Muslimedianews ~ “Ratapilah dirimu wahai orang melarat # Kelak kau pun mati meski selama Nuh kau hidup.” Itulah sepenggal syair tentang terbatasnya umur, sepanjang umur Nabi Nuh pun.
Siapa yang tak kenal Nabi Nuh? Hal yang banyak dikisahkan tentang beliau adalah perihal usianya yang panjang, 950 tahun, dan dakwahnya yang tak kenal lelah. Siapa pula yang tak tahu tentang banjir bandang yang merata di berbagai daratan di muka bumi sehingga memusnahkan lebih dari separuh populasi makhluk hidup pada saat itu. Beliau mendapat mandat suci sebagai rasul pada saat beliau berusia 250 tahun, dan hidup selama 200 tahun setelah surutnya air bah.
Namun tidak banyak yang tahu bahwa, konon, nama asli beliau bukanlah ‘Nuh’, melainkan Abdul Ghoffar, ada pula yang menyebutkan bahwa nama beliau Yasykur. Sedangkan ‘Nuh’ hanyalah julukan bagi beliau, artinya orang yang meratap.
Nah, di sini kita akan mencoba memetik satu atau dua tangkai hikmah dari sebab mengapa beliau dijuluki dengan nama ‘Nuh’. Sehingga kita bisa melahap buah kebijaksanaan ini, kemudian menanam biji-bijinya, agar kebun hati kita rimbun dengan kerindangan hikmah yang menyejukkan.
Suatu ketika, dalam satu perjalanan, Abdul Ghoffar berpapasan dengan seekor anjing lusuh bermata empat dan begitu mengerikan. Melihat hal aneh dan jarang beliau temui ini, beliau bergumam: “Wah, anjing ini begitu jelek.”
Sepertinya si anjing mendengar gumaman beliau, dia terus memandangi manusia di hadapannya itu dengan tatapan sinis. Sejurus kemudian, saat beliau hendak berlalu, tanpa diduga, si anjing menyeru: “Hai Abdul Ghoffar! Siapa yang kau cela tadi? Ukirannya ataukah Pengukirnya?!”
Sang Nabi terkejut mendengar hardikan itu. Tanpa menunggu jawaban, si anjing melanjutkan: “Jika yang kau cela adalah ukirannya, yakni aku, maka ketahuilah bahwa aku tak pernah meminta untuk diciptakan menjadi anjing seperti ini! Dan jika yang kau cela adalah Sang Pengukir, maka ketahuilah bahwa Dia melakukan apa yang Ia kehendaki dan tidak satu cela pun Ia punyai, ingat itu!”
Belum sempat Abdul Ghoffar berkata-kata, si anjing berlalu begitu saja, meninggalkan beliau yang masih terbelalak dan merenungkan setiap butir kata-katanya. Beliau terus menerus memikirkan kata-kata si anjing, semakin lama semakin beliau pahami maknanya. Tetes demi tetes air mata membasahi pipinya, beliau menyesal dan meratapi kekeliruan ucapan dan anggapannya. Sejak itu, karena banyaknya meratapi kesalahan (Naaha – Yanuuhu), beliau dijuluki orang-orang sekitarnya dengan sebutan ‘Nuh’, sang peratap.
Jika direnungkan, memang benar teguran si anjing. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita pahami dari dialog menakjubkan ini:
1. Tidak ada yang jelek hakiki dalam setiap ciptaanNya, semua mengandung hikmah, semua memiliki peran di dalam kewujudannya masing-masing di alam raya ini. Anggapan jelek atau buruk hanyalah hasil penangkapan indera dan penilaian akal yang berdasarkan pada pengalaman serta sudut pandang kita yang sempit. Sehingga bisa menggelincirkan kita untuk menjelek-jelekkan ciptaanNya. Adakah ciptaan Sang Pencipta yang benar-benar jelek pada hakikatnya? Ataukah kita yang belum mampu memahami makna di balik semua yang kita pandang dan dengar?
Jika yang kita hina adalah Penciptanya, yakni Allah Ta’ala, maka sesakti apa kita sehingga berani mencela Dia yang seratus persen berkuasa terhadap lahir batin kita? Mau kemana kita mengungsi jika Dia usir dari alamNya ini? Tidak ada ruang maupun waktu yang tidak bernaung di bawah kekuasaan dan pengaturanNya.
Jika yang kita jelek-jelekkan ciptaanNya, misalnya anjing tadi, bukankah ia tercipta sedemikian itu bukan karena kehendak maupun permintaannya sendiri? Begitu pula dengan ciptaan-ciptaanNya yang sering kita anggap buruk yang lain. Toh tidak ada gunanya menghina suatu hal atau keadaan, sejelek apapun hal itu, semenyebalkan bagaimanapun suatu keadaan.
Bahkan setan sekalipun, kita diwanti-wanti untuk waspada dan berlindung dari makarnya, bukan untuk dihina dan dijelek-jelekkan. Itupun yang kita hindari bukanlah zat setan atau berbagai macam zat keburukan lain, melainkan tingkah laku dan pengaruh sifat buruklah yang kita hindari, bukan zatnya.
Jika kita tidak berhati-hati, justru bisa tumbuh bibit-bibit takabbur di dalam diri kita, padahal hal ini pulalah yang dahulu menggelincirkan Iblis dari posisi para malaikat yang mulia. Memang benar manusia disebutkan sebagai ‘Ahsanu Taqwim’, bentuk ciptaan yang terbaik, namun ingatkah kita bahwa ada berjuta kemungkinan pula bahwa sesosok manusia bisa terlena menjadi ‘Asfalu Saafiliin’, serendah-rendahnya para pecundang?
Dan bukankah gelar ‘Ahsanu Taqwim’ ini lebih cenderung mengesankan tanggungjawab yang kita emban selaku pemangku bentuk ciptaan yang terbaik, baik dari segi fisik maupun psikis? Bukan untuk diumbar secara ‘gumede’ sehingga memperlakukan makhluk lain secara sewenang-wenang.
2. Setiap manusia memiliki tingkatan spiritual yang berbeda-beda, tergantung kualitas jiwanya. Pengalaman batin orang semacam kita tentu berbeda dengan ketajaman jiwa para wali, apalagi para nabi dan rasul. Sama sekali tidak sama.
Suatu hal yang kita anggap sepele, kesalahan kecil, atau bahkan sama sekali bukan kesalahan di dalam pandangan kita, bisa jadi justru menimbulkan penyesalan yang dalam bagipara ‘arifin. Sebagaimana penyesalan dan taubat Nabi Adam setelah menikmati Buah Khuldi yang menyebabkan beliau turun ke bumi, padahal beliau memang sudah direncanakanakan menjadi khalifah di muka bumi jauh-jauh hari sebelum beliau diciptakan.
Atau taubat serta pengakuan dzalim Nabi Yunus ketika terperangkap dalam kelamnya perut ikan di kedalaman samudera, beliau beranggapan bahwa kepergian beliau meninggalkan kaumnya merupakan suatu bentuk keputusasaan yang perlu disesali dan ditaubati, padahal kita semua tahu bahwa beliau sudah berdakwah dengan gigih dan kaumnya memang keras kepala. Begitu pula dengan ratapan Nabi Nuh terhadap hinaan remeh beliau terhadap si anjing dalam kisah di atas.
Sebaliknya, masalah dan kesempitan hidup yang menurut kita begitu berat dan tak bisa ditanggung, sehingga menggelincirkan kita kepada kedurhakaan-kedurhakaan individual maupun sosial, justru menjadi batu asah bagi jiwa-jiwa para wali. Menjadi medan uji bagi spiritualitas manusia-manusia unggul yang menghantarkan mereka menuju derajat yang begitu tinggi dan begitu dekat di hadiratNya. Sehingga kita banyak mengenal para rasul dan nabi melalui kisah-kisah ketabahan dan kegigihan perjuangan hidupnya dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda.
Problem yang dihadapi pun beraneka rupa, mulai dari masalah kesehatan, penghidupan, skandal, fitnah, pembunuhan, pemerintahan, peperangan, keluarga, dan sebagainya. Mereka inilah yang akan menjadi hujjah bagi Allah di akhirat, ketika kita menjadikan segala masalah-masalah hidup kita sebagai alasan yang menghalangi pengabdian kita kepadaNya.
Juga sebagai ibarat bagi kita bahwa perjalanan hidup ini tak lepas dari perjuangan dan keprihatinan, sehingga kita selangkah dua langkah berupaya meneladani sensitivitas jiwa para teladan ini. Karena sepandai apapun akal menganalisa, memprediksi dan merancang langkah hidup, tetap saja kita tidak pernah tahu apa yang akan kita hadapi esok, sehingga teladan dari para utusan adalah referensi terbaik bagi hidup kita.
Di akhir hayatnya, ketika disapa dengan salam oleh Malaikat Maut, Nabi Nuh menyahut: “Siapa Engkau? Mengapa salammu begitu menggetarkan hatiku?”
“Aku Malaikat Maut. Mengapa kau mengeluh begitu saat kujemput? Tidakkah kau sudah kenyang hidup di dunia wahai manusia yang terpanjang umurnya?” jawab Sang Pencabut Nyawa.
“Sesungguhnya aku mengenal kehidupan ini sebagai suatu tempat dengan dua pintu, aku masuk melalui satu pintu dan keluar dari pintu lain yang belum pernah aku rasakan sebelumnya,” ujar Sang Nabi.
Betapa indah ibarat yang Allah tunjukkan kepada kita. Betapa sejuk tetes-tetes pemahaman yang Ia ajarkan kepada kita melalui para utusan dan kekasihNya, serta melalui lembaran-lembaran buku yang terhampar luas ini; segenap kejadian di semesta raya.
Setidaknya dahan-dahan hikmah ini bisa menaungi kita dari teriknya kegelisahan-kegelisahan hidup dan menyegarkan kembali hati yang hampir membusuk. Dengan tidak mencaci atau menghina apapun, dalam kondisi bagaimanapun.
“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. al-Baqarah ayat 269). (Siraj ath-Thalibin juz 2 halaman 409 karya Syaikh Ihsan Dahlan Al-Jampesi. Diterjemah oleh Ustadz Zia Ul Haq Tegal).
Siapa yang tak kenal Nabi Nuh? Hal yang banyak dikisahkan tentang beliau adalah perihal usianya yang panjang, 950 tahun, dan dakwahnya yang tak kenal lelah. Siapa pula yang tak tahu tentang banjir bandang yang merata di berbagai daratan di muka bumi sehingga memusnahkan lebih dari separuh populasi makhluk hidup pada saat itu. Beliau mendapat mandat suci sebagai rasul pada saat beliau berusia 250 tahun, dan hidup selama 200 tahun setelah surutnya air bah.
Namun tidak banyak yang tahu bahwa, konon, nama asli beliau bukanlah ‘Nuh’, melainkan Abdul Ghoffar, ada pula yang menyebutkan bahwa nama beliau Yasykur. Sedangkan ‘Nuh’ hanyalah julukan bagi beliau, artinya orang yang meratap.
Nah, di sini kita akan mencoba memetik satu atau dua tangkai hikmah dari sebab mengapa beliau dijuluki dengan nama ‘Nuh’. Sehingga kita bisa melahap buah kebijaksanaan ini, kemudian menanam biji-bijinya, agar kebun hati kita rimbun dengan kerindangan hikmah yang menyejukkan.
Suatu ketika, dalam satu perjalanan, Abdul Ghoffar berpapasan dengan seekor anjing lusuh bermata empat dan begitu mengerikan. Melihat hal aneh dan jarang beliau temui ini, beliau bergumam: “Wah, anjing ini begitu jelek.”
Sepertinya si anjing mendengar gumaman beliau, dia terus memandangi manusia di hadapannya itu dengan tatapan sinis. Sejurus kemudian, saat beliau hendak berlalu, tanpa diduga, si anjing menyeru: “Hai Abdul Ghoffar! Siapa yang kau cela tadi? Ukirannya ataukah Pengukirnya?!”
Sang Nabi terkejut mendengar hardikan itu. Tanpa menunggu jawaban, si anjing melanjutkan: “Jika yang kau cela adalah ukirannya, yakni aku, maka ketahuilah bahwa aku tak pernah meminta untuk diciptakan menjadi anjing seperti ini! Dan jika yang kau cela adalah Sang Pengukir, maka ketahuilah bahwa Dia melakukan apa yang Ia kehendaki dan tidak satu cela pun Ia punyai, ingat itu!”
Belum sempat Abdul Ghoffar berkata-kata, si anjing berlalu begitu saja, meninggalkan beliau yang masih terbelalak dan merenungkan setiap butir kata-katanya. Beliau terus menerus memikirkan kata-kata si anjing, semakin lama semakin beliau pahami maknanya. Tetes demi tetes air mata membasahi pipinya, beliau menyesal dan meratapi kekeliruan ucapan dan anggapannya. Sejak itu, karena banyaknya meratapi kesalahan (Naaha – Yanuuhu), beliau dijuluki orang-orang sekitarnya dengan sebutan ‘Nuh’, sang peratap.
Jika direnungkan, memang benar teguran si anjing. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita pahami dari dialog menakjubkan ini:
1. Tidak ada yang jelek hakiki dalam setiap ciptaanNya, semua mengandung hikmah, semua memiliki peran di dalam kewujudannya masing-masing di alam raya ini. Anggapan jelek atau buruk hanyalah hasil penangkapan indera dan penilaian akal yang berdasarkan pada pengalaman serta sudut pandang kita yang sempit. Sehingga bisa menggelincirkan kita untuk menjelek-jelekkan ciptaanNya. Adakah ciptaan Sang Pencipta yang benar-benar jelek pada hakikatnya? Ataukah kita yang belum mampu memahami makna di balik semua yang kita pandang dan dengar?
Jika yang kita hina adalah Penciptanya, yakni Allah Ta’ala, maka sesakti apa kita sehingga berani mencela Dia yang seratus persen berkuasa terhadap lahir batin kita? Mau kemana kita mengungsi jika Dia usir dari alamNya ini? Tidak ada ruang maupun waktu yang tidak bernaung di bawah kekuasaan dan pengaturanNya.
Jika yang kita jelek-jelekkan ciptaanNya, misalnya anjing tadi, bukankah ia tercipta sedemikian itu bukan karena kehendak maupun permintaannya sendiri? Begitu pula dengan ciptaan-ciptaanNya yang sering kita anggap buruk yang lain. Toh tidak ada gunanya menghina suatu hal atau keadaan, sejelek apapun hal itu, semenyebalkan bagaimanapun suatu keadaan.
Bahkan setan sekalipun, kita diwanti-wanti untuk waspada dan berlindung dari makarnya, bukan untuk dihina dan dijelek-jelekkan. Itupun yang kita hindari bukanlah zat setan atau berbagai macam zat keburukan lain, melainkan tingkah laku dan pengaruh sifat buruklah yang kita hindari, bukan zatnya.
Jika kita tidak berhati-hati, justru bisa tumbuh bibit-bibit takabbur di dalam diri kita, padahal hal ini pulalah yang dahulu menggelincirkan Iblis dari posisi para malaikat yang mulia. Memang benar manusia disebutkan sebagai ‘Ahsanu Taqwim’, bentuk ciptaan yang terbaik, namun ingatkah kita bahwa ada berjuta kemungkinan pula bahwa sesosok manusia bisa terlena menjadi ‘Asfalu Saafiliin’, serendah-rendahnya para pecundang?
Dan bukankah gelar ‘Ahsanu Taqwim’ ini lebih cenderung mengesankan tanggungjawab yang kita emban selaku pemangku bentuk ciptaan yang terbaik, baik dari segi fisik maupun psikis? Bukan untuk diumbar secara ‘gumede’ sehingga memperlakukan makhluk lain secara sewenang-wenang.
2. Setiap manusia memiliki tingkatan spiritual yang berbeda-beda, tergantung kualitas jiwanya. Pengalaman batin orang semacam kita tentu berbeda dengan ketajaman jiwa para wali, apalagi para nabi dan rasul. Sama sekali tidak sama.
Suatu hal yang kita anggap sepele, kesalahan kecil, atau bahkan sama sekali bukan kesalahan di dalam pandangan kita, bisa jadi justru menimbulkan penyesalan yang dalam bagipara ‘arifin. Sebagaimana penyesalan dan taubat Nabi Adam setelah menikmati Buah Khuldi yang menyebabkan beliau turun ke bumi, padahal beliau memang sudah direncanakanakan menjadi khalifah di muka bumi jauh-jauh hari sebelum beliau diciptakan.
Atau taubat serta pengakuan dzalim Nabi Yunus ketika terperangkap dalam kelamnya perut ikan di kedalaman samudera, beliau beranggapan bahwa kepergian beliau meninggalkan kaumnya merupakan suatu bentuk keputusasaan yang perlu disesali dan ditaubati, padahal kita semua tahu bahwa beliau sudah berdakwah dengan gigih dan kaumnya memang keras kepala. Begitu pula dengan ratapan Nabi Nuh terhadap hinaan remeh beliau terhadap si anjing dalam kisah di atas.
Sebaliknya, masalah dan kesempitan hidup yang menurut kita begitu berat dan tak bisa ditanggung, sehingga menggelincirkan kita kepada kedurhakaan-kedurhakaan individual maupun sosial, justru menjadi batu asah bagi jiwa-jiwa para wali. Menjadi medan uji bagi spiritualitas manusia-manusia unggul yang menghantarkan mereka menuju derajat yang begitu tinggi dan begitu dekat di hadiratNya. Sehingga kita banyak mengenal para rasul dan nabi melalui kisah-kisah ketabahan dan kegigihan perjuangan hidupnya dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda.
Problem yang dihadapi pun beraneka rupa, mulai dari masalah kesehatan, penghidupan, skandal, fitnah, pembunuhan, pemerintahan, peperangan, keluarga, dan sebagainya. Mereka inilah yang akan menjadi hujjah bagi Allah di akhirat, ketika kita menjadikan segala masalah-masalah hidup kita sebagai alasan yang menghalangi pengabdian kita kepadaNya.
Juga sebagai ibarat bagi kita bahwa perjalanan hidup ini tak lepas dari perjuangan dan keprihatinan, sehingga kita selangkah dua langkah berupaya meneladani sensitivitas jiwa para teladan ini. Karena sepandai apapun akal menganalisa, memprediksi dan merancang langkah hidup, tetap saja kita tidak pernah tahu apa yang akan kita hadapi esok, sehingga teladan dari para utusan adalah referensi terbaik bagi hidup kita.
Di akhir hayatnya, ketika disapa dengan salam oleh Malaikat Maut, Nabi Nuh menyahut: “Siapa Engkau? Mengapa salammu begitu menggetarkan hatiku?”
“Aku Malaikat Maut. Mengapa kau mengeluh begitu saat kujemput? Tidakkah kau sudah kenyang hidup di dunia wahai manusia yang terpanjang umurnya?” jawab Sang Pencabut Nyawa.
“Sesungguhnya aku mengenal kehidupan ini sebagai suatu tempat dengan dua pintu, aku masuk melalui satu pintu dan keluar dari pintu lain yang belum pernah aku rasakan sebelumnya,” ujar Sang Nabi.
Betapa indah ibarat yang Allah tunjukkan kepada kita. Betapa sejuk tetes-tetes pemahaman yang Ia ajarkan kepada kita melalui para utusan dan kekasihNya, serta melalui lembaran-lembaran buku yang terhampar luas ini; segenap kejadian di semesta raya.
Setidaknya dahan-dahan hikmah ini bisa menaungi kita dari teriknya kegelisahan-kegelisahan hidup dan menyegarkan kembali hati yang hampir membusuk. Dengan tidak mencaci atau menghina apapun, dalam kondisi bagaimanapun.
“Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. al-Baqarah ayat 269). (Siraj ath-Thalibin juz 2 halaman 409 karya Syaikh Ihsan Dahlan Al-Jampesi. Diterjemah oleh Ustadz Zia Ul Haq Tegal).
No comments
Post a Comment