memudahkan pembicaraan. Sebenarnya yang jadi ketua KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, ayah KH. Wahid Hasyim. Tapi Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tak mau meninggalkan Pesantren Tebuireng.
g. Kewafatan KH. R. Ma’mun Nawawi
KH. R. Ma’mun Nawawi wafat pada malam Jum’at 26 Muharram 1395 H pukul 01.15 WIB yang bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1975 M di Cibogo pada usia 63 tahun (1912-1975). Pondok pesantrennya saat ini diteruskan oleh salah satu putranya, KH. Jamaluddin Nawawi.
Makam KH. R.Ma’mun Nawawi berada di sekitar pesantren dan banyak dikunjungi orang baik dari Banten atau Bogor, khususnya pada bulan Maulid.
Sya’roni As-Samfuriy, Cikarang 17 Juni 2014
a. Masa Kelahiran
Beliau dilahirkan di Kampung Cibogo Bekasi pada hari Kamis bulan Jumadil Akhir 1334 H/1915 M. Ayahnya bernama KH. R. Anwar. Di usia 13 tahun beliau telah tamat sekolah dengan hasil diploma satu.
b. Masa Belajar
Usia 15 tahun beliau melanjutkan studinya ke pesantren yang diasuh oleh Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di Plered Sempur Bandung hingga 7 tahun. Setelah itu ia lanjutkan studinya ke Mekkah selama 2 tahun.
Selama di Mekkah beliau berguru pada lebih dari 13 muallif (pengarang kitab), diantaranya adalah al-Muhaddits as-Sayyid Alawi al-Maliki dan Mama KH. Mukhtar Athorid al-Bogori.
Sekembalinya dari Mekkah, saat itu usianya 24 tahun, beliau melanjutkan studinya atas saran sang ayah. Sebagai orang yang berilmu dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perkembangan Islam KH. Raden Anwar, sang ayah yang pernah menjadi murid KH. Hasyim Asy’ari, mengutus putranya itu untuk belajar agama lagi di pesantren. Berbagai pesantren pun disambanginya untuk digali ilmunya. Mulai dari Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pesantrennya Syaikh Ihsan Jampes Kediri.
Setelah itu, beliau belajar lagi ke pesantren yang diasuh Syaikh KH. Manshur bin Abdul Hamid al-Batawi, pengarang kitab Sullam an-Nayirain, di Jembatan Lima, Jakarta. Kitab Sullam an-Nayirain berisi tentang ilmu falak. Oleh KH. Raden Ma’mun Nawawi kitab ini mampu dipelajari dan dikuasainya selama 40 hari saja.
c. Mendirikan Pesantren
Setelah dianggap bisa dan memadai beradaptasi untuk mengembangkan dakwah Islamiyah, KH. Raden Ma’mun Nawawi diminta oleh mertuanya, Tubagus Bakri untuk mendirikan pesantren di Pandeglang, Banten. Saat itu usianya 25 tahun.
Namun, sekitar dua tahun kemudian beliau diminta oleh ayahnya, KH. Raden Anwar, untuk kembali ke kampung halaman di Cibogo Cibarusah untuk mendirikan pesantren. Atas biaya sang ayah, maka berdirilah Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat pada bulan Rajab tahun 1359 H/1938 M. Seluruh santri di Pesantren Pandeglang pun ikut gabung ke Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat ini.
Pada masa keemasannya, pesantren ini pernah menampung sekitar 1000 santri dalam satu angkatan. Bahkan, pesantren ini sempat terkenal sebagai Pesantren Ilmu Falak. Karena itu, ketika pemerintah Bekasi, Bogor, Jakarta dan sekitarnya membutuhkan masalah perhitungan falakiyah, selalu merujuk ke pesantren ini. Sekarang masalah falakiyah juga masih diajarkan di sini.
d. Karya-karyanya
Beliau termasuk ulama yang produktif menulis. Selama hidupnya beliau pernah menulis nadzaman ilmu falak sebanyak 63 bait dan menghasilkan setidaknya 63 kitab. “Angka-angka ini seperti kebetulan saja,” ujar KH. R. Jamaluddin yang merupakan keturunan ke-11 dari Maulana Hasanuddin dan ke-24 dari Rasulullah Saw. ini. Diantara hasil karya tulisnya adalah:
1. At-Taisir fi ‘Ilm al-Falak
2. Bahjat al-Wudhuh
3. Idha’ al-Mubhamat
4. Hikayat al-Mutaqaddimin
5. Manasik Haji
6. Khutbah Jum’at
7. Kasyf al-Humum wa al-Ghumum
8. Majmu’at Da’wat
9. Risalah Zakat
10. Syair Qiyamat
11. Risalah Syurb ad-Dukhan
12. Dll.
Sebagian kitabnya dijual di Toko Arafat Bogor, seperti Kasyf al-Humum wa al-Ghumum (tentang doa), Hikayat al-Mutaqaddimin (tentang kisah-kisah ulama dahulu), Idha’ al-Mubhamat (tentang rumus-rumus akumulasi dari kitab-kitab yang mengandung akronim) dan sebagainya.
e. Pejuang Kemerdekaan
Pada masa perang kemerdekaan KH. R. Ma’mun Nawawi pernah mengadakan pelatihan militer santri Hizbullah di Cibarusah. Para santri itu kemudian dikirim ke Bekasi untuk menghadapi tentara sekutu secara frontal di bawah komandan yang juga teman seperjuangannya yang dikenal sebagai macan dari Bekasi, yaitu KH. Nur Ali.
f. Laskar Hizbullah
Pemimpin perjuangan yang berlatih di camp Cibarusah saat itu, dimulai Pelatihan Perang Pertama pada 28 Februari 1945, dipimpin beberapa tokoh seperti KH. Wahid Hasyim, yang mewakili ayahnya, KH. Hasyim ‘Asy’ari, KH. Zainul Arifin, bersama sekitar 500 pemimpin Laskar Hizbullah Sabilillah, juga diantaranya ulama Bekasi KH. Noer Alie (yang telah diangerahkan sebagai pahlawan nasional) dan KH. R. Ma’mun Nawawi, Cibogo Cibarusah, Bintal Laskar Hizbullah pengasuh Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat Cibarusah. Usai pelatihan perang tersebut, 500 kader kembali ke desa-desa dan memberikan latihan kepada para pemuda sehingga pada saat Jepang menyerah, anggota Hizbullah berjumlah 50.000 orang.
Dalam catatan sejarah di saat latihan perdana, pada 28 Februari 1945, yang dihadiri oleh Gunseikan, para perwira Nippon, Pimpinan Pusat Masyumi, Pangreh Praja dan lainnya, Guiseikan memberikan sambutannya: “Berhubung dengan nasib Asia Timur Raya, maka semasa sekarang adalah masa yang amat penting seperti yang belum pernah dialami atau terjadi di dalam sejarah. Dalam saat yang demikian itu, telah bangkit segenap umat Islam di Jawa serta berjanji akan berjuang “luhur bersama dan lebur bersama”. Buktinya ialah pembentukan barisan muda Islam yang bernama Hizbulloh. Dengan demikian lahirlah tujuan untuk menghancurkan musuh yang dzalim dan perjuangan dengan segenap jiwa raga, maka saya sangat gembira membuka latihan pusat barisan Hizbullah ini.”
Saat itu, di kamp militer Cibarusah, laskar tak murni berlatih soal perang. Di malam hari, mereka mengaji dengan ulama seperti KH. Mustafa Kamil dari Singaparna, Jawa Barat, dan belajar soal bahan peledak kepada KH. Abdul Halim. Setelah latihan tiga bulan, opsir Hizbullah dipulangkan untuk melatih milisi di daerah asal yang beranggotakan para santri.
Kuntowijoyo, pakar sejarah, melihat laskar bentukan KH. Wahid Hasyim ini mengubah peta militer di Indonesia. Tak terbayangkan sebelumnya santri bisa jadi petinggi tentara republik. “Hizbullah membuat santri yang tidak mengenal ilmu kemiliteran jadi bisa ikut aktif dalam revolusi fisik,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan majalah Tebuireng.
Setelah Partai Masyumi berdiri pada 7 November 1945, Hizbullah, juga laskar Sabilillah, masuk jadi sayap militer partai Islam saat itu. Kedua laskar ini ikut bertempur melawan tentara sekutu, diantaranya pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Selepas agresi militer Belanda pertama pada 1947, Gerakan Pemuda Islam Indonesia yang diprakarsai M. Natsir dan KH. Wahid Hasyim bergabung dengan kedua laskar tersebut. Mereka membentuk Dewan Mobilisasi Pemuda Islam Indonesia, yang menentang semua perundingan dengan Belanda.
Dalam pembukaan latihan tersebut, Kiai Haji Zainul Arifin, Ketua Markas Tertinggi Hizbulloh, dan KH. Wahid Hasyim, Ketua Muda Masjumi, mengingatkan akan pentingnya latihan kemiliteran bagi para pemuda untuk membela agama Islam dan cita-cita perjuangan bangsa. Salah satu yang menjadi tokoh utama adalah ulama kharismatik dari Ujung Harapan Bekasi yaitu Kiai Haji Noer Ali. Atas jasa besar dan manfaat perjuangannya Bapak DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, telah menganugerahkan almarhum almaghfurlah KH. Noer Ali sebagai Pahlawan Nasional.
Dengan adanya catatan sejarah, jejak dan fakta tersebut, pada Agustus 2010, Markas Besar TNI Angkatan Darat, ditandai dengan kehadiran dan penandatanganan Prasasati Monumen Bersejarah Perjuangan Umat Islam untuk Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bapak Dandim Bekasi, telah meneguhkan posisi dan nilai spirit perjuangan Masjid Al-Mujahidin dan area sekitarnya sebagai saksi dan sumber spirit dari jejak perjuangan umat Islam dalam kecintaan memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Majalah Tempo, 18 April 2011, menggambarkan adanya fakta perjuangan heroik Laskar Allah dari Cibarusah. Sekitar lima ratus pemuda berkemeja dengan celana tanggung biru berbaris keluar dari barak-barak anyaman bambu. Para calon opsir ini bersiap mengikuti upacara pembukaan latihan Laskar Hizbullah di Desa Cibarusah, Bekasi. Suatu pagi pada Februari 1945 itu, petinggi Jawa Gunseikan meresmikan pasukan sukarelawan bentukan pemerintah militer Jepang. Bersama mereka, hadir pengurus Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), termasuk Ketua II Muda, KH. Abdul Wahid Hasyim.
Gus Wahid, begitu ia disapa, memang salah satu penggagas pembentukan “Tentara Allah” itu. Menurut dia, ulama dan santri harus angkat senjata melawan Belanda yang bakal segera kembali ke Tanah Air. “Tiap-tiap muslim mesti merupakan nasionalis,” ujarnya.
Dalam sebuah konferensi pada 1949, Wahid menyampaikan unek-uneknya soal ulama yang lebih berpengaruh ketimbang tokoh pergerakan sipil ataupun militer tapi sering ditinggalkan dalam revolusi fisik. “Ulama adalah golongan yang paling berkuasa di Indonesia, melebihi sipil dan militer,” ujarnya. “Pembesar negeri minta petunjuk ulama dan perwira militer menanyakan siasat pertempuran.”
Ide membuat laskar jihad mencuat kala Jepang mengubah strateginya setelah terdesak Sekutu. Perdana Menteri Kuniaki Koiso pada September 1944 mengobral janji, termasuk memberi kemerdekaan. Menurut sejarawan almarhum Kuntowijoyo, Hizbullah merupakan gabungan keinginan pemerintah Jepang dan ulama.
Tak sulit bagi KH. Wahid Hasyim menyampaikan usul membentuk laskar. Jabatan Wakil Ketua Shumubu, kantor urusan agama bentukan Jepang, memudahkan pembicaraan. Sebenarnya yang jadi ketua KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, ayah KH. Wahid Hasyim. Tapi Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tak mau meninggalkan Pesantren Tebuireng.
g. Kewafatan KH. R. Ma’mun Nawawi
KH. R. Ma’mun Nawawi wafat pada malam Jum’at 26 Muharram 1395 H pukul 01.15 WIB yang bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1975 M di Cibogo pada usia 63 tahun (1912-1975). Pondok pesantrennya saat ini diteruskan oleh salah satu putranya, KH. Jamaluddin Nawawi.
Makam KH. R.Ma’mun Nawawi berada di sekitar pesantren dan banyak dikunjungi orang baik dari Banten atau Bogor, khususnya pada bulan Maulid.
Sya’roni As-Samfuriy, Cikarang 17 Juni 2014
No comments
Post a Comment